Rabu, 19 September 2012

Industri Tembakau Nonrokok


Industri Tembakau Nonrokok
Budi Purnomo;  Alumnus Fakultas Ekonomi Undip,
Pemerhati Masalah Pertanian, Tinggal di Demak
SUARA MERDEKA, 19 September 2012


BELUM reda keresahan petani tembakau menghadapi kejatuhan harga, World Tobacco menunjuk Indonesia menjadi tuan rumah World Tobacco Asia 2012 yang diagendakan digelar di Balai Sidang Jakarta Convention Centre mulai hari ini hingga Jumat lusa. Ini untuk kali kedua kita menjadi tuan rumah pertemuan perusahaan tembakau bertaraf internasional, sekaligus ajang peringatan ke-40 industri tembakau sedunia.  

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, Indonesia menempati peringkat ke-7 sebagai produsen tembakau dengan kapasitas rata-rata produksi 165 ribu ton per tahun. Adapun China merupakan produsen sekaligus pasar rokok terbesar di dunia. Untuk negara berkembang, Indonesia menjadi negara paling pesat pertumbuhan jumlah perokok. Saat ini jumlah perokok di Indonesia 57 juta orang, 36% dari jumlah penduduk. 

Data di Kementerian Kesehatan menunjukkan jumlah perokok perempuan dan anak-anak di Indonesia mengalami kenaikan signifikan, mencapai angka 6% atau hampir empat kali lipat dibanding data survei nasional 2007 dengan kisaran angka 1-1,5%.

Dirjen Badan Kesehatan Dunia (WHO) Margareth Chan mengecam keras perusahaan rokok  sebagai industri yang menghasilkan keuntungan bagi pemilik tetapi merusak kesehatan, bahkan bisa menjadi pembunuh bagi konsumen mereka. Chan meminta semua negara terus menekan perusahaan rokok yang mencoba melunakkan gerakan antimerokok yang dikampanyekan lembaganya.

Melalui peraturan pemerintah tentang perlindungan terhadap zat adiktif dalam tembakau, yang lebih dikenal dengan RPP tentang Tembakau, pemerintah kita berupaya merespons positif kampanya antimerokok yang disuarakan WHO. Peraturan yang berisi 8 bab dalam 65 pasal, secara lengkap mengatur dari bahan, produksi, distribusi, larangan iklan, pengenaan cukai yang tinggi, hingga pengaturan kawasan bebas asap rokok. 

Namun kalangan industri tembakau menganggap peraturan itu sebagai pesanan pihak luar yang ingin mematikan industri rokok di Tanah Air. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Sofjan Wanandi meminta pemerintah lebih bijak dengan cukup memberi tahu akibat buruk merokok tanpa harus mematikan industrinya. Hal itu mengingat hingga saat ini sektor tembakau dan ikutannya menyokong 10-15% pendapatan nasional. 

Paparan itu sekaligus menggambarkan betapa tembakau menghadirkan dilema. Di satu sisi kita tidak ingin industri rokok gulung tikar karena berarti menambah angka pengangguran, tetapi di sisi lain kita khawatir melihat pertumbuhan jumlah perokok yang meningkat tajam dalam lima tahun terakhir, terutama perempuan dan anak-anak. 

Menyalahkan petani tembakau pun justru makin menjauhkan kita dari akar permasalahan. Dalam kasus kejatuhan harga tembakau saat ini, persoalannya adalah bagaimana hasil panen yang berlimpah itu bisa terserap oleh pasar. Taruhlah industri rokok sudah jenuh maka perlu mencarikan solusi, seperti membuka pasar nonrokok. Artinya, diperlukan cara penyelesaian out of the box atau keluar dari cara yang selama ini biasa dipakai untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Industri Nonrokok

Selama ini kita terpaku bahwa daun tembakau hanya untuk bahan rokok, padahal masih terbuka lebar pemanfaatan untuk produk lain. Menurut Deputi III Kemenko Kesra Bidang Koordinasi Kependudukan dan Kesejahteraan KB Emil Agustiano, daun tembakau bisa digunakan untuk bahan pestisida, kosmetika, obat bius lokal, atau pengencang kulit (MI,12/07/12).  

Kita bisa menggarisbawahi salah satu amanat RPP tentang Tembakau yang menyatakan pemerintah diminta mendorong upaya diversifikasi tembakau. Artinya, petani masih bisa menanam tembakau namun pemanfaatannya tidak harus untuk bahan rokok. Peluang itu sekaligus memupus kegalauan manakala industri rokok tidak lagi bisa menampung hasil panen petani maka industri lain seperti perusahaan farmasi, kimia, atau pupuk dapat menjadi pasar alternatif. 

Mengaitkan dengan RPP tentang Tembakau, ada tiga isu penting yang harus disuarakan Indonesia dalam World Tobacco Asia 2012, sebagai konsepsi jalan tengah menghadapi dilema tembakau. Pertama; kita harus mampu memamerkan hasil produk tembakau nonrokok, seperti kosmetik, pupuk, atau obat bius yang sedang dan akan dikembangkan. 

Kelebihan dan kekurangan produk alternatif tersebut harus dibandingkan dengan produk sejenis yang sudah ada tetapi dari bahan lain. 

Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif atau Kementrian Perindustrian bisa menjadi fasilitator pertumbuhan industri ini.   Kedua; kita harus memberikan jaminan kepada WHO bahwa pemerintah akan secara bertahap menurunkan jumlah perokok, terutama perempuan dan anak-anak. Kementerian Kesehatan serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu mengambil peran lebih besar untuk menurunkan angka 6% menjadi zero growth. 

Ketiga; luas lahan tanam tembakau tetap akan dikendalikan. Melalui pendekatan persuasif, petani harus mendapat keuntungan sebanding bila menanam nontembakau. Upaya ini ditujukan terutama di sentra produksi tembakau, minimal jangan sampai terjadi perluasan lahan tanam secara berlebihan sehingga hasil panen melimpah melebihi kebutuhan pasar. Kementerian Pertanian harus menjamin hal ini agar tidak terjadi ”keterkejutan” tatkala panen melimpah pada musim tembakau, dan kemudian kita menyalahkan petani. 

Perlu ketegasan pemerintah untuk menghadapi dilema tembakau mengingat kita memiliki banyak kepentingan dengan tembakau, tidak saja untuk rokok tetapi juga industri nonrokok. Ketegasan itu mutlak diperlukan dengan mendasarkan tembakau tetap akan menjadi komoditas yang diperbolehkan ditanam di Indonesia.
◄ Newer Post Older Post ►