Rabu, 19 September 2012

Menakar Kebebasan Barat


Menakar Kebebasan Barat
Ahmad Sahidah ;  Dosen Filsafat Dan Etika Universitas Utara Malaysia
KORAN TEMPO, 19 September 2012


Kebebasan yang digunakan tanpa kearifan dan sifat utama memungkinkan semua jenis kejahatan terburuk akan muncul.

Amerika Serikat memberi kebebasan kepada warganya untuk berkarya karena konstitusi menjamin setiap hak individu untuk mewujudkan buah pikirannya. Tak ayal, betapapun film Innocence of Muslims mengguncang keyakinan umat Islam, Negeri Abang Sam bergeming. Google sebagai pemilik YouTube pun enggan menghapus trailer film yang dimaksud. Namun, pada waktu yang sama, Hillary Clinton dalam siaran pers menjelaskan bahwa video itu menjijikkan (disgusting) dan pemerintah Negeri Abang Sam mendorong toleransi serta saling menghormati antarpemeluk agama. 

Kebebasan di Barat seperti pedang bermata dua karena warganya gamang terhadap wujud kebebasan bersuara. Dosen filsafat saya, Abdul Basir Soulissa, di IAIN Sunan Kalijaga, membuat kiasan tentang kebebasan yang mudah retak. Seseorang bebas masuk hutan, namun ia acap kali terancam oleh keganasan harimau. Artinya, kebebasan manusia dibatasi oleh kehadiran orang lain sehingga tindak-tanduknya harus menimbang tanggung jawab sebagai bagian dari anggota masyarakat. Karena itu, model liberalisme John Lock yang menjadi acuan, yaitu hak individu untuk menikmati kebebasan dan mendapatkan perlindungan dari halangan dari luar, khususnya negara, perlu ditelaah ulang. 

Cermin 

Sam Bacile tentu telah menimbang reaksi terhadap film yang dibuatnya. Hujatan terhadap Nabi Muhammad senantiasa memantik kritik keras dan protes yang sering kali berujung pada kerusuhan. Apalagi kasus serupa sebelumnya telah mendatangkan kematian seorang pembuat film yang menyerang Islam, Theo Van Gogh. Sutradara Submission ini mati di tangan seorang warga Belanda muslim keturunan Maroko. Film yang disadur dari buku Hirsi Ali, pengungsi Somalia di Negeri Kincir Angin, itu menceritakan kisah fiksi empat perempuan muslim yang mengalami serangan fisik dan seksual. Dalam salah satu adegan, ayat kitab suci ditempelkan pada tubuh setengah telanjang empat perempuan tersebut. 

Kalau kita merujuk pada sejarah, Muhammad senantiasa menghadapi sandungan dari penduduk Mekah dalam menyampaikan pesan Tuhan. Hanya, kita alpa untuk meneladan Sang Nabi, yang tidak menunjukkan kemarahan menghadapi hujatan. Kalau di atas kertas umat harus dewasa dan menahan diri, mengapa kita acap kali menemukan seseorang atau kelompok melakukan kekerasan terhadap penghujat Islam? Malangnya, kekerasan dialamatkan secara serampangan. Kalau dicermati dari satu sisi, tindakan anarkistik masyarakat terhadap Barat adalah akibat hubungan Islam dengan Barat yang senantiasa tegang, yang hanya menunggu pemantik untuk meledak. 

Padahal, meskipun konstitusi Amerika memberi kebebasan kepada warganya, ini tidak berarti masyarakat di sana bisa melakukan apa saja. Ruang publik harus steril dari perbuatan yang merugikan kepentingan umum. Dua pasangan yang melakukan perbuatan mesum di ruang terbuka bisa disergah oleh aparat keamanan karena dianggap mengganggu ketertiban umum. Anehnya, mengapa sebuah karya yang menghina kepercayaan umat tertentu dianggap kebebasan yang dijamin oleh undang-undang? Bagaimanapun, kasus penghinaan agama tidak hanya terjadi pada Islam. Umat Kristen juga pernah mengalami hal serupa, di mana film The Last Temptation of Christ mencetuskan ketegangan di Amerika. 

Pada waktu yang sama, kita harus menyadari bahwa perbedaan cara pandang terhadap agama telah melahirkan pandangan yang tak sama terhadap kesucian. Sebagai sebuah ajaran, baik normatif maupun reflektif, teks religius membuka pelbagai tafsir. Dalam pandangan kaum bukan Islam, Muhammad adalah sosok manusia, seperti lainnya. Tentu, apa yang dipikirkan dan dilakukan oleh anak Abdullah ini sama sebagaimana manusia umumnya. Sedangkan bagi penganut Islam, sosok Nabi adalah manusia yang sempurna dan ma'shum (tak melakukan maksiat). Tak ayal, hujatan kepada tokoh panutan akan memantik kemarahan, bahkan kekerasan. 

Dilema 

Edmund Burke, filsuf, berujar dalam The Evils of Revolution bahwa what is liberty without wisdom and virtue , it is the greatest of all possible evils. Kebebasan yang digunakan tanpa kearifan dan sifat utama memungkinkan semua jenis kejahatan terburuk akan muncul. Tentu, pernyataan ini layak diajukan pada kebebasan yang selama ini dipraktekkan di negara-negara Barat. Sejatinya, kearifan dan sifat utama harus didahulukan agar kebebasan tidak berujung petaka. Namun apa lacur, negara-negara yang mengagungkan demokrasi liberal memungkinkan warganya bebas menyuarakan apa saja.

Sebenarnya, kalau kita berjarak dengan fakta dalam film Innocence of Muslims atau Submission, visualisasi terhadap Nabi Muhammad dan umat Islam adalah kenyataan yang ada dalam pikiran orang-orang Barat, baik seniman maupun sarjana. Malah, hal serupa juga pernah muncul pada masa Nabi hidup, yang kemudian diterakan dalam kitab suci. Muhammad sendiri berdiam diri terhadap mereka yang mencerca. Malah ayah Fatimah tersebut membiarkan orang buta menghina dirinya dan mengunjungi yang bersangkutan ketika sakit. Kisah ini hampir-hampir tidak membekas pada umat Islam sendiri, sehingga mereka cenderung membela Nabi secara membabi-buta. 

Meski demikian, mengingat penghinaan terhadap Nabi telah menimbulkan reaksi yang keras dari umat Islam di banyak negara, tentu siapa pun harus menimbang apa yang disarankan oleh Edmund Burke bahwa, tanpa kearifan, perilaku kebebasan yang mengabaikan kepekaan kelompok tertentu hanya akan menuai bencana. Tak hanya itu, virtue (sifat keutamaan) harus ditimbang dalam mewujudkan kebebasan seraya bersandar pada petuah moral. Kalau tidak ingin disakiti oleh seseorang, maka siapa pun tidak boleh melakukan hal serupa terhadap orang lain. 

Pembiaran terhadap penghinaan keyakinan kelompok tertentu di Barat sebenarnya mendapat tantangan dari warga mereka sendiri. Selain itu, walaupun kebebasan sipil (liberal freedom) mendapat tempat, Barat mengakui kesetaraan liberal (liberal equality), di mana setiap individu atau kelompok, betapapun minoritas, berhak untuk hidup dengan keyakinannya. Siapa pun tidak dibenarkan untuk menghina dan menghalangi kepercayaan tersebut. Masalahnya, apakah kita juga menghormati kebebasan kaum minoritas di negeri sendiri?
◄ Newer Post Older Post ►