Selasa, 11 September 2012

Urgensi Institusionalisasi CSR


Urgensi Institusionalisasi CSR
Bahruddin ;  Pengajar Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan Fisipol UGM
KOMPAS, 11 September 2012


Kegagalan lifting minyak selama tiga tahun berturut-turut berimbas pada kedudukan CSR di perusahaan minyak dan gas bumi. Berdasarkan catatan BP Migas, 52 persen gangguan kegiatan hulu lebih banyak karena aspek sosial.

Minimnya dana corporate social responsibility (CSR)menjadi ”kambing hitam” atas kegagalan produksi (lifting) minyak secara beruntun. Untuk meningkatkan efektivitas program CSR, BP Migas mengusulkan peningkatan dana CSR dengan skema ditagihkan ke negara (Kompas, 17/7). Apakah meningkatnya dana CSR otomatis mendukung efektivitas CSR atau ada aspek lain yang juga penting untuk diperhatikan, misalnya institusi dan metode?

Ingkari Esensi CSR

Usulan BP Migas bahwa dana CSR ditagihkan ke negara perlu dipertimbangkan kembali karena tidak sejalan dengan esensi CSR. Beberapa konsep yang berkembang selama ini menempatkan CSR sebagai kontribusi sektor swasta untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Sejumlah definisi CSR oleh berbagai lembaga dunia—sebutlah seperti Bank Dunia, World Business Council for Sustainable Development, dan European Commision—secara tegas menekankan kontribusi perusahaan dalam kegiatan CSR. Kontribusi yang dimaksud menyangkut sumber dana program CSR dan alokasi sumber daya manusia.

Belum optimalnya manfaat program CSR terhadap kegiatan operasional hulu migas dapat ditelaah dari perspektif institusionalisme. Perspektif ini melihat kinerja program tidak hanya ditentukan oleh dana, tetapi ketersediaan dan kesiapan institusi pengelola program CSR.

Ada permasalahan kronis yang terjadi di beberapa perusahaan migas terkait dengan institusi CSR. Pertama, masih banyak perusahaan yang tak punya departemen khusus menangani program CSR. CSR masih dianggap sebagai kegiatan ”kosmetik” belaka. Perencanaan, implementasi, dan evaluasi CSR hanya pekerjaan tambahan yang menempel pada jabatan tertentu. Status ini menyulitkan staf untuk memberikan perhatian khusus terhadap isu-isu sosial yang akan ditangani melalui program CSR.

Kedua, menempatkan institusi CSR sebagai departemen kelas dua. Penghargaan kontribusi ilmu sosial dalam kegiatan hulu migas memang tidak sebanding dengan disiplin ilmu-ilmu eksakta. Manajemen masih memberikan apresiasi lebih terhadap disiplin ilmu tertentu untuk mendukung kegiatan hulu migas. Diskriminasi level jabatan masih lazim terjadi. Misalnya, jabatan manajer produksi lebih tinggi levelnya daripada manajer CSR.

Cara pandang diskriminatif dan dikotomis ini tak sejalan dengan dinamika perubahan sosial di masyarakat. Catatan BP Migas bahwa gangguan produksi kegiatan hulu migas didominasi faktor-faktor sosial seharusnya jadi dasar perubahan pengelolaan kegiatan industri hulu migas.

Ketiga, menempatkan departemen CSR sebagai tempat ”buangan”. Beratnya persoalan sosial yang dihadapi dalam kegiatan hulu migas tidak diimbangi kebijakan sumber daya manusia yang tepat. Ada idiom yang berkembang di kalangan industri migas dan pertambangan bahwa personel CSR merupakan orang- orang ”buangan”.

Istilah ”buangan” dalam konteks ini dimaknai dalam dua kategori. Pertama, mereka yang terlalu progresif sehingga mengancam jabatan pihak-pihak tertentu. Kedua, mereka yang pernah bermasalah di bidang pekerjaan.

Pengelolaan sumber daya manusia seperti ini tentu memengaruhi efektivitas program CSR terhadap pengamanan produksi. Program CSR tidak dikelola oleh orang-orang yang berkompeten di bidangnya. Dengan demikian, tidak heran bila implementasi program CSR tak sejalan dengan tumbuhnya lisensi masyarakat terhadap kegiatan produksi perusahaan.

Optimalisasi Kinerja

Ketersediaan dana kegiatan CSR memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Ketersediaan dana perlu disertai kejelasan institusi dan kapasitas sumber daya manusianya. Ketiga faktor itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Dalam konteks ini, BP Migas merupakan institusi strategis mendorong kontraktor kontrak kerja sama memiliki dana yang cukup, yang didukung kapasitas institusi yang kompeten menangani program CSR.

Esensi pemberdayaan masyarakat tak sekadar bagi-bagi program kepada masyarakat. Adanya program belum tentu turut menyelesaikan persoalan sosial di masyarakat. Program tidak identik dengan pemberdayaan.

Apabila implementasi CSR berorientasi pada program, maka sangat berpotensi menyederhanakan pemberdayaan masyarakat sebagai salah satu tujuan CSR. Masyarakat hanya sebagai obyek penerima berbagai macam program di mana satu sama lain tidak terkoordinasi dengan baik.

Pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang terus berjalan. Atas dasar pemikiran inilah, keberadaan institusi pengelola CSR menjadi prasyarat untuk kinerja CSR yang optimal. ●
◄ Newer Post Older Post ►