Selasa, 11 September 2012

Bisnis dan HAM di Indonesia

Bisnis dan HAM di Indonesia
Haris Azhar ;  Koordinator Kontras
KOMPAS, 11 September 2012


Sejak 2011, konteks HAM bagi perusahaan atau lembaga nonnegara dalam kegiatan bisnis semakin tegas.

Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya ”Prinsip Panduan atas Bisnis dan HAM: Pelaksanaan Kerangka Kerja PBB untuk Perlindungan, Penghormatan, dan Pemulihan” oleh PBB karya John Rughie. Panduan ini disusun atas keprihatinan terhadap praktik bisnis yang makin meluas dan berpotensi memperburuk kondisi masyarakat dan lingkungan. Di sisi lain, negara makin terlihat lemah membangun pelindung bagi masyarakat di hadapan ancaman ekspansi bisnis.

Panduan Rughie berisi paling tidak tiga hal. Pertama, soal perlindungan negara terhadap setiap individu atau (kelompok) masyarakat dari praktik buruk kelompok usaha. Kedua, kewajiban hukum perusahaan dan kelompok usaha menghormati hak-hak masyarakat. Ketiga, pemulihan hak- hak dan kondisi akibat praktik buruk kegiatan bisnis.

Kontradiksi

Indonesia sudah jadi bagian dari aturan-aturan HAM internasional. Seharusnya tidaklah sulit bagi Indonesia menaati dan mengikuti panduan Rughie.

Panduan ini bisa jadi acuan untuk menguji sejumlah rencana bisnis dan pembangunan ekonomi yang digelontorkan oleh pemerintah, misalnya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Terutama ketika situasi buruk masih terjadi; pengambilalihan lahan rakyat, menutup akses tanah dan laut bagi kegiatan usaha kelautan, upah buruh yang rendah, swastanisasi pendidikan, dan lainnya.

MP3EI adalah upaya khusus pemerintah meningkatkan pendapatan negara. Saat ini Indonesia berada di urutan ke-17 dalam ekonomi dunia, targetnya pada 2025 jadi urutan ke-6. Ironisnya, upaya ini akan ditempuh dengan mengandalkan pada sektor eksploitasi kekayaan alam: timah, nikel, bauksit, batubara, kakao, sawit, gas alam, panas bumi, serta kelautan dan perikanan.

Presiden menyatakan bahwa upaya ini bukan sekadar bisnis pada umumnya. Oleh karena itu, MP3EI juga memasukkan pembangunan infrastruktur sebagai penopang percepatan dan perluasan pembangunan ini. Bahkan, MP3EI mengundang investor-investor asing untuk turut serta dalam percepatan ini.

Bagaimana praktik bisnis sektor kekayaan alam saat ini? Dalam catatan sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Sekretariat Bersama Reforma Agraria, jumlah sengketa agraria mencapai 163 kasus pada 2011. Sengketa ini berakibat 69.975 keluarga jadi korban secara langsung. Luas tanah yang disengketakan 472.048 hektar, 22 orang tewas, 34 tertembak, 279 orang ditahan, dan 147 orang mengalami penganiayaan. Terakhir, di Ogan Ilir, seorang bocah harus jadi korban.

Khusus sektor pertambangan, menurut Jaringan Advokasi Tambang Nasional, pada 2011 ada 11 izin usaha pertambangan dijadikan sumur pendanaan praktik politik oleh berbagai partai, bukan ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Jadi, ada penyalahgunaan pemberian izin.

HAM dalam Bisnis

Dalam prinsip Rughie, selain mengejar keuntungan, kegiatan usaha yang diadakan harusnya jadi upaya untuk menyejahterakan setiap individu tanpa diskriminasi, tak melukai dan tidak merugikan. Kategori memberikan kesejahteraan termasuk dengan memberikan jaminan (kepastian) hukum dan upaya pengadilan, perlindungan dari ancaman pihak lain yang eksploitatif atas wilayah tinggal, wilayah usahanya, serta jaminan dan perlindungan dari tindakan kekerasan. Ini semua tugas negara.

Perusahaan tak dilarang mendapatkan keuntungan. Namun, kegiatan bisnisnya tak boleh dilakukan dengan cara yang kotor, seperti menyuap pejabat demi izin, memanipulasi pajak, mengakibatkan ekosistem kehidupan masyarakat sekitarnya rusak, atau menggunakan polisi/tentara untuk melakukan kekerasan. Perusahaan dan pelaku bisnis harus taat dan jujur pada aturan sekaligus taat pada lembaga pengawas dan koreksi seperti pengadilan. Pelanggaran, yang dilakukan oleh perusahaan, harus diberi sanksi hukum.

Pemerintah harus mulai serius berlaku imbang bagi masyarakat di hadapan dunia usaha. Jengkal demi jengkal tanah yang terampas, berbagai kerugian dan penderitaan masyarakat harusnya bisa dijadikan inspirasi untuk melakukan pemulihan. Pemulihan ini bisa berupa memastikan tak berulang dan meluasnya bisnis yang eksploitatif, serta memperbaiki kebijakan yang melanggengkan praktik buruk bisnis. Pemulihan akan memberikan pembelajaran.

Sudah saatnya Pemerintah Indonesia harus membuat sebuah konsep pelindung (safeguard) bagi setiap individu dari ancaman kegiatan usaha dan perusahaan. Dalam bisnis bukan capaian peringkat ekonomi dan pendapatan yang dibutuhkan, melainkan kepuasan dan etika yang harus didahulukan, terutama etika untuk masa depan generasi bangsa. ●

◄ Newer Post Older Post ►