Sabtu, 15 September 2012

Siapa Pantas Pimpin Jakarta?

Siapa Pantas Pimpin Jakarta?
Ade Saptomo ;  Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila
MEDIA INDONESIA, 15 September 2012


BILA melihat kalender, menuju 20 September 2012, praktis tinggal lima hari lagi. Itulah saat akhir dari proses panjang putaran kedua pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) DKI Jakarta yang akan berlangsung panas. Lebih-lebih setelah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mendukung Fauzi `Foke' Bowo menyusul partai-partai besar sebelumnya seperti Golkar dan PPP. Sementara Jokowi hanya dibekingi PDIP dan Gerindra.

Berdasarkan kalkulasi politik secara sederhana, kedua calon pemimpin Jakarta itu memiliki peluang yang besar untuk memenangi laga. Di sisi lain, hal terpenting yang tidak boleh diabaikan ialah pemilu kada DKI menjadi perhatian banyak pihak, tidak saja bagi warga DKI, tetapi juga bagi daerah-daerah lain di Indonesia. Bahkan dalam konteks nasional menjadi rujukan pemilihan presiden dua tahun mendatang.

Bagi kepentingan nasional, pemilu kada DKI patut dicermati karena selain berlangsung di ibu kota negara, juga memiliki tingkat kerumitan dan begitu kompleks. Bagi warga berbagai daerah yang ada di Indonesia, terutama pengemban pemilu kada di daerah-daerah dengan beragam identitas primordial, ini menjadi momen berharga untuk dicermati. Selain itu, perlu dipelajari dari sisi tata kelola keberagaman isu primordial karena pada tanggal itu pula pesta demokrasi lima tahunan berlangsung dalam masyarakat pluralistik dan dapat dijadikan cermin dalam mengelola pemilu kada di daerah masing-masing.

Sementara bagi warga DKI Jakarta, pemilu kada pada Kamis Pahing yang akan datang itu merupakan pesta reguler demokrasi lima tahunan berupa pilihan langsung kepada satu dari dua orang calon kepala daerah DKI; akhir dari proses politik atas perintah peraturan perundangan yang menegaskan masa jabatan Fauzi Bowo sebagai kepala daerah atau Gubernur DKI yang diemban sejak lima tahun lalu akan berakhir 7 Oktober 2012; dan juga merupakan hari penentu arah warga DKI Jakarta selama lima tahun ke depan.

Setidaknya dari ketiga poin tersebut yang menjadikan 9,6 juta warga Jakarta amat berharap agar pada tanggal itu tidak semata akan lahir kepala daerah atau gubernur baru, tetapi juga lahir pemimpin baru.

Nantinya kepala daerah yang menguasai daerah khusus ibu kota dan gubernur yang akan menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan bersama DPRD jelas mendekati kepastian, tetapi lahirnya pemimpin baru itulah yang ditunggu-tunggu warga.

Siapa Pantas?

Kalau sebagian ingin ada pemimpin baru, amat dapat dimengerti mengingat kebanyakan kepala daerah/gubernur terpilih dan sejak dilantik sampai masa jabatannya berakhir tidak kunjung datang sebagai sosok pemimpin yang mampu mengatasi permasalahan rakyatnya sendiri secara tuntas. Padahal ia telah dilengkapi perangkat hukum, politik, dan kewenangan yang diberikan UU untuk mengatasi persoalan rakyatnya.

Siapa yang pantas memimpin Jakarta lima tahun ke depan? Apakah Foke-Nara atau Jokowi-Ahok yang mampu mengatasi persoalan rakyat?

Sejatinya pemimpin dan kualitas kepemimpinannya akan lahir bukan pada saat hasil pemilu kada. Tetapi secara sosial akan terbaca pada saat warga DKI menghadapi tantangan yang dianggap masyarakat sebagai musuh bersama. Satu sisi, memang musuh bersama kadang kala dipandang sebelah mata sebagai rintangan negatif yang harus dihindari. Namun di sisi lain ia dapat dianggap sebagai wahana penting yang mampu melahirkan figur pemimpin baru sesuai tantangan zaman. Artinya, pemimpin bukan produk UU seperti kepala daerah dan bukan pula produk politik melalui pemilu lima tahunan seperti gubernur semata, melainkan produk dari sebuah proses dinamika sosial panjang yang melahirkan figur tertentu.

Figur dimaksud merupakan tokoh yang lahir inheren dengan kelahiran musuh bersama. Memang dalam perjalanan tidak mustahil jika seorang kepala daerah atau gubernur terpilih juga akan berpeluang menjadi pemimpin baru daerah setempat, mengingat UU memungkinkan hal itu melalui perangkat kewenangan yang diberi UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 19 Tahun 2010.

Persoalan yang muncul kemudian ialah formulasi sasaran sebagai musuh bersama yang akan dibidik oleh visi dan misi menjadi penting untuk dijadikan momentum kelahiran sang pemimpin baru, apakah, misalnya, musuh bersama itu adalah kemiskinan sosial ekonomi budaya, atau kemacetan lalu pintas atau keduanya.

Jika musuh bersama telah diformulasikan sedemikian rupa, yang dibutuhkan kemudian ialah calon kepala daerah atau gubernur yang terindikasi mampu menyelesaikan musuh bersama tersebut. Setidaknya, indikasi-indikasi dimaksud dapat ditelusuri pada integritas institusional di institusi sebelumnya, yaitu keberhasilan-keberhasilan sang kepala daerah dalam mewujudkan visi, misi, dan sasaran yang dijanjikan sebelum menjabat dan keberhasilan menciptakan konsep-konsep terobosan operasional yang bersangkutan ketika mengatasi persoalan rakyat yang datangnya mendadak pada institusi yang dipimpin sebelumnya.

Kalau pandangan yang menyatakan bahwa pemimpin adalah produk sosial dirujuk, pemimpin baru yang dimaksud ialah pemimpin yang lahir bukan semata karena perintah prosedural UU atau proses politik pilihan langsung. Ia lahir bersamaan dengan atau atas perintah tersirat yang tertera di balik persoalan berat yang tengah dihadapi masyarakat.

Bukan Program Elitis

Untuk itu, menjelang 20 September adalah momentum penting untuk menyinergikan antara formulasi sasaran yang dianggap musuh bersama oleh masyarakat DKI di satu pihak dan di pihak lain konsep serta program-program kemasyarakatan warga DKI. Artinya, yang dibutuhkan masyarakat bukan konsep dan program-program elitis, melainkan program-program sosiologis yang langsung mendarat ke persoalan rakyat.

Dengan demikian, pada 20 September 2012 tidak saja akan terpilih kepala daerah atau Gubernur DKI, tapi sekaligus menjadi momentum kelahiran pemimpin baru yang diproduksi oleh titik temu antara kebutuhan masyarakat, momentum, dan integritas. Jika ketiganya ada dalam diri salah satu calon, Foke atau Jokowi, secara sosial mereka me rupakan pemimpin baru DKI.

Namun, pilihan tetap ada di tangan warga DKI yang memiliki hak pilih. Kemampuan untuk memikat hati warga dengan program yang realistis dan tepat sasaran menjadikan mereka bisa dipercaya mengemban amanah.

Apakah kedua kandidat itu sudah melakukan hal tersebut? Tentu masyarakatlah yang merasakan langsung.


◄ Newer Post Older Post ►