Kamis, 13 September 2012

Sertifikasi Ulama, Perlukah?


Sertifikasi Ulama, Perlukah?
Muhammad Azhar ; Dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
REPUBLIKA, 13 September 2012


Isu tentang sertifikasi ulama yang dilontarkan anggota BNPT mengundang pro-kontra di masyarakat, terkait dengan mencuatnya kembali kasus terorisme di Tanah Air. Secara historis, tak dapat dibantah bahwa kasus terorisme dewasa ini sebenarnya sudah dimulai sejak era awal Islam, yakni berupa pelbagai peristiwa kekerasan yang terjadi dalam perjalanan Islam.

Umat tentu paham bahwa tiga khalifah Islam, yakni Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, mati terbunuh. Bahkan, di antaranya dilakukan oleh umat Islam sendiri. Demikian pula, pola kekerasan terus berlanjut hingga munculnya sekte-sekte Islam, seperti Syiah, Khawarij, Muktazilah, dan sebagainya.

Banyak ahli sejarah menyatakan bahwa kelahiran berbagai sekte tersebut
pada mulanya berawal dari konflik internal umat yang belakangan berujung
pada munculnya aliran teologi. Era berikutnya, muncul pula kasus mihnah
(inquisition) terhadap kelompok pengikut Imam Ahmad bin Hanbal yang dilakukan oleh golongan Muktazilah. Pada era lebih belakangan, giliran kelompok Muktazilah (rasionalisme Islam) yang mengalami kasus mihnah. Dewasa ini, benih-benih dan kasus kekerasan terus berlanjut dengan munculnya fenomena takfir (pengkafiran) oleh satu golongan kepada golongan lainnya.

Konsep Dasar
Terkait munculnya gagasan tentang perlunya sertifikasi bagi ulama di Tanah
Air dengan belajar dari Arab Saudi mau pun “MUI” Singapura, dalam khazanah keislaman konsep ulama umumnya dipahami sebagai seseorang atau segolongan umat yang memiliki pemahaman mendalam tentang Islam
(arrasikhuna fil-’ilm). Tugas para ulama ini adalah menegakkan yang makruf dan nahi mungkar, namun dengan cara-cara yang makruf, bukan dengan cara mungkar atau menghalalkan segala cara, seperti yang digunakan oleh kelompok teroris.

Almarhum Prof Deliar Noer juga melontarkan, perlunya umat melahirkan
para intelektual yang ulama dan ulama yang intelektual. Bila ulama ditengarai
sebagai orang yang ahli kitab kuning maka intelektual ahli di bidang kitab
putih. Distingsi antara ulama dan intelektual sebenarnya berawal dari era
Imam Ghazali yang membedakan antara ilmu yang fardhu ‘ain (ilmu keislaman/
ulama) dengan ilmu yang fardhu kifayah (ilmu umum/intelektual).

Akhir-akhir ini, khususnya di berbagai kampus IAIN/STAIN/UIN, ingin mengintegrasikan kembali antara intelektual ulama sebagaimana yang dikemukakan oleh Deliar Noer. Ulama masa depan, oleh almarhum Prof Harun
Nasution, harus bergelar doktor, yang teruji secara akademis dan harus memiliki
kemampuan mengintegrasikan antara IS (Islamic studies) dan NS (natural sciences), SS (social sciences), serta H (humanities).

Harapan tersebut mirip-mirip dengan apa yang telah pernah ada dalam sejarah
keilmuan klasik, sebagaimana Ibnu Rusyd, al-Farabi, al-Ghazali, Ibnu sina,
Ibnu Khaldun, dan sebagainya. Dengan semakin terdiferensiasinya wawasan
keilmuan dewasa ini, tentu agak sulit menemukan atau mencetak ulama plus
intelektual tersebut. Namun, paling tidak, pemahaman ulama (doktor) masa depan tetap harus memiliki wawasan umum yang integrative, seperti disebut di atas (IS + NS, SS, dan H).
Solusi ke Depan

Pertama, gagasan tentang perlunya sertifikasi/ standardisasi ulama tentu
sesuatu yang ideal, seperti yang harus di miliki para guru, dosen, dokter, pengacara, dan lain-lain. Standardisasi ini memang patut dipertimbangkan sejalan dengan semakin kompleksnya tantangan dakwah yang membutuhkan hadirnya ulama/dai andal sehingga nama baik Islam akan terhindar dari “bajakan” dai yang unqualified/ low standard, seperti yang kini banyak muncul di TV, fenomena dakun(dai-dukun), dan dai penuh humor. Maka, perlu ada upgrading secara periodik untuk para dai tentang wawasan IS + NS, SS, dan H.

Kedua, perlu ada semacam korp atau asosiasi mubaligh yang ditentukan oleh
masing-masing ormas, MUI, Kemenag, dan ikatan dai. Muhammadiyah sendiri,
melalui Majelis Tarjih, pernah berencana membuat daftar ilmuwan/ ulama.

Ketiga, agar lebih fair maka upaya sertifikasi yang sama juga perlu ditetapkan
kepada para calon pemimpin bangsa, sejak calon presiden hingga calon lurah;
calon anggota DPR/DPRD, juga lainnya. Misalnya, standar calon presiden, dia tidak memiliki rekam jejak sebagai pelanggar HAM, korupsi, dan sejenisnya.

Keempat, standardisasi yang sama juga perlu diberlakukan kepada pelbagai
media cetak dan audio visual/TV, juga film untuk tidak menayangankan bentuk-bentuk violence dan pornoaksi yang justru menjadi virus kekerasan yang banyak
melahirkan kegeraman anak muda yang selalu ingin menjaga kesucian hati dan
pikiran. Mungkin, KPI harus lebih ketat lagi dalam soal ini.

Kelima, khusus untuk aparat kepolisian di seluruh Tanah Air, juga perlu
standardisasi dan profesionalitas kerja, serta memberi keteladanan kepemimpinan di semua lini. Publik juga geram dan mendorong munculnya benih kebencian ketika melihat kasus simulator yang terkesan ditutup-tutupi oleh Polri. Pun fenomena polisi sebagai “tukang pukul” bagi pengusaha kaya maupun “pelindung” aksi kriminal lain nya. Demikian pula anak-anak muda geram melihat lembaga keagamaan semacam Kemenag yang terindikasi paling korup di Tanah Air.

Keenam, anak-anak bangsa juga menjadi gemas dan cenderung semakin radikal melihat rezim penguasa saat ini yang terus “bermain-mata” dengan intervensi asing, terutama dalam pengelolaan SDA. Ketujuh, anak-anak muda juga geram karena banyaknya kasus besar yang tidak pernah tuntas, seperti pelanggaran HAM/korupsi: Munir, Century, Trisakti, Mesuji, Sampang, Hambalang, dan sebagainya. Akhirnya, proyek deradikalisasi harus lebih fokus pada “sarang” teroris dan oknum Densus 88 sendiri yang oleh publik terkesan arogan dan sewenang-wenang. ●
◄ Newer Post Older Post ►