Kamis, 13 September 2012

Menuntut Keadilan Undang-Undang


Menuntut Keadilan Undang-Undang
Mochammad Maksum Machfoedz ; Guru Besar UGM, Ketua PBNU 2010-2015
REPUBLIKA, 13 September 2012


Pada 15 September 2012, musyawarah nasional alim ulama dan konferensi besar yang diselenggarakan PBNU di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, resmi dimulai. Beragam agenda, mulai dari pameran, kirab kader NU Cirebon dan sekitarnya, maupun agenda lain dilaksanakan pada masa munas maupun pramunas.

Tema besarnya “Kembali ke Khitthah Indonesia 1945“ telah dirumuskan menjadi isu sentral yang dijabarkan menjadi beberapa tindak kejamiahan NU untuk melakukan evaluasi diri menghadapi aneka tantangan kebangsaan dan merumuskan penguatan khidmat NU dalam mengawal semangat Proklamasi Kemerdekaan 1945, mewujudkan masyarakat Indonesia yang berdaulat, adil, dan makmur. Munas alim ulama inilah lembaga tertinggi setelah muktamar yang melambangkan supremasi ulama dalam mengawal perjalanan NU.

Supremasi Alim Ulama

Supremasi pemikiran bagi NU adalah supremasi ulama dan direpresentasikan oleh kelembagaan Syuriah NU. Karena itu, sejumlah seminar dan diskusi yang tersentral dalam bahtsul masa'il (BM), forum pembahasan aneka persoalan kemasyarakatan dan kebangsaan, menjadi kegiatan utama dengan pelibatan para alim ulama se-Indonesia. Tidak pernah ada kontroversi. BM inilah sumber segala eksistensi NU serta didasari kekuatan syar'i dan khazanah akademik Aswaja NU dalam mencermati dinamika kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam konteks supremasi keulamaan inilah, pemikiran yang berkembang pada tingkat BM menjadi landasan kuat bagi orientasi program kerja NU. Ini kemudian dijabarkan lebih lanjut pada tingkat keorganisasian menjadi landasan operasional bagi NU dengan se gala perangkat organisasinya dalam mengawal kiprah politik kebangsaan, pengembangan kebudayaan, pembangunan sosial, kritik kebijakan konstruktif, gugatan perundangan, dan sejumlah langkah politik kebangsaan lainnya.

Subtema yang menyebut peningkatan khidmat NU bagi terwujudnya Indonesia yang berdaulat adil dan makmur sudah tentu menempatkan anasir kedaulatan keadilan-kemakmuran sebagai alat ukur terpenting dalam perspektif NU ketika BM membahas isu-isu kemasyarakatan dan kebangsaan yang sementara ini sangat memerlukan pemikiran ulang para kiai. Kajian yang dilakukan komisi BM Qanuniyyah, misalnya, dalam membahas sejumlah perundangan bermasalah tidak pernah terlepas dari tiga anasir itu: kedaulatan-keadilan-kemakmuran.

Menggugat Ketidakadilan

Paling menarik dalam munas adalah keprihatinan ulama ketika mencermati dinamika perekonomian nasional. Realitasnya, mayoritas warga bangsa dan nahdliyyin nyaris tidak pernah terhela serta dalam mobilitas vertikal sebagaimana ditunjukkan oleh kemajuan perekonomian nasional, kalau tidak boleh disebut justru semakin termarjinalkan dalam ekonomi kapitalistik-neoliberalistik.

Berdasarkan kajian syar'idan telaah akademik para kiai melalui serangkaian kegiatan pramunas, tampak sekali bagaimana mayoritas warga bangsa kian tersisihkan sebagai korban utama, the most disadvantaged people, bagi usaha ekonomi segelintir pemilik kapital. Menurut majelis kiai, persoalan politiknya menjadi semakin serius ketika ternyata tersisihnya mayoritas justru terjadi secara struktural via perundangan yang memiliki sejumlah cacat kedaulatan dan legalitas.

Berbasis fakta inilah, telaah saksama dilakukan terhadap berbagai produk perundangan yang pantas disinyalir penuh kezaliman dan biang kemerosotan perekonomian rakyat, penyangga kehidupan mayoritas warga Indonesia. Sejumlah undang-undang sarat kezaliman telah dibahas dalam pramunas.

Beberapa akan ditindaklanjuti melalui finalisasi munas, antara lain, (i) UU No 3/2004 tentang BI yang semau gue dan tidak melirik rakyat kecil; (ii) UU No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang memanjakan investasi asing; (iii) UU No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang menafikan masyarakat setempat; (iv) UU No 4/2009 tentang Pertambangan, Mineral, dan Batu Bara yang menistakan ekologi dan penduduk asli; (v) UU No 7/2004 tentang Sumber Daya Air yang bersyahwat privatisasi, komersialisasi, dan antipartisipasi; (vi) RUU Pangan yang sarat semangat importasi; (vii) UU NO 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang liberalistis dan komersialis.

Secara garis besar, ketidakadilan terjadi akibat melencengnya perundangan dari amanat kebangsaan dalam mengawal kepentingan kerakyatan, kedaulatan, dan keadilan sosial. Sementara, dalam perspektif legal undang-undang ekonomi tidak lagi mengindahkan Pasal 33 UUD 1945, Pembukaan UUD 1945, dan Pancasila.

Undang-undang nirkeadilan ini sudah sepantasnya ditinjau kembali dan atau diberedel demi hukum. Ketidakadilan undang-undang insya Allah tuntas dibahas dalam munas yang melibatkan lebih banyak kiai.

Keprihatinan NU yang teramat multidimensional meliputi keprihatinan syar’i, legal, dan akademik adalah perenungan jangka panjang dalam merespons dinamika kemasyarakatan dan kebangsaan. Sudah pasti pembenahannya menjadi tanggung jawab bersama, utamanya lembaga legislatif kita.
◄ Newer Post Older Post ►