Senin, 17 September 2012

Rumah untuk Rakyat (Miskin)

Rumah untuk Rakyat (Miskin)
Siwi Nugraheni ;  Dosen Fakultas Ekonomi
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
KOMPAS, 17 September 2012


Tempat tinggal merupakan kebutuhan dasar manusia selain pangan dan sandang. Pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal adalah hak setiap warga negara karena dijamin oleh UUD 1945 (yang diamandemen) Pasal 28 Ayat 1.

Pasal ini menyatakan bahwa ”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.

Dalam kenyataan, data Rencana Strategis II Kementerian Perumahan Rakyat (2010-2014) menunjukkan, masih terdapat selisih antara jumlah rumah dan kebutuhan akan rumah (backlog) 7,4 juta unit. Data backlog justru lebih besar lagi jika kita memakai Survei Sosial Ekonomi Nasional (2009) sebagai acuan. Menurut Susenas (2009), pada 2009 terdapat 13,5 juta keluarga belum punya tempat tinggal, dengan tambahan kebutuhan sekitar 820.000 unit setiap tahunnya. Jumlah ini belum termasuk 3 juta keluarga yang masih menempati rumah tak layak huni. Jika diasumsikan setiap keluarga terdiri atas 4 orang, berdasarkan estimasi Susenas, tahun 2009 ada 66 juta jiwa tak terpenuhi kebutuhan tempat tinggal layak.

Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan rumah layak huni dan terjangkau, terutama bagi kelompok masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), seperti tertera dalam sasaran Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional II 2010-2014, kebijakan pemerintah adalah: menyediakan prasarana dan sarana dasar untuk kawasan rumah sederhana, mengembangkan pola subsidi yang lebih baik (efisien dan efektif) sebagai pengganti subsidi selisih bunga, menyediakan rumah baru layak huni bagi masyarakat yang belum punya rumah, meningkatkan akses masyarakat ke kredit mikro untuk pembangunan dan perbaikan rumah berbasis swadaya masyarakat, membangun rumah susun sewa (rusunawa), dan rumah susun milik (rusunami) melalui peran serta swasta.

Jika diperhatikan, hampir semua kebijakan bertujuan untuk menyediakan bangunan rumah sebagai barang privat bagi MBR. Rumah yang akhirnya menjadi milik masyarakat. Hanya ada satu kebijakan dengan kepemilikan rumah oleh pemerintah (rumah sebagai barang publik), yaitu penyediaan rusunawa. Apakah kepemilikan rumah sebagai barang privat adalah penyelesaian yang efektif bagi pemenuhan kebutuhan MBR atas papan?

MBR secara formal didefinisikan sebagai kelompok masyarakat yang berpenghasilan maksimal Rp 2 juta per bulan. Sebagai dasar kebijakan penyediaan tempat tinggal, definisi ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, patokan pendapatan tersebut tak diikuti keterangan apakah Rp 2 juta merupakan penghasilan per orang ataukah per keluarga.

Seandainya pun per keluarga, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai asumsi yang digunakan menyangkut jumlah dan komposisi usia anggota keluarga. Padahal, penghasilan yang sama jika jumlah dan komposisi umur anggota keluarga berbeda, jelas akan memiliki konsekuensi tingkat kesejahteraan yang berbeda.

Kelemahan kedua pendefinisian MBR adalah asumsi bahwa kelompok ini sebagai kesatuan yang homogen sehingga memiliki ”kekuatan ekonomi yang sama”. Jehansyah Siregar, dosen ITB dan pengamat perumahan dan permukiman, pada berbagai kesempatan menyatakan bahwa pasar perumahan terdiri atas banyak lapisan. Pengelompokan konsumen perumahan berdasarkan pendapatan mereka menjadi tiga—atas, menengah, dan bawah—adalah langkah yang terlalu menyederhanakan masalah.

Dalam kenyataannya, apabila dicermati, kelompok MBR terdiri atas banyak lapisan. Mulai dari pegawai negeri, buruh, pedagang kaki lima, pedagang asongan, sampai pemulung, gelandangan, masyarakat yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Untuk kelompok-kelompok masyarakat yang paling miskin ini, jangankan menyisakan penghasilan untuk mencicil rumah (sekalipun sudah dibantu dengan segala kebijakan pemerintah yang meringankan), memiliki penghasilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun mereka masih sangat kesulitan.

Dengan demikian, skema kebijakan berupa bantuan dengan tujuan memiliki rumah tidak banyak membantu kelompok-kelompok tersebut. Mereka lebih membutuhkan tempat tinggal, bukan memiliki rumah. Rumah yang disediakan pemerintah (sebagai barang publik), yang dapat disewa atau bahkan ditempati secara cuma-cuma (semacam rumah sosial) akan lebih cocok bagi kelompok tersebut. Apakah rusunawa menjawab persoalan?

MBR dan Rusunawa

Rumah susun sewa (atau lebih dikenal sebagai rusunawa) adalah rumah susun yang dibangun pemerintah (menggunakan dana APBN, lewat anggaran Kemenpera), di atas lahan milik pemda atau institusi lain seperti Polri dan universitas (negeri atau swasta). Setelah selesai dibangun, rusunawa akan diserahkan kepada pemilik lahan untuk dikelola, tetapi sebagai pemilik, pemda atau institusi-institusi tersebut tak berhak menjualnya.

Sebagai rumah sewa, rusunawa akan disewakan kepada masyarakat. Biaya sewa ditentukan pengelola (pemda atau institusi lain). Tetapi, mengacu pada UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, besarnya uang sewa tidak boleh lebih dari sepertiga upah minimum yang berlaku.

Jika, katakanlah besarnya upah minimum rata-rata Rp 1 juta per bulan, maka tarif sewa rusunawa tak boleh melebihi Rp 333.000 per bulan. Beberapa di antaranya bahkan mampu menerapkan tarif di bawah itu, sekitar Rp 100.000-Rp 200.000, per bulan. Dengan luas ruangan sekitar 36 meter persegi, tarif tersebut cukup masuk akal, apalagi biaya itu sudah termasuk pengeluaran untuk air, listrik, jasa keamanan dan pengelolaan sampah. Bagi kelompok yang memiliki pendapatan pas-pasan, mereka masih bisa berharap untuk mendapatkan tempat tinggal layak huni.

Sayangnya, ada satu ketentuan yang menyangkut batas waktu maksimal menghuni rusunawa, yaitu tiga tahun. Setelah jangka waktu tersebut, penyewa harus keluar dari rusunawa, sebab diharapkan mereka telah memiliki rumah pribadi. Dalam kenyataannya, banyak penyewa yang setelah batas waktu berlalu tetap tak mampu mencicil rumah lewat kredit kepemilikan rumah.

Selain sifatnya yang sementara (hanya tiga tahun), skema rusunawa juga belum menjawab kebutuhan kelompok masyarakat yang ”untuk hidup memadai” saja susah. Skema bantuan rumah sosial Kemenpera adalah kebijakan paling efektif bagi mereka untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal. Sayangnya, kebijakan penyediaan rumah sosial tak terlalu populer jika dibanding kebijakan lain yang menyediakan rumah sebagai barang privat.

Barang Publik

Seperti disebut di atas, berdasarkan UU No 1 Tahun 2011, pemerintah (baik pusat maupun daerah) punya kewajiban konstitusional dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman demi terpenuhinya hak atas tempat tinggal yang layak. Perlu digarisbawahi di sini, kebutuhan yang wajib dipenuhi adalah tempat tinggal, bukan kepemilikan rumah. Tempat tinggal bisa berarti rumah sebagai barang publik, milik pemerintah, disewa atau bahkan ditempati secara cuma-cuma oleh mereka yang memang pantas mendapatkan.

Kebijakan perumahan dan permukiman yang dilakukan pemerintah sekarang ini, yang sebagian besar menekankan pada terpenuhinya keinginan memiliki rumah, belum menjawab kebutuhan akan tempat tinggal layak huni bagi masyarakat lapis terbawah. Keterbatasan ekonomi kelompok ini tak memungkinkan mereka membayar cicilan rumah. 

Tempat tinggal dengan sistem sewa atau bahkan tidak berbayar akan lebih efektif bagi mereka. Rusunawa sebagai tempat tinggal sewa, karena sifatnya sementara (jangka waktu huni tiga tahun), belum menjadi solusi berkelanjutan. Perlu dipikirkan untuk memperbanyak kebijakan penyediaan rumah sebagai barang publik, bisa dalam bentuk rumah sewa, tetapi dengan jangka waktu sewa yang panjang, atau rumah sosial yang dapat ditempati secara cuma-cuma. ●

◄ Newer Post Older Post ►