Kamis, 06 September 2012

Proyek Olahraga Nasional


Proyek Olahraga Nasional
Anton Sanjoyo ;  Wartawan Kompas
KOMPAS, 06 September 2012


Oleh kalangannya sendiri, bangsa Indonesia sering disindir ”bisa membangun, tetapi tidak bisa memelihara”. Dalam banyak kasus, terutama yang berkaitan dengan ruang publik, sindiran itu lebih banyak benarnya. Tengok fasilitas publik terdekat di sekitar kita: pasar, halte bus, atau stasiun, hampir pasti kondisinya lebih buruk daripada ketika awal dibangun.

Belakangan, sindiran itu bertambah nyinyir. Membangun pun bangsa ini kalang kabut, apalagi memeliharanya. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Ketika membangun bermasalah, setelah jadi tidak terurus, terbengkalai, dan akhirnya rusak. Ratusan miliar rupiah uang negara yang bersumber dari pajak, hasil keringat rakyat, hanya dihambur-hamburkan karena kita tak pernah belajar dari pengalaman masa lalu. Tidak pernah jadi pandai.

Yang terakhir, berkaitan erat dengan pembangunan fasilitas olahraga di luar Jakarta, terutama untuk kegunaan ajang multi-event seperti SEA Games atau Pekan Olahraga Nasional (PON).

Tahun lalu, ketika Indonesia (Jakarta dan Palembang) menjadi tuan rumah SEA Games, sejumlah arena (venue) baru kelar dalam hitungan hari menjelang pembukaan. Kebiasaan menyelesaikan pekerjaan mepet dengan tenggat ini berakibat ditabraknya berbagai rambu pengelolaan keuangan negara. Belum genap setahun sejak SEA Games Jakarta-Palembang yang kalang kabut, panitia PON 2012 Riau tak mau kalah dalam soal pontang-panting menyelesaikan pembangunan arena.

Pantauan Kompas dalam sepekan terakhir di berbagai arena PON 2012 memicu kekhawatiran besar. Bukan saja fisik bangunan yang masih jauh dari penyelesaian akhir, melainkan juga berbagai fasilitas penunjangnya, seperti kelistrikan, sistem pembuangan air, dan akses jalan masuk. Kondisi yang terus berulang ini menunjukkan ada problem serius dalam manajerial keolahragaan nasional.

Tidak heran kemudian muncul tudingan bahwa ajang-ajang pesta olahraga belakangan banyak dimanfaatkan sebagai proyek untuk mengeruk keuntungan bagi oknum-oknum penyelenggara. Timbulnya istilah ejekan proyek olahraga nasional harus dipandang sebagai keprihatinan masyarakat terhadap manajerial olahraga yang amburadul oleh penyelenggara negara.

Bagaimana tidak? Penunjukan Riau sebagai penyelenggara terjadi sejak 2006. Artinya, ada jeda enam tahun sebelum obor menyala di kaldron stadion. Namun, waktu seleluasa itu ternyata tidak dikelola dan direncanakan dengan baik.

Tudingan miring terhadap penyelenggaraan PON 2012 Riau semakin berat setelah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan sejumlah tersangka korupsi terkait pembangunan sarana. Ini menimbulkan sangkaan kuat bahwa mepetnya penyelesaian pembangunan berbagai arena adalah proses yang sejak awal disadari, tetapi tidak pernah dicarikan jalan terbaik untuk diselesaikan. Ini semata-mata demi lancarnya pola-pola korupsi yang memang sudah sistemik.

Dalam konteks keolahragaan nasional yang lebih luas, penyelenggaraan PON di luar Jakarta sebenarnya merupakan ide gemilang. Dengan tersebarnya pembangunan prasarana olahraga ke berbagai wilayah, diharapkan terjadi percepatan pemassalan atlet yang ujungnya adalah peningkatan prestasi olahraga Indonesia secara umum. Ide ini juga dimaksudkan untuk menyebarkan sentra-sentra pembangunan olahraga prestasi di banyak daerah, terutama luar Pulau Jawa.

Sayangnya, dalam banyak kasus, pembangunan sarana olahraga secara masif, khususnya untuk gelaran pesta seperti PON atau SEA Games, sering kali hanya dipandang sebagai proyek. Hanya sebuah momen berdurasi dua pekan tanpa ada kelanjutan pemanfaatan. Akibatnya, kita sering melihat berbagai fasilitas olahraga, yang sebagian dibangun dengan memeras pajak rakyat, telantar. Kita bisa mendatanya mulai dari GOR Delta Sidoarjo, Sekayu di Sumatera Selatan, hingga Palaran di Kalimantan Timur.

Kisah prasarana sedih olahraga di beberapa daerah penyelenggara PON itu sungguh ironis mengingat salah satu penyebab merosotnya prestasi olahraga Indonesia adalah tidak tersedianya prasarana yang memadai. Dalam gambaran yang lebih luas, hampir semua cabang olahraga mengalami kelangkaan sarana mulai dari pemassalan sampai dengan olahraga prestasi. Di wilayah perkotaan bahkan tingkat pertumbuhan kawasan bisnis dan komersial sangat pesat, sementara prasarana olahraga mengalami penyusutan akibat alih fungsi, sebagian besar menjadi kawasan komersial.

Lepas dari problematika PON sebagai pemicu tersedianya prasarana olahraga secara merata di sejumlah daerah, ajang empat tahunan ini juga idealnya adalah kawah candradimuka bagi atlet-atlet nasional untuk meraih prestasi di level yang lebih tinggi: SEA Games, Asian Games, dan berpuncak di olimpiade. Namun, dalam dua dekade terakhir, fenomenanya berubah menjadi proyek. Banyak atlet lebih bergairah ikut PON ketimbang SEA Games karena lebih berpeluang meraih medali, yang berarti hadiah uang ratusan juta rupiah.

Bajak-membajak atlet yang terjadi lintas provinsi menandai perubahan fenomena ini. Bagi sebagian atlet, migrasi ke daerah yang menawarkan imbalan lebih besar sudah menjadi hal yang umum. Sementara bagi penguasa daerah, membajak atlet jadi dari daerah lain adalah langkah ”potong kompas” yang mujarab, kebanyakan untuk kepentingan pencitraan politik dan pelanggengan kekuasaan.

Pada akhirnya, PON benar-benar hanya menjadi proyek bagi para pelakunya. Semboyan olimpiade: Citius, Altius, Fortius, yang berarti lebih cepat, lebih tinggi, lebih kuat, sungguh kehilangan makna. ●
◄ Newer Post Older Post ►