Kamis, 06 September 2012

Meredam Kekerasan Sektarian

Meredam Kekerasan Sektarian
Fajar Riza Ul Haq ;  Direktur Eksekutif Maarif Institute for Culture and Humanity
KOMPAS, 06 September 2012


Pesta ketupat belum usai, kekerasan sektarian sudah merenggut keceriaan komunitas Syiah, Sampang. Lebih ironis, perkampungan sebuah tarekat di Sukabumi dibakar tepat pada hari raya. Ratusan orang dipaksa mengungsi.

Pemerintah sudah membuat kesimpulan, konflik berdarah itu lebih bersumbu pada perselisihan keluarga. Motif perseteruan aliran Sunni-Syiah bukanlah faktor dominan. Menurut pihak kepolisian, aksi kekerasan yang menimpa komunitas Syiah merupakan kriminal murni. Pandangan ini dikuatkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Bahkan, Ketua Umum PBNU mengeluarkan pernyataan senada (Kompas.com, 28/8).

Namun, cukup banyak pihak meragukan temuan pemerintah tersebut mengingat aksi teror terhadap komunitas Syiah di Jawa Timur berlangsung sistematis. Menurut pimpinan Pondok Pesantren YAPI, Bangil, aksi intimidasi bahkan anarkis terhadap pengikut Syiah mulai dirasakan sejak tahun 2007. Kelompok anti-Syiah menebarkan kebencian melalui pelbagai media, terutama pengajian, dan tidak jarang mereka melakukan teror, seperti hujatan dan pelemparan. Laporan-laporan pengurus pesantren terkait aksi teror tersebut tidak mendapat tanggapan dari pihak kepolisian dan pemerintah.

Dengan demikian, mengupayakan penyelesaian kekerasan terhadap komunitas Syiah dalam kerangka konflik keluarga dan kriminal murni mereduksi akar persoalan dan faktor pemicu teror kekerasan. Mengikuti pendekatan studi sektarianisme yang dilakukan Riikonen (2007) di Pakistan, kita sudah seharusnya cemas dengan adanya gejala kekerasan sektarian di negara yang menjadikan kebinekaan sebagai prinsip berbangsanya. Sektarianisme selalu berhubungan dengan sikap fanatisme keagamaan kelompok sehingga ikut memengaruhi keyakinan dan tindakan pemeluknya ketika berjumpa dengan kelompok yang berbeda.

Dalam konteks ini, kekerasan sektarian itu sering kali menjadi bagian dari ritual yang justru dilakukan di tempat suci, seperti mesjid, dan kesempatan mulia, seperti ceramah keagamaan. Pada dasarnya, tindakan menyebarkan benih-benih kebencian dan permusuhan terhadap kelompok yang dianggap berbeda dan sesat sudah memasuki ranah kekerasan sektarian. Proses di tahap inilah yang bisa memacu satu kelompok melakukan kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda secara pandangan keagamaan.

Banyak kasus memperlihatkan betapa kelompok minoritas, baik dalam satu agama maupun beda agama, sangat rentan menjadi korban intoleransi dan kriminalisasi. Tidak adanya tindakan hukum terhadap pelaku kekerasan akan memancing aksi serupa di tempat lain, baik oleh kelompok yang sama maupun dari pihak kelompok korban. Adanya upaya propaganda anti-Syiah secara intensif seperti diungkap pimpinan Pesantren YAPI di atas menjadi bukti bahwa akar persoalan konflik di Sampang adalah gejala kekerasan sektarian.

Waspadai Eskalasi

Penulis melihat kemunculan konflik sektarian merupakan dampak dari Islamisasi yang kian mengakar di kalangan masyarakat Muslim, khususnya di Jawa. Ricklefs memahami Islamisasi sebagai proses pendalaman komitmen untuk hidup sesuai dengan standar kepercayaan normatif Islam, praktik, dan identitas keagamaan. Pada kenyataannya, rumusan standar Islamisasi adalah suatu yang diperebutkan, baik di antara individu maupun kelompok. Inilah isu yang sangat krusial dan menyeruak ke ruang publik, siapa dan kelompok mana yang punya otoritas menentukan kebenaran dan kemurnian ajaran agama.

Dalam Islamisation and Its Opponents in Java (2012), sejarawan terkemuka ini menemukan fakta bahwa telah terjadi pendalaman Islamisasi di kalangan kelompok-kelompok santri seiring kekalahan kelompok abangan. Kebijakan politik Orde Baru salah satu faktor utamanya. Kini, pengaruh kalangan santri kian dominan di birokrasi negara dan masyarakat, menyingkirkan kelompok abangan yang mayoritas pada awal kemerdekaan.

Pertanyaan kemudian, kenapa fenomena pendalaman Islamisasi berkorelasi dengan menguatnya gejala konflik sektarian? Pertama, perebutan otoritas atas tafsir ajaran agama kian terbuka dan keras di antara kelompok/organisasi Islam pascakelompok abangan kehilangan kekuatannya. Aksi penyerangan kelompok tertentu terhadap kampung pengikut Tarekat At-Tijaniyah salah satu contohnya. Kedua, model pemahaman Salafisme dan Wahabisme dari jalur penyebaran Timur Tengah bereproduksi di institusi-institusi pendidikan keagamaan dalam negeri.

Kedua ideologi ini dikenal menolak prinsip-prinsip politik kewargaan yang menjadi fondasi bagi sebuah negara demokrasi. Arus baru inilah yang menggeser corak Islamisasi di level akar rumput yang sebelumnya diarsiteki organisasi moderat seperti NU dan 
Muhammadiyah.

Karena itu, pemerintah harus mulai serius merumuskan kebijakan dan strategi komprehensif dalam menangani kasus-kasus kekerasan sektarian sebelum berkembang lebih jauh. Perlu penanganan dari hulu ke hilir. Terlebih, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengakui, selama ini upaya penyelesaian persoalan konflik berlatar belakang agama tidak pernah tuntas.

Tak mengherankan apabila menguatnya intoleransi, bahkan kekerasan dalam kehidupan beragama, menjadi sisi lain yang gelap pada saat citra ekonomi-politik Indonesia bersinar di kawasan Asia bahkan global. Ketiadaan terobosan kebijakan politik dalam pengelolaan kebinekaan bangsa akan bermuara pada membesarnya ancaman eskalasi konflik sektarian. Kondisi ini akan semakin buruk jika konflik itu dibiarkan bereskalasi dan dieksploitasi demi kepentingan politik dan keamanan. ●


◄ Newer Post Older Post ►