Pesantrenku dalam Sorotan
Muh Kholid AS ; Jurnalis, Santri Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki, Sukoharjo, 1993-1999 |
JAWA POS, 07 September 2012
SETELAH sekian lama tak terdengar, Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki kembali ''tersangkut'' kabar kekerasan. Dua terduga teroris Solo yang tewas tertembak, Farhan Mujahid dan Muchsin Tsani, serta beberapa jaringannya pernah mengenyam pendidikan di Ngruki. Fakta itu membuat tidak sedikit orang melabeli Ngruki sebagai sarang teroris, sebuah julukan tak nyaman bagi siapa pun yang (pernah) hidup di pesantren tersebut.
Adalah benar terdapat alumnus maupun jebolan Ngruki yang terlibat dalam tindak terorisme. Namun, bukanlah sikap yang adil jika kegiatan terorisme yang dilakukan seorang individu selalu dikaitkan dengan institusinya. Apalagi, keterlibatan mereka terjadi setelah beberapa tahun keluar dari pesantren, baik berstatus alumnus maupun protolan. Artinya, proses radikalisasi mereka terjadi saat berinteraksi di luar pesantren, yang tentu saja dengan ragam faktor.
Berdasar hasil investigasi Balitbang Kementerian Agama (2003), sebenarnya tidak ada satu pun kurikulum yang mendorong Ngruki berbuat makar atau kekerasan. Yang mungkin agak ''membedakan'' adalah pembelajaran akidah kelas 1 madrasah tsnawiyah yang membahas kewajiban jihad (fisik) secara normatif serta konsekuensi ''syahadat'' versus thaghut. Secara kebetulan, buku itu merupakan karya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, yang jika dibaca secara serampangan akan memunculkan penafsiran yang distorsif.
Pembeda lain yang khas Ngruki adalah pembelajaran bandongan setiap bakda magrib dan subuh. Kebanyakan buku kajian yang dibahas merupakan karya tokoh ''keras'' Islam pada era ''keterjajahan'' dunia Islam oleh Barat seperti Tarbiyah Jihadiyah, Tafsir fi Dzilal al-Quran, Ma'alim fi al-Thariq, dan Al-Wala' wa al-Bara'. Karena itu, Ngruki akrab dengan pemikiran Fathi Yakan, Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, Said Salim al-Qahthani, Ibn Taimiyyah, Abdullah Azzam, dan sejenisnya.
Militansi santri Ngruki semakin keras ketika pemahaman agama tersebut dibumbui nostalgia sejarah konfrontatif melawan rezim Orde Baru. Santri pun terbiasa bergesekan dengan pemerintah, termasuk sikap resistan kepada aparat pemerintah. Sikap resistansi yang diwariskan sebagian ''faksi'' Ngruki itu merupakan reaksi atas Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal, yang terkadang dicerna para santri tanpa kajian mendalam.
Introspeksi
Bagi Ngruki, ragam peristiwa terorisme patut dijadikan momentum untuk berintrospeksi dalam membekali santri agar tidak mudah dijebak dalam ideologi kekerasan selepas dari pesantren. Memang boleh saja berspekulasi bahwa ragam kasus tersebut merupakan ulangan konspirasi pemojokan aktivis Islam dalam Komando Jihad jilid baru sebagaimana ditengarai Z.A. Maulani dan Suripto, dua tokoh berlatar belakang intelijen. Namun, fakta menunjukkan adanya pelibatan idiom-idiom serta simbol-simbol keagamaan dalam aksi kekerasan dan melibatkan orang-orang mantan Ngruki.
Tindakan terorisme yang sering mencatut agama sudah seharusnya membuat Ngruki menelaah kembali ragam mata pelajarannya. Dalam masalah kajian bandongan, misalnya, ragam karya abad ke-19 yang dijadikan bahan pembelajaran, tampaknya, perlu disandingkan dengan pemikiran Islam yang lahir pada era kemerdekaan. Sebagai sama-sama hasil ijtihad ulama, karya yang muncul dalam dua era berbeda tersebut memiliki corak yang berbeda dalam menghadirkan tafsir Islam menghadapi tantangan zaman.
Begitu juga untuk materi pembelajaran akidah yang cenderung ringkas, patut dilakukan penjelasan agar tidak mudah disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penting ditegaskan, misalnya, masalah jihad bukanlah amaliyah ala teroris yang membabi buta dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa. Jangankan dalam suasana damai, dalam suasana perang pun, Islam punya etika untuk mencapai tujuan.
Tentu bukan sesuatu yang salah jika Ngruki cenderung membentengi diri secara fisik dari luar seperti televisi, radio, dan surat kabar, kecuali beberapa yang telah ''disensor''. Tapi, khusus silaturahmi pemikiran Islam, Ngruki dengan batas-batas tertentu, rasanya, harus mulai terbuka bagi kehadiran buku bacaan alternatif. Keterbukaan ''terkontrol'' itu setidaknya akan membuat santri lebih dini mengenal perbedaan di masyarakat, sehingga tidak ''kaget'' dan punya pikiran alternatif terhadap tawaran ideologi kekerasan setelah keluar pesantren.
Keterbukaan ''terbatas'' tersebut juga berkonsekuensi adanya perubahan metode ceramah dalam penanaman karakter terhadap anak didik. Jika biasanya cenderung dogmatis dan menggambarkan berbagai permasalahan secara hitam dan putih, metode tersebut harus diubah menjadi dialogis. Bahwa teks suci tidak boleh hanya didekati atau dibaca secara literalistik, rigid, dan statis, tetapi juga dibaca dari keilmuan multiindisipliner serta selaras dengan konteks sejarah maupun moral.
Stigma negatif yang muncul di masyarakat merupakan tantangan bagi keluarga besar Ngruki untuk menghadirkan keberagamaan yang bernuansa ketenangan, ketenteraman, dan keselamatan dalam kehidupan sosial. Bahwa seseorang yang beragama harus berimplikasi pada ranah sosial dengan sikap yang mencintai kedamaian, ketenteraman, dan keselamatan dalam wilayah yang seimbang (tawassut) dan tengah-tengah (i'tidal).
Yang tidak kalah penting, upaya menepis stigma negatif Ngruki juga membutuhkan peran para alumnusnya yang mayoritas mutlak menentang terorisme. Dengan jumlah alumnus yang mencapai 20 ribuan, tentu perbuatan segelintir alumnus tidak boleh mencoreng keseluruhan almamater. Sudah saatnya para alumnus yang tersebar di berbagai bidang mulai menunjukkan kualitas terbaik (syuhada' 'ala al-naas) dalam memberikan sumbangsih kemajuan bagi agama, bangsa, serta negara. Dengan demikian, cerita yang menonjol tentang Ngruki bukan hanya yang negatif, tetapi cerita positifnya juga tidak kalah banyak.
Keberadaan Ngruki seperti perkebunan yang telah melakukan beberapa panen. Dari ribuan buah, tentu tidak semua akan berkualitas sama baik. Ada satu dua yang busuk dimakan ulat dari luar perkebunan. Dibutuhkan ragam perawatan dari pengelola untuk terus memperbaiki kualitas ''buah'' agar tidak mudah dimakan ulat. Juga, perlu kerja sama dan dialog dengan pihak lain agar perkebunan itu bisa imun dari ragam hama. Allah a'lam bi al-shawab. ●
Adalah benar terdapat alumnus maupun jebolan Ngruki yang terlibat dalam tindak terorisme. Namun, bukanlah sikap yang adil jika kegiatan terorisme yang dilakukan seorang individu selalu dikaitkan dengan institusinya. Apalagi, keterlibatan mereka terjadi setelah beberapa tahun keluar dari pesantren, baik berstatus alumnus maupun protolan. Artinya, proses radikalisasi mereka terjadi saat berinteraksi di luar pesantren, yang tentu saja dengan ragam faktor.
Berdasar hasil investigasi Balitbang Kementerian Agama (2003), sebenarnya tidak ada satu pun kurikulum yang mendorong Ngruki berbuat makar atau kekerasan. Yang mungkin agak ''membedakan'' adalah pembelajaran akidah kelas 1 madrasah tsnawiyah yang membahas kewajiban jihad (fisik) secara normatif serta konsekuensi ''syahadat'' versus thaghut. Secara kebetulan, buku itu merupakan karya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba'asyir, yang jika dibaca secara serampangan akan memunculkan penafsiran yang distorsif.
Pembeda lain yang khas Ngruki adalah pembelajaran bandongan setiap bakda magrib dan subuh. Kebanyakan buku kajian yang dibahas merupakan karya tokoh ''keras'' Islam pada era ''keterjajahan'' dunia Islam oleh Barat seperti Tarbiyah Jihadiyah, Tafsir fi Dzilal al-Quran, Ma'alim fi al-Thariq, dan Al-Wala' wa al-Bara'. Karena itu, Ngruki akrab dengan pemikiran Fathi Yakan, Sayyid Qutb, Hassan al-Banna, Said Salim al-Qahthani, Ibn Taimiyyah, Abdullah Azzam, dan sejenisnya.
Militansi santri Ngruki semakin keras ketika pemahaman agama tersebut dibumbui nostalgia sejarah konfrontatif melawan rezim Orde Baru. Santri pun terbiasa bergesekan dengan pemerintah, termasuk sikap resistan kepada aparat pemerintah. Sikap resistansi yang diwariskan sebagian ''faksi'' Ngruki itu merupakan reaksi atas Orde Baru yang memaksakan Pancasila sebagai asas tunggal, yang terkadang dicerna para santri tanpa kajian mendalam.
Introspeksi
Bagi Ngruki, ragam peristiwa terorisme patut dijadikan momentum untuk berintrospeksi dalam membekali santri agar tidak mudah dijebak dalam ideologi kekerasan selepas dari pesantren. Memang boleh saja berspekulasi bahwa ragam kasus tersebut merupakan ulangan konspirasi pemojokan aktivis Islam dalam Komando Jihad jilid baru sebagaimana ditengarai Z.A. Maulani dan Suripto, dua tokoh berlatar belakang intelijen. Namun, fakta menunjukkan adanya pelibatan idiom-idiom serta simbol-simbol keagamaan dalam aksi kekerasan dan melibatkan orang-orang mantan Ngruki.
Tindakan terorisme yang sering mencatut agama sudah seharusnya membuat Ngruki menelaah kembali ragam mata pelajarannya. Dalam masalah kajian bandongan, misalnya, ragam karya abad ke-19 yang dijadikan bahan pembelajaran, tampaknya, perlu disandingkan dengan pemikiran Islam yang lahir pada era kemerdekaan. Sebagai sama-sama hasil ijtihad ulama, karya yang muncul dalam dua era berbeda tersebut memiliki corak yang berbeda dalam menghadirkan tafsir Islam menghadapi tantangan zaman.
Begitu juga untuk materi pembelajaran akidah yang cenderung ringkas, patut dilakukan penjelasan agar tidak mudah disalahgunakan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Penting ditegaskan, misalnya, masalah jihad bukanlah amaliyah ala teroris yang membabi buta dengan membunuh orang-orang yang tak berdosa. Jangankan dalam suasana damai, dalam suasana perang pun, Islam punya etika untuk mencapai tujuan.
Tentu bukan sesuatu yang salah jika Ngruki cenderung membentengi diri secara fisik dari luar seperti televisi, radio, dan surat kabar, kecuali beberapa yang telah ''disensor''. Tapi, khusus silaturahmi pemikiran Islam, Ngruki dengan batas-batas tertentu, rasanya, harus mulai terbuka bagi kehadiran buku bacaan alternatif. Keterbukaan ''terkontrol'' itu setidaknya akan membuat santri lebih dini mengenal perbedaan di masyarakat, sehingga tidak ''kaget'' dan punya pikiran alternatif terhadap tawaran ideologi kekerasan setelah keluar pesantren.
Keterbukaan ''terbatas'' tersebut juga berkonsekuensi adanya perubahan metode ceramah dalam penanaman karakter terhadap anak didik. Jika biasanya cenderung dogmatis dan menggambarkan berbagai permasalahan secara hitam dan putih, metode tersebut harus diubah menjadi dialogis. Bahwa teks suci tidak boleh hanya didekati atau dibaca secara literalistik, rigid, dan statis, tetapi juga dibaca dari keilmuan multiindisipliner serta selaras dengan konteks sejarah maupun moral.
Stigma negatif yang muncul di masyarakat merupakan tantangan bagi keluarga besar Ngruki untuk menghadirkan keberagamaan yang bernuansa ketenangan, ketenteraman, dan keselamatan dalam kehidupan sosial. Bahwa seseorang yang beragama harus berimplikasi pada ranah sosial dengan sikap yang mencintai kedamaian, ketenteraman, dan keselamatan dalam wilayah yang seimbang (tawassut) dan tengah-tengah (i'tidal).
Yang tidak kalah penting, upaya menepis stigma negatif Ngruki juga membutuhkan peran para alumnusnya yang mayoritas mutlak menentang terorisme. Dengan jumlah alumnus yang mencapai 20 ribuan, tentu perbuatan segelintir alumnus tidak boleh mencoreng keseluruhan almamater. Sudah saatnya para alumnus yang tersebar di berbagai bidang mulai menunjukkan kualitas terbaik (syuhada' 'ala al-naas) dalam memberikan sumbangsih kemajuan bagi agama, bangsa, serta negara. Dengan demikian, cerita yang menonjol tentang Ngruki bukan hanya yang negatif, tetapi cerita positifnya juga tidak kalah banyak.
Keberadaan Ngruki seperti perkebunan yang telah melakukan beberapa panen. Dari ribuan buah, tentu tidak semua akan berkualitas sama baik. Ada satu dua yang busuk dimakan ulat dari luar perkebunan. Dibutuhkan ragam perawatan dari pengelola untuk terus memperbaiki kualitas ''buah'' agar tidak mudah dimakan ulat. Juga, perlu kerja sama dan dialog dengan pihak lain agar perkebunan itu bisa imun dari ragam hama. Allah a'lam bi al-shawab. ●