Rabu, 12 September 2012

Memerangi Ideologi Terorisme


Memerangi Ideologi Terorisme
Biyanto ;  Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim 
SINDO, 12 September 2012



Setiap gerakan pasti memiliki ideologi yang dijadikan nilai-nilai dasar dalam berjuang. Sebagai manifestasi gerakan sosial keagamaan yang bercorak radikal, terorisme juga memiliki ideologi yang senantiasa diperjuangkan.

Pada konteks inilah perhatian kita harus diarahkan untuk mencermati ideologi yang diperjuangkan terorisme. Ini penting karena terorisme terus menunjukkan perkembangan dengan merekrut banyak kalangan, terutama pemuda. Jaringan terorisme menunjukkan betapa pemuda menjadi sasaran indoktrinasi. Mereka dibidik karena dianggap labil dan sedang mencari jati diri sehingga berpotensi untuk dijadikan kader.

Melalui para pemuda inilah ideologi terorisme terus disemai sehingga gerakan terorisme sulit dilumpuhkan. Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Marciano Norman mengatakan bahwa aksi terorisme belum berakhir (SINDO, 10/9). Aksi terorisme memang tidak akan pernah berakhir sepanjang ideologi gerakannya tidak diperangi. Karena terorisme terus bermetamorfosa, hal yang perlu dilakukan adalah melawan ideologinya.

Ikhtiar ini harus melibatkan seluruh elemen civil society dan dilakukan tanpa kenal lelah. Sebagai langkah awal, usaha melawan ideologi terorisme harus dimulai dengan memahami faktor yang menyebabkan kemunculannya. Di samping itu perlu pula dipahami karakter gerakan terorisme.Hal ini jelas bukan pekerjaan mudah karena terorisme telah menjadi fenomena sosial keagamaan yang berakar kuat.

Faktor munculnya terorisme dapat dijelaskan dengan tiga teori. Pertama, melalui teori struktural yang mengaitkan terorisme dengan sebabsebab yang bersifat eksternal seperti politik, sosial, budaya, dan ekonomi. Kedua, melalui teori psikologi yang menjelaskan motivasi seseorang hingga tertarik untuk bergabung dengan organisasi teroris.Bahkan dengan motivasi tinggi mereka menyiapkan diri sebagai “pengantin” untuk melakukan bom bunuh diri.Ketiga,melalui teori pilihan rasional yang menjelaskan adanya kalkulasi untung rugi yang dijadikan pertimbangan pelaku terorisme.

Penjelasan teori struktural mengaitkan latar belakang terorisme dengan dua faktor. Pertama, faktor prakondisi, berupa penyebab tidak langsung terorisme. Faktor ini berupa akumulasi kekecewaan kelompok teroris, terutama yang berkaitan dengan kegagalan dalam merealisasikan cita-cita politik Islam.Ini dapat dipahami karena gerakan keagamaan yang bercorak radikal selalu memiliki agenda di bidang politik.

Watak politik gerakan radikal dapat diamati melalui perjuangan tokoh-tokohnya dalam konteks kekuasaan seperti keinginan mendirikan negara Islam, formalisasi syariah, serta memahami agama dan politik sebagai satu kesatuan (din wa al-dawlah). Hanya saja, cita-cita politik ini baru sebatas imajinasi karena belum berhasil untuk diwujudkan. Karena itulah Oliver Roy (1994) menyebut cita-cita kelompok Islam politik ini sebagai Islamic political imagination (imajinasi politik Islam).

Kedua, faktor pemercepat (triggering factor), yaitu pemicu langsung gerakan terorisme. Termasuk dalam faktor pemicu adalah ketidakadilan sosial ekonomi, tiadanya penegakan hukum (law enforcement), tersumbatnya partisipasi politik sehingga masyarakat mengalami tuna kuasa (powerless), dan tersedianya persenjataan. Adapun teori psikologi menjelaskan aspek kejiwaan pelaku teroris, mulai dari rekrutmen, pengenalan, kepribadian, penanaman ideologi, dan motivasi anggotanya.

Melalui penjelasan psikologi dapat diketahui latar belakang sosial pelaku teroris. isalnya, ditemukan fakta bahwa pelaku terorisme adalah mereka yang mengalami keterasingan sosial. Kemudian teori pilihan rasional menjelaskan bahwa terorisme dilakukan dengan pertimbangan untung rugi. Melalui teori ini diperoleh penjelasan mengenai faktor cost and benefit yang menjadi pertimbangan pelaku.

Misalnya, ditemukan fakta bahwa pelaku bom bunuh diri adalah mereka yang secara ekonomi kurang mampu. Fakta ini menunjukkan sesungguhnya ada alasan ekonomi di balik keberanian mereka melakukan teror. Ada juga individu yang tergoda masuk jaringan terorisme dengan pertimbangan keagamaan. Mereka berharap mati syahid dan masuk surga. Spirit keagamaan ini terbangun berdasarkan pemahaman yang parsial terhadap ajaran Islam mengenai jihad.

Padahal, jihad tidak hanya berkaitan dengan perjuangan fisik. Buya Sutan Mansur, mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahkan memaknai jihad dengan “bekerja sepenuh hati.”Pemaknaan ini menarik karena sama sekali tidak menyinggung kata perang. Mengenai karakter ideologi gerakan radikal, Hrair Dekmejian (1980) menjelaskan bahwa gerakan ini memiliki tiga sifat: merata (pervasiveness), memiliki banyak pusat (polycentrism), dan berjuang terus-menerus (persistence).

Karakter pertama menunjukkan bahwa fenomena gerakan sosial keagamaan yang radikal sejatinya terjadi merata di hampir seluruh dunia. Gerakan ini umumnya menonjolkan aspek simbolik dari ajaran agama. Karena itu tidak berlebihan jika dikatakan bahwa jaringan terorisme bersifat transnasional. Karakter kedua, polycentrism, ditunjukkan melalui banyaknya organisasi sosial keagamaan yang bercorak radikal. Aktivitas gerakan berkarakter radikal ini dilakukan banyak organisasi.

Setiap organisasi memiliki pemimpin,program, strategi, dan taktik yang berbeda. Uniknya setiap gerakan ini tidak saling berhubungan. Meski begitu, organisasi- organisasi tersebut memiliki kesamaan agenda. Salah satunya adalah mewujudkan negara Islam sebagai negara ideologis yang domainnya mencakup seluruh aspek kehidupan.

Dengan menempatkan Islam sebagai ideologi maka dapat dijadikan dasar membuat kebijakan di bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Karakter ketiga, persistence, berarti bahwa gerakan radikal bergerak terus-menerus, pantang menyerah, dan berani mengambil risiko apa pun asal tujuan tercapai.Dengan karakter ini maka tokoh terorisme diharuskan merekrut kader yang akan melanjutkan perjuangannya.

Melalui cara ini ideologi terorisme terus ditanamkan sehingga mengakar kuat dalam diri pengikutnya. Berkaitan dengan keinginan berjihad untuk melawan ideologi terorisme, maka yang harus dilakukan adalah tidak memberikan kesempatan terhadap munculnya tindakan radikal. Dan, keinginan ini akan tercapai jika faktor-faktor yang menjadi pemicu terorisme diminimalkan.

Termasuk dalam kategori faktor pemicu adalah ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, politik, dan kepentingan elit. Dalam kaitan ini,penanganan kasus korupsi, terutama yang menjadi perhatian publik, harus segera diselesaikan dengan menjunjung asas keadilan.

Jika ini tidak dilakukan, maka persoalan ketidakadilan dalam penanganan korupsi juga sangat berpotensi untuk memicu aksi teroris. Hal ini penting dijadikan atensi pemerintah dan elite politik agar bahaya laten terorisme dapat dicegah.
◄ Newer Post Older Post ►