Rabu, 12 September 2012

China dalam Benak Kita


China dalam Benak Kita
Dinna Wisnu ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SINDO, 12 September 2012


Artikel ini saya tulis menjelang keberangkatan saya menuju Beijing selama beberapa hari ke depan. Seperti warga Jakarta lain, saya datang lebih awal dari jadwal keberangkatan. Hal itu bukan karena saya superdisiplin, tetapi selain karena khawatir terjebak macet, pesawat yang nanti saya tumpangi ternyata full.

Walhasil, sebagai penumpang kelas ekonomi saya perlu buru-buru check-in supaya bisa memilih lokasi duduk yang nyaman. Terlepas dari kesibukan persiapan keberangkatan, ada rasa ingin tahu yang besar dalam kunjungan ini. Selama ini saya banyak menulis tentang China, tetapi baru kali ini saya mendapat kesempatan diundang langsung untuk mengunjungi negara yang Jumat lalu baru mengumumkan dimulainya 60 proyek infrastruktur baru dengan nilai USD157 miliar di China.

Suatu dana yang besar untuk kondisi ekonomi dunia yang sedang melambat ini dan membuat mata uang negara tertentu naik karena berharap kebutuhan baja yang akan meningkat. Selain itu, inilah Negeri Tirai Bambu yang selama berabad-abad dikenal luas karena peradabannya yang dahsyat. Lihatlah Tembok China dan kuil-kuil di sana. Belum lagi kepercayaan, model pemerintahan, serta kulinernya.

Untuk kita di masa kini, China sangatlah penting karena pertumbuhan ekonominya yang pesat disinyalir menyedot kekayaan ekonomi negara-negara lain dan sikap-sikap politik para pejabatnya dianggap agresif dan cari untung sendiri. Semua yang pernah berkunjung ke kota-kota besar di China selalu bilang “Hebat, infrastrukturnya baru, jalan-jalannya bagus, dan tempat belanjanya nyaman.”

Wow, mengingat bahwa negara ini harus mengurus lebih dari 1,3 miliar jiwa penduduk dan di awal 2000-an pun dikenal karena tingkat kemiskinan yang tinggi dan kesenjangan ekonomi yang besar antarwarga negaranya, maka saya bersyukur dapat kesempatan menengok langsung kondisi masyarakat di China.

Karena kunjungan saya nanti akan disambut oleh Wakil Menteri Luar Negeri China dan dijamu oleh Duta Besar Indonesia di China, tentu ada harapan besar bahwa pengalaman ini, khususnya dialog seputar peningkatan kerja sama bilateral Indonesia-China, akan memberi informasi baru kepada saya sebagai peneliti. Dalam sudut pandang empirisisme, pengalaman adalah sumber informasi yang memperkaya produksi ilmu pengetahuan.

Untuk membuat perjalanan saya menarik, saya bertanya kepada orang-orang yang kebetulan saya temui tentang apa yang ingin mereka ketahui tentang China. Ternyata pertanyaan yang muncul, antara lain, seperti apa sebenarnya kondisi kehidupan di China? Apakah mereka hidup mewah? Rupanya masih ada saja yang berpandangan bahwa orang-orang China, termasuk juga keturunan China di Indonesia, selalu lebih mampu secara ekonomi dibandingkan orang Indonesia asli.

Ada pula yang menanyakan apakah kondisi ekonomi di sana sebaik yang diceritakan dalam puja-puji analisis ekonomi dunia? Apakah benar China siap menjadi negara adidaya? Apakah memang menguntungkan bagi Indonesia untuk mempererat kerja sama ekonomi dengan China? Saya hampir yakin, pertanyaan- pertanyaan di atas akan sulit saya jawab secara memuaskan dengan hanya satu kali kunjungan ke China, apalagi hanya ke ibu kotanya.

Hal yang menarik bahwa meski secara formal, konstitusi mereka adalah sosialis-komunis, tetapi kebijakan ekonominya saat ini adalah berintegrasi dengan pasar kapitalisme internasional. Sebuah keadaan yang bertolak belakang, misalnya, dengan Bolivia (negara di Amerika Selatan) yang secara formal tidak menyatakan diri sosialis-komunis, tetapi membatasi dirinya dengan ekonomi pasar.

Karena prinsip integrasinya dengan pasar kapitalis internasional, Beijing telah mempersolek diri seperti layaknya kota-kota besar lain di dunia yang memilih berintegrasi dengan ekonomi pasar kapitalisme. Akhir bulan lalu perusahaan waralaba ayam goreng KFC yang sudah beroperasi di China selama 25 tahun mengumumkan pembukaan cabangnya yang ke-300 di Beijing. Suatu perkembangan pesat untuk perusahaan waralaba macam itu.

Tidak hanya KFC, McDonald’s juga naik daun. Lembaga riset, China Market Research, merilis laporan bahwa menu di restoran cepat saji McDonald’s sedang populer di China karena dianggap lebih sehat dibandingkan makanan produksi dalam negeri. McDonald’s tentu senang saja dan memanfaatkan ini dengan memajang foto segar buah dan sayur sebagai bagian dari iklan produk-produknya.

Sebaliknya, di Bolivia, waralaba McDonald’s harus menutup cabang terakhirnya setelah beberapa tahun berjuang mendapatkan pelanggan. Alasan yang dikemukakan karena masyarakat Bolivia lebih tertarik untuk memakan makanan rumah mereka sendiri ketimbang beli makanan siap saji. Artinya, urusan makanan di atas meja juga adalah persoalan politik dan ideologi.

Meski keragaman makanan di China akan mirip dengan di Indonesia, tangan ideologi negaralah yang pada akhirnya menentukan apakah meja makan di rumah lebih didominasi oleh produk lokal atau impor. Karena itu saya membuat survei kecil yang saya sebarkan pada lingkar jejaring sosial di sekeliling saya. Saya ingin tahu bagaimana persepsi orang Indonesia yang terdidik tentang China, dan apa dasarnya mereka mengatakan itu semua? Dalam waktu sepekan ada 36 orang yang menjawab.

Mereka adalah golongan terdidik di Indonesia, 10 orang lulusan S-1, 18 orang lulusan S- 2 dan 10 orang lulusan S-3. Ada yang kuliah di luar negeri (15 orang), tetapi lebih banyak yang lulusan dalam negeri (24 orang). Ada yang dosen, aktivis, pengusaha, dan pegawai. Separuh dari total responden berusia antara 35-39 tahun, sisanya merata jumlahnya antara yang berusia 25-34 tahun dan 40-49 tahun.

Jumlah yang lumayan untuk bahan eksplorasi lebih lanjut. Ada 3 dari 10 responden tersebut ternyata menaruh China sebagai prioritas negara yang ingin mereka kunjungi jika mereka kebetulan punya uang USD3.000. Angka USD3.000 adalah biaya rata-rata belanja turis asing di Indonesia ditambah dengan harga tiket pesawat. Satu dari 10 responden memberi angka tinggi untuk Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat.

Dalam ranking, China muncul di urutan 1 dan 3 dari negara yang paling ingin dikunjungi para responden tadi. Artinya, keinginan tahu kelompok terdidik Indonesia tentang China cukup tinggi. Yang mereka cari adalah jenis wisata tertentu, keragaman wisata, lalu barulah harga hemat, popularitas tempat wisata, serta ada tidaknya kerabat di negara tujuan itu. Jika ke China, yang pertama-tama dicari oleh mayoritas responden adalah tempat berwarisan budaya tertentu.

Sisanya mencari lokasi di China yang punya tempat wisata alam, merupakan kota kecil yang tenang, atau justru kota yang penuh keramaian. Namun, rupanya pilihan berkunjung tadi belum berbanding lurus dengan kenyamanan batin ketika menitipkan sesuatu yang berharga seperti anak. Mayoritas responden mengaku antusias jika anaknya menerima beasiswa untuk melanjutkan studi ke China, sisanya terbagi rata antara yang sangat antusias dan biasa-biasa saja.

Tetapi lucunya, jika beasiswa itu dibolehkan memilih antara menyekolahkan anak di China atau di negara lain, mayoritas responden memilih untuk mengirimkan anak-anaknya ke negara Barat saja. Amerika Serikat ada di posisi favorit, diikuti Jerman, Inggris, Australia. Hanya satu atau dua orang yang memilih untuk mengirimkan anaknya bersekolah di China; angka ini bahkan lebih rendah daripada orang yang ingin mengirimkan anaknya ke Singapura.

Padahal, kita tahu China sempat dibanding-bandingkan dengan Amerika Serikat karena kemampuannya mencetak jumlah lulusan doktor (level S- 3) yang sangat besar dalam waktu cepat. Sejumlah universitas di China juga aktif mengundang mahasiswa dari negara-negara lain untuk berkuliah ke sana atau bahkan mengundang para dosen untuk melakukan penelitian berbayar di sana.

Apakah karena universitas di China relatif belum punya nama besar? Atau ada faktor pertimbangan lain seperti biaya kuliah atau hambatan bahasa? Dari survei kecil-kecilan saya tadi, ada alasan untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang faktor “nama besar universitas” dan “nama besar negara” sebagai alasan mengapa sektor pendidikan di suatu negara bisa berkembang dan diterima oleh orang tua dan calon siswa di negara-negara lain.

Hal ini penting karena ternyata faktor harga uang sekolah/kuliah, keterbatasan bahasa, atau kondisi keseharian di suatu negara tidak dianggap vital dalam menentukan pilihan “menitipkan masa depan anak”. Faktor “masa depan dunia” justru dipilih oleh 3 dari 10 responden sebagai penentu utama pilihan mereka. Berarti cukup besar juga jumlah orang Indonesia yang meyakini bahwa masa depan dunia tergantung juga pada kedekatan dengan China, ya?

Apa dasar pertimbangan para terdidik Indonesia ini? Ternyata 7 dari 10 orang yang saya wawancarai itu belum pernah sekalipun menginjakkan kaki di China. Sisanya sudah pernah, setidaknya satu kali pergi ke China. Mereka semata mengandalkan informasi yang diterima dari media cetak atau televisi. Wow, ternyata peranan media massa cukup kuat dalam membentuk persepsi terhadap negara lain.

Di sini saya belum bisa menarik suatu kesimpulan solid tentang China ataupun hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Saat ini saya hanya bisa berjanji untuk memberi Anda oleh-oleh informasi dan analisis yang lebih dalam tentang China dan potensi hubungannya di masa depan dengan Indonesia dan negara-negara kawasan. Sampai jumpa dalam tulisan berikutnya!  
◄ Newer Post Older Post ►