Jumat, 07 September 2012

Kontradiksi Penyediaan Air

Kontradiksi Penyediaan Air
Sutopo Purwo Nugroho ;  Peneliti Utama Bidang Hidrologi dan Konservasi Tanah di BPPT & Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB
MEDIA INDONESIA, 07 September 2012


SETIAP musim kemarau selalu muncul kekeringan dan krisis air. Saat musim kemarau normal pun, beberapa daerah bahkan mengalami kekeringan. Krisis air yang terjadi hingga saat ini masih dianggap bukan masalah yang serius. Padahal, krisis air sesungguhnya menyimpan potensi konflik yang luar biasa di masa depan, khususnya bagi penduduk di Pulau Jawa dan Bali. Tindakan pengendalian untuk mengatasi masalah krisis air juga masih dilakukan dengan pendekatan simptomatis dengan gaya instan. Ketika kekeringan terjadi, itu diatasi dengan distribusi air bersih melalui tangki air, penyediaan pompa, pengeboran air tanah, dan perbaikan jaringan irigasi. Gaya pendekatan yang demikian sesungguhnya tidak menyentuh akar permasalahan secara menyeluruh. Sebaliknya, masalah yang dihadapi akan muncul secara berulang-ulang dan dalam intensitas yang semakin meningkat.

Berdasarkan perhitungan neraca air, pada 2000, ketersediaan air permukaan secara nasional hanya mencukupi 23% dari kebutuhan penduduk. Kondisi Pulau Jawa dan Bali sudah defisit air sejak 1995. Saat musim kemarau di Jawa tiba, terjadi defisit air sekitar 130 ribu juta meter kubik per tahun. Maka tidak aneh jika setiap musim kemarau, beberapa daerah di Jawa dan Bali sering kali mengalami krisis air.

Krisis air tersebut menyebabkan penyediaan air bersih bagi masyarakat terganggu. Masyarakat tidak jarang harus berjalan berkilo-kilo untuk memperoleh air. Kualitas air bahkan kurang memenuhi standar. Di Indonesia, penyediaan air khususnya air minum memang masih menghadapi maslah yang kompleks. Keberhasilan penyediaan air minum bukan hanya semata-mata pada lemahnya kelembagaan.  Lenton dan Wright (2004), dalam Achieving the Millennium Development Goals for Water and Sanitation: What Will It Take?, mengidentifikasi beberapa kendala terkait dengan keberhasilan penyediaan air minum di dunia ketiga seperti di Indonesia, yaitu: 1) Politis (sektor air minum dan sanitasi belum menjadi prioritas), 2) Finansial (kemiskinan), 3) Institusional (kurangnya lembaga yang tepat, tidak berfungsinya lembaga yang ada), 4) Teknis (tersebarnya permukiman, aksesibilitas, dan geografis ), dan 5) Terbatasnya pasokan air dan bencana alam. Selain itu, kurangnya partisipasi masyarakat dan penerimaan masyarakat terhadap teknologi baru.

Di Indonesia, salah satu kendala utama dalam penyediaan air bersih ialah terbatasnya pasokan air. Sebagian besar PDAM beroperasi dengan mengandalkan air baku dari air sungai. Padahal, sungai yang ada sudah mengalami degradasi. Kerusak an DAS, masalah antropogenis dan lemahnya perlindungan terhadap sungai menyebabkan kerusakan makin meningkat. Pengaruh perubahan iklim global dan penggunaan lahan telah menimbulkan tren debit sungai menurun. Selama 30 tahun terakhir, debit sungaisungai di Indonesia mengalami kecenderungan (tren) mengecil secara signifikan. Misal, rata-rata tahunan debit Bengawan Solo turun hingga 44,18 meter kubik per detik, Sungai Serayu berkurang 45,76 meter kubik per detik, dan Cisadane 45,10 meter kubik per detik. Sungai yang lain juga menunjukkan perubahan watak hidrologi yang makin mengkhawatirkan. Ketika musim kemarau, debit aliran dasar (base flow) bahkan sangat rendah. Akibatnya timbul intrusi air laut, krisis air, dan konflik dengan pengguna lain seperti untuk pertanian. Pencemaran sungai pun semakin tidak terkendali. Sekitar 70% PDAM di Indonesia mengalami masalah makin menurunnya kualitas air.

PDAM hanya mengambil air baku dan membayar retribusi kepada pemerintah daerah atau pengelola air lain. Kepedulian terhadap pelestarian DAS masih berkurang karena pengelolaan DAS bukan menjadi tanggung jawab utama mereka. Hal itu tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kualitas, kuantitas, dan kontinuitas pelayanan air minum.

Teknologi Penyadapan Akuifer

Penyediaan air minum di Indonesia sudah tidak bisa dikelola secara business as usual; mengambil air sungai, mengolah, dan mendistribusikan ke masyarakat. Dengan kondisi air sungai yang makin terdegradasi, biaya operasional menjadi lebih mahal. Pada gilirannya, biaya itu akan selalu dibebankan kepada konsumen. Padahal, tuntutan masyarakat akan peningkatan pelayanan makin besar. Oleh karena itu, perlu adanya inovasi teknologi.

Salah satu teknologi yang perlu dikembangkan ialah natural treatment plant (NTP), yakni menyadap air langsung dari akuifer di dalam tanah dan mendistribusikan ke hilir. Lapisan akuifer di daerah pe gunungan digali atau dicoblos dengan pipa-pipa dan dibuat terowongan bawah tanah. Pada terowongan tersebut disediakan lubang-lubang untuk masuknya air tanah. Ada pula pengambilan air dilakukan seperti sumur biasa seperti lazim dijumpai di Indonesia. Namun pada dasar umum dipasang pipa-pipa horizontal yang menyebar mengelilingi sumur sampai sepanjang 60 meter sehingga kapasitas sumur menjadi sangat besar. Sadapan-sadapan air tersebut kemudian dimasukkan ke reservoir untuk didistribusikan ke kota atau daerah yang berada di bagian hilir dengan memanfaatkan gaya gravitasi (Gambar 1).

Konsep teknologi NTP itu banyak diterapkan di Jerman dan sudah berlangsung sangat lama. Sebagian besar negara bagian Jerman tidak memiliki instalasi penjernihan air. Sekitar 80% penyediaan air minum dipasok dari air tanah dan mata air yang disadap dengan teknologi NTP, sedangkan sisanya memanfaatkan air permukaan.

Sistem penyediaan air minum untuk Kota Muenchen layak untuk dijadikan model. Debit NTP yang ada mampu mengalirkan 6,5 meter kubik per detik untuk mencukupi kebutuhan 1,5 juta jiwa dan industri. Jika diperlukan, kapasitasnya dapat ditingkatkan menjadi 3–4 kali lipat.

Daerah tangkapan air (DTA) yang selalu diawasi seluas 6.000 hektare; sebagian milik pemerintah dan sebagian milik penduduk yang umumnya peternak. Untuk mencegah pencemaran, dibuatlah kebijakan cukup ketat bagi petani yang berada di DTA, yakni melarang menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Sebagai kompensasi, petani disubsidi 250 euro per hektare dan petani diperbolehkan mengambil pupuk kompos yang diproduksi pemerintah daerah.

Keuntungan yang diperoleh sangat besar. Tidak dibutuhkan bahan kimia untuk mengolah air minum. Berarti tiap tahun, jutaan euro dapat dihemat. Pompa distribusi tidak diperlukan karena letak reservoir berada di pegunungan. Kualitas air yang dihasilkan berkelas natural mineral water. Selain itu, kuantitas dan kontinuitas pelayanan tercukupi sehingga seluruh penduduk memperoleh pelayanan air minum dengan adil dan merata. Keuntungan lain, DTA terkonservasi.

Lantas, bagaimana kita? Indonesia mempunyai 127 buah gunung api aktif atau sekitar 13% dari gunung api aktif di dunia. Selain itu, ada ratusan gunung api yang tidak aktif. Seluruh gunung api aktif tersebut berada dalam jalur tektonik yang memanjang mulai Pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Kepulauan Banda, Halmahera, hingga Kepulauan Sangir Talaud yang menempati seperenam luas daratan Indonesia. Selain itu, topografi pegunungan dan perbukitan banyak tersebar di berbagai daerah. Artinya, potensi gunung yang hakikatnya menara air merupakan potensi alam yang luar biasa. Sayang jika konsep teknologi pencoblosan akuifer diabaikan begitu saja dalam pembangunan air bersih nasional. Minimal itu untuk kabupaten dan kota yang daerahnya berkembang di sekitar pegunungan.

Tidak aneh jika para pakar Jerman, salah satunya Prof Dr Cembrowiez dari Universitas Karlsruhe mengatakan, “Bagi Pulau Jawa yang memiliki banyak daerah gunung api dan pegunungan dengan curah hujan yang tinggi, seharusnya tidak perlu mengalami kesulitan air. Justru fenomena aneh yang ada. Air yang begitu jernih keluar dari mata air dengan melimpah, kemudian mengalir ke sungai dan dicemari oleh limbah pertanian, domestik, industri, sampah hingga berwarna cokelat dan berbau. Lalu diambil untuk air baku, diolah, didistribusikan, dan dikonsumsi masyarakat. Mengapa tidak diambil di mata air saja dengan disadap lalu didistribusikan ke bawah?

Jika orang Jerman saja berpikiran seperti itu, mengapa kita tidak?


◄ Newer Post Older Post ►