Senin, 03 September 2012

Isu Negatif dalam Pilkada


Isu Negatif dalam Pilkada
M Sobary ;  Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO , 03 September 2012


Sebuah kata, atau suatu kata, rupanya seperti makhluk hidup. Dia berkembang. Maknanya bisa berubah total atau menceng sedikit, sesuai dengan konteks di mana kata itu digunakan. Kata “isu”,yang diambil dari bahasa Inggirs “issue”, di masyarakat kita berubah drastis. 
Dalam bahasa harian kita—juga dalam politik,dalam birokrasi,dalam dunia moral dan media––,kata “isu” berarti kebohongan, sesuatu yang kosong, tanpa makna. Ini bisa ditemukan dalam percakapan: “ah,itu hanya isu” belaka. Bila orang terhormat tibatiba diberitakan bahwa yang bersangkutan ternyata “begini” dan “begitu”, maka cepat datang tepisan: “ah, itu hanya isu belaka” seperti disebut di atas.

Kata “belaka” ini lebih menegaskan kebohongan di dalamnya. Maknanya bervariasi: bohong, tidak penting, tak layak diperhatikan secara serius, tak perlu dipikirkan. Dan sebaiknya diabaikan. Dalam bahasa sehari-hari, “isu” disamakan dengan “desas-desus”. Terkadang di dalamnya ada unsur fitnah, kekejian dan berbagai usaha membikin buruk nama orang-orang terhormat. Dengan tepisan “itu hanya isu” tadi kita diminta menghentikan apa yang tak penting tersebut.

Tepisan itu bermaksud mengembalikan kebaikan ke dalam posisi baik, keterhormatan ke dalam tempat terhormat. Dengan begitu keadilan bekerja. Dan keseimbangan hidup terjaga. Tapi dunia yang fana ini isinya bukan hanya orang baik, bukan hanya orang saleh dan jujur dan terhormat.Di tengah kita banyak orang jahat, orang culas, orang berjiwa busuk, yang terampil berbuat kejahatan, tetapi mereka ingin pula dihormati seperti orang baik, orang saleh, orang jujur, dan orang terhormat tadi.

Politisi yang jelas-jelas mencuri uang rakyat, masih bisa bersumpah di depan publik bahwa dia tak mencuri. Maksudnya untuk memperoleh kembali keseimbangan hidup. Tapi tak ada yang abadi di bumi ini. Baru merasa tenteram sedikit tiba-tiba media menyebarkan berita tentang dirinya. Dan biarpun dia bersumpah-sumpah setengah mati, tindakan hukum dilakukan. Dan saat itu keseimbangannya hancur.

Kalau dia orang yang lebih besar, dan punya tim yang tiap hari menyampaikan gagasan, kecemasan, frustrasi dan harapannya, maka tim yang di parlemen akan turun tangan dan mati-matian membelanya di parlemen atau di depan publik yang lebih luas, lewat media. Selebihnya, anggota tim lain, yang dulunya kritis, dan memihak kepentingan rakyat dalam gerakan-gerakannya di LSM, atau yang menulis di media umum, kini mereka menjadi pihak yang paling kebakaran jenggot ketika membela bosnya, tak peduli bahwa yang dilakukannya hanyalah kebohongan dan kepalsuan.

Begitulah diskursus politik, yang berkembang di dalam ruang kebudayaan kita. Isinya bukan hanya orang baik diposisikan kembali ke dalam kesadaran publik yang baik dan positif,melainkan orang jahat, pemimpin durjana, penguasa palsu yang ingin tampak asli, pun dibela oleh para bawahan, orang-orang bayaran yang bersedia mengubah barang jahat menjadi seolah baik, dan barang bohong menjadi seolah benar.

Jangan salah, mereka ini dulunya pernah baik, pernah terpelajar, pernah menjadi aktivis, dan pernah menjadi wartawan, yang tiap saat membela kebenaran. Ini semua jenis metamorfosa dalam hidup. Jika kita petakan, maka kita dapatkan dua jenis metamorfosa. Pertama, kejahatan dan kebohongan berubah menjadi kebaikan dan kebenaran.

Kedua, orang-orang yang semula agak baik, agak kritis, agak waras, berubah menjadi sejenis pribadi yang tak lagi peduli akan apa yang baik dan benar, atau apa yang buruk dan jahat. Tak mengherankan,mereka tak bisa melihat atau merasakan dengan jernih,apakah bosnya orang baik atau orang jahat. Mereka loyal pada bos. Dan loyalitas itu menjadi buta dan tuli.

Dalam pemilu, juga dalam pilkada, selalu ada yang bernama tim sukses. Ini juga jenis manusia yang tak begitu hirau terhadap isu moral,etika,sikap populis dan isu kebenaran yang harus dibela. Mereka pun membabi-buta karena pertama, para anggota tim itu harus mati-matian membela jagonya. Mereka berharap duit, jabatan, atau konsesi politik yang tak sembarangan. Maka, sesekali membabibuta dianggap wajar.

Padahal tim sukses itu sudah sering berada di belakang banyak jago yang berbeda-beda tapi semua sama dalam tujuan: ingin menang. Dan kemenangan harus diraih dengan berbagai cara. Tak peduli cara itu busuk. Jakowi diterkam oleh banyak cara. Isu mutakhir beredar, tim intelijen bekerja keras memenangkan lawannya. Koordinator partai-partai siap melakukan langkah apa pun untuk menang.

Orang besar di balik suatu partai memerintahkan orang kaya menyalurkan uang dalam jumlah besar untuk membeli—sekali lagi, membeli— suara rakyat dalam pilkada tadi. Apa kerjanya tim sukses? Mungkin manggut-manggut dan puas bahwa ada pihak lain yang mengambil oper tugasnya. Tapi tim sukses itu orang, apa hanya “orang-orangan”? Mereka juga tak peduli kebenaran diinjak-injak? Mereka tak peduli demokrasi hancur luluh karena langkah politik yang tak memedulikan etika dan prinsip-prinsip kemanusiaan, karena bagi mereka yang penting menang?

Apa manfaatnya menang bila kemenangan diraih dengan kejahatan? Lupakah bahwa rakyat punya dendam? Dan bahwa biarpun dendam itu buta, si buta ini tak pernah salah sasaran? Menang tak selamanya berarti berkah. Dalam kasus seperti ini menang berarti musibah. Dan musibahnya akan dirasakan kelak, pada suatu masa saat yang bersangkutan mungkin tak lagi berkuasa. Kasus Orde Baru belum lama terjadi.

Kita masih ingat tuntutan kebenaran yang begitu hiruk-pikuk. Mengapa dalam pilkada, yang lebih kecil, lebih rendah, untuk jabatan yang tak seberapa, kita abaikan juga kebenaran? Mengapa kita membiarkan suatu isu atau langkah politik berkembang tanpa etika, tanpa kebenaran? Isu yang beredar, jika itu benar, sepenuhnya negatif. Ini mengundang musibah. Mengapa kita tak menghindarinya?
◄ Newer Post Older Post ►