Sabtu, 15 September 2012

Israel dan Amerika Menjelang Pemilu

Israel dan Amerika Menjelang Pemilu
R William Liddle ;  Profesor Emeritus Ohio State University, Ohio, AS
KOMPAS, 15 September 2012


Tak akan ada jurang antara negara-negara kita dan tidak akan ada jurang antara pemimpin-pemimpin kita.”

Janji itu dilontarkan calon presiden AS dari Partai Republik, Mitt Romney, Maret lalu. Saat itu ia bicara di pertemuan Panitia Urusan Publik Israel Amerika (American Israel Public Affairs Committee/AIPAC), lobi utama masyarakat Amerika yang pro-Israel. Bersama Asosiasi Senapan Nasional (National Rifle Association), perkumpulan orang-orang antiregulasi persenjataan, AIPAC punya reputasi lobi yang paling ditakuti para politisi di Washington. Khususnya mengenai hal-hal yang menyangkut keamanan serta keselamatan Israel.

Tiga Alasan

Kenapa kata-kata yang begitu mutlak yang sama sekali tidak memberi ruang gerak kepada Romney seandainya ia terpilih November depan selaku presiden AS yang ke-45? Mungkin ada tiga alasan terkait.

Pertama, kekuatan lobi AIPAC tadi. AIPAC didirikan tahun 1951, beberapa waktu setelah gerakan Zionis menyatakan kemerdekaan negara Israel atas dukungan, antara lain, Pemerintah AS di bawah Presiden Harry Truman. Namun, lobi itu baru menggeliat pada zaman Gerald Ford (1974-1977) dan Jimmy Carter (1977-1981).

Dalam suasana pasca-Perang Arab-Israel 1973, kedua presiden itu (yang kebetulan berasal dari partai berbeda) mencoba merumuskan kebijakan baru yang lebih berimbang terhadap Israel dan Palestina. Namun, sebagian anggota masyarakat Amerika-Yahudi tidak setuju dan tergugah untuk melawan. Alhasil, penilaian kembali itu gagal berkat perlawanan sengit dari mayoritas anggota Kongres, baik Republik maupun Demokrat, yang dimobilisasi AIPAC. Semua presiden berikut menyadari betul betapa kuatnya lobi Israel-Amerika kalau kepentingan Israel diancam.

Kedua, dukungan setia mayoritas masyarakat Amerika pada kemerdekaan bangsa Israel yang tidak lapuk selama setengah abad. Orang Amerika-Yahudi hanya minoritas kecil, sekitar 2 persen, dari seluruh masyarakat Amerika. Tanpa persetujuan masyarakat luas yang non-Yahudi, tak mungkin lobi AIPAC bisa menakut-nakuti terus begitu banyak anggota Kongres.

Dukungan umum itu berakar pada pengalaman bangsa-bangsa Barat yang mayoritas Kristen, termasuk Katolik, selama Perang Dunia II. Waktu itu, enam juta orang Yahudi dibantai pemerintahan Nazi-Jerman di bawah Adolf Hitler. Rasa bersalah orang Amerika yang amat kuat dibayar kembali pascaperang dalam bentuk bantuan pada gerakan Zionis di Palestina.

Belakangan ini, kaum evangelis Protestan juga mulai berdampak pada kebijakan Amerika dalam soal Israel. Bagi mereka, hadirnya negara Israel di Bumi adalah syarat yang harus dipenuhi sebelum kedatangan kedua Yesus Kristus.

Alasan terakhir, tetapi sama pentingnya, adalah kegagalan kebijakan pemerintahan Obama terhadap konflik Israel-Palestina. Seperti Ford dan Carter, Obama berusaha menjelajahi trayek baru. Ia mendengarkan pendapat masyarakat  Amerika-Yahudi yang liberal, dalam pengertian meyakini apa yang disebut sebagai two-state solution, penyelesaian dua negara. Menurut pendekatan ini, baik Israel maupun Palestina perlu diakui haknya untuk berdiri sendiri selaku negara yang berdaulat penuh.

Sebagai langkah awal, demi meyakinkan tokoh-tokoh Palestina, Obama menuntut agar Israel mengurungkan niatnya membangun atau membiarkan masyarakatnya membangun permukiman baru di daerah yang diduduki Israel sejak Perang Enam Hari pada 1967. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, dari Partai Likud yang kanan dan bergaris keras, langsung menolak tuntutan itu. Lalu, ia menggalang koalisinya di Washington, terutama melalui AIPAC dan anggota Kongres yang masuk lingkaran AIPAC.

Surat penolakan prakarsa Obama ditandatangani 329 anggota Kongres, termasuk sejumlah anggota partainya sendiri. Pada akhir 2009, Obama praktis menarik kembali tuntutannya kepada pemerintahan Israel. Setelah itu, belum ada kebijakan atau pendekatan baru.

Langkah strategis

Ucapan Mitt Romney di AIPAC, Maret lalu, harus diletakkan dalam kerangka sejarah ini. Obama telah gagal menerapkan salah satu kebijakan pokoknya. Kegagalan itu bisa dirunut pada kepolosannya selaku presiden baru dan muda yang terlalu percaya pada wibawa jabatannya. Kiranya ia sudah belajar dari pengalaman pahitnya. Namun, Romney ingin memanfaatkan kekecewaan masyarakat Amerika-Yahudi itu untuk menggaet sebanyak mungkin suara mereka dalam pemilihan presidensial 2012.

Hal itu tak mudah, apalagi mayoritas besar masyarakat Amerika-Yahudi sudah puluhan tahun mendukung Partai Demokrat. Alasannya bermacam-macam dan tidak terbatas pada kebijakan Pemerintah Amerika terhadap Israel. Namun, dari segi pandang kampanye Mitt Romney dan Partai Republik, kaum Amerika-Yahudi termasuk ladang subur untuk digarap. Setidaknya, dalam hal ini, Romney sedang bertindak cukup strategis. ●



◄ Newer Post Older Post ►