Minggu, 16 September 2012

Freeport dan Papua untuk Siapa?


Freeport dan Papua untuk Siapa?
Teuku Kemal Fasya ;  Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
REPUBLIKA, 15 September 2012


Ketika Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton tiba di Indonesia pada 3 September, rasanya sulit untuk tidak melihat pesan politik yang melatarinya. Tentu saja itu bukanlah muhibah biasa, mengingat Pemerintah AS selalu membawa kepentingan maksimalnya ketika mengunjungi negara-negara lain.

Kedua belah pihak (Hillary Clinton dan Menlu Marty Natalegawa) secara “kompak“ menyatakan tidak membahas tentang Freeport. Ini berbeda dengan kesan publik (dan gerakan demonstrasi) yang melihat kedatangan itu terkait memperpanjang napas Freeport di Indonesia hingga 2041.

Secara semiotik, pernyataan itu bisa dilihat secara terbalik dan sangat politis bahwa kunjungan itu sangat berhubungan dengan Freeport. Atau, Pemerintah Indonesia akan menghadapi dilema jika sampai mengusik kepentingan bisnis Amerika, karena bisa jadi “politik wortel“ tentang bantuan pesawat (meskipun bekas) akan dihambat, padahal Indonesia tengah kesulitan anggaran untuk peremajaan alat-alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Freeport telah berada di Indonesia tak lama ketika pemerintahan Soekarno runtuh. Sebenarnya sejak 1960 Freeport telah mengetahui potensi tambang di Papua, tetapi Soekarno mempersulit persyaratan kontrak karena menganggap eksploitasi tidak memihak Indonesia.

Pemerintahan baru di bawah Soeharto dianggap mitra strategis untuk mengembangkan industri ekstraktif sekaligus mengeksploitasi kekayaan Indonesia melalui perusahaan Amerika dan dukungan utang dari Bank Dunia dan IMF (Perkins, 2007). Kegiatan utama Freeport pada 1967 bertujuan mengeksplorasi biji tembaga dengan lahan seluas 100 ribu hektare. Saat itu sebagian besar saham dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper & Gold Corp(80 persen) sedangkan Pemerintah Indonesia hanya memiliki saham 9,36 (persen). 

Ternyata secara diam-diam Freeport memperluas areal penambangan karena menemukan emas dan perak dengan jumlah puluhan kali lipat dibanding tembaga.
Operasi diam-diam itu akhirnya baru diketahui Pemerintah Indonesia pada 1978. Anehnya, pemerintah tidak memberikan penalti atas pelanggaran kontrak lahan, bahkan melakukan persetujuan perluasan lahan tambang. Keberadaan Freeport menjadi pintu masuk bagi eksploitasi sumber daya alam di Papua secara besar-besaran dan tak terkendali.

Subetnis Papua

Freeport yang demikian berkuasa dan meluas di wilayah Papua membuat dampak lingkungan, ekologis, dan kultural yang sangat negatif bagi masyarakat Papua. Misalnya, tujuh suku utama yang terdampak langsung kegiatan eksplorasi di wilayah Pegunungan Mimika harus digusur ke Kwanki Lama, di wilayah dekat Ibu Kota Mimika, Timika. Arogansi kebijakan seperti ini menimbulkan konflik sosial-budaya yang semakin disalahpahami.

Contoh lain, politik migrasi sejak masa pemerintahan Soeharto menyebabkan penurunan populasi asli Papua. Jika statistik pada 1971 menunjukkan perbandingan antara populasi asli dan nonasli Papua adalah 96 persen dan empat persen, dan pada 1990 telah melonjak menjadi 75 persen dan 25 persen, maka pada 2011 populasi Papua dan non-Papua asli menjadi 48 persen dan 52 persen. Etnis bukan asli Papua akhirnya menguasai wilayah dan sektor ekonomi politik-budaya Tanah Papua.

Kekecewaan itu juga bercampur dengan tindakan represif pemerintahan Indonesia dalam menyelesaikan gejolak yang muncul di tengah masyarakat Papua. Pendekatan militer selalu diprioritaskan berbarengan dengan kebijakan reintegrasi Papua ke Indonesia. Ini pula yang menyebabkan referendum rakyat Papua atau yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dianggap sebagai kebijakan manipulatif dan tidak berlangsung secara demokratis.

Kompleksitas ini menunjukkan bahwa setelah 14 tahun reformasi dan hampir 50 tahun Papua bersatu bersama Indonesia (jika dihitung hari integrasi Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963), belum banyak langkah maju dalam menyelesaikan kasus Papua. Kompleksitas berlapis antara masalah marjinalisasi dan diskriminasi, salah urus pembangunan, gagalnya memahami status dan sejarah masyarakat Papua, serta kekerasan militer dan pelanggaran HAM, baik yang diinisiasi oleh Pemerintah Indonesia dan perusahaan multinasional, menyebabkan proses demokratisasi dan perdamaian di tanah Papua tidak pernah bersemi.

Inti yang diinginkan adalah seharusnya masalah Papua diserahkan kepada masyarakat Papua sendiri dan setiap kerumitan dalam menyelesaikan masalah hendaknya dikedepankan dengan jalan dialog yang santun dan setara. Jika ini diabaikan maka setiap pendekatan ekonomi-politik yang dilakukan oleh Pemerintah RI dan Freeport (AS) di Papua hanya memperbesar kepentingan pragmatis mereka sendiri, tidak membahagiakan masyarakat Papua. Pendekatan ekonomi yang serakah dan pendekatan politik yang represif sebenarnya sketsa wajah kekuasaan yang menghancurkan banyak kebudayaan, termasuk kebudayaan Papua. ●

◄ Newer Post Older Post ►