Jumat, 21 September 2012

Eksperimentasi Hukuman Mati


Eksperimentasi Hukuman Mati
Agus Riewanto ;  Peneliti Hukum dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret, Surakarta
MEDIA INDONESIA, 20 September 2012


Fatwa NU itu tidak bertentangan dengan konstitusi dan tradisi hukum internasional, bahkan dapat dijadikan landasan moral bagi eksperimentasi penerapan hukum mati untuk kasus-kasus korupsi yang berskala `megakorupsi' sebagai shock therapy dan ultimum remedium pada koruptor.

PERSOALAN korupsi tidak bisa dianggap biasa di negeri ini karena telah menjadi penyakit kronis yang hinggap di semua ranah, dari eksekutif, legislatif, yudikatif, hingga partai politik. Atas dasar itulah belum lama ini Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan fatwa hukum mati untuk koruptor sebagai bentuk kepedulian ulama terhadap dekadensi moralitas penegakan hukum di negeri ini (Media Indonesia, 18 September 2012).

Fatwa NU itu selayaknya menjadi cambuk bagi pemberantasan korupsi di negeri ini sebab harus diakui ternyata mencegah dan memberantas korupsi tak cukup hanya menggunakan mekanisme konvensional yang cenderung mekanistis dan tak berhasil. Karena itu, fatwa NU tersebut perlu dipertimbangkan dalam praktik penegakan hukum di negeri ini.

Aspek Legalitas
Sesungguhnya sanksi hukum mati tidak bertentangan dengan semangat HAM yang diberikan konstitusi kepada warga negara, mulai Pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945 pascaamendemen, bahkan Pasal 28J, menegaskan hak asasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial.

Dasar itu perlu diteruskan dalam semangat pemberantasan korupsi dengan penerapan hukum mati kepada para koruptor. Pidana mati itu pun tidak bertentangan dengan semangat UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak asasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum.

Kendati hingga akhir 2009 telah ada 129 negara di dunia yang menghapus ancaman hukuman mati dalam semua peraturan perundangan, di Mahkamah Internasional tercatat masih ada lebih dari 68 negara di dunia yang mempertahankan ancaman hukum mati dalam berbagai peraturan perundangan, yakni Indonesia, Malaysia, dan kawasan Asia lainnya.

PBB juga pernah mengeluarkan Resolusi No 1984/50, 25 Mei 1984 (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty) yang masih memberikan pilihan hukum pada negara anggota PBB dalam memberikan sanksi pidana, termasuk sanksi hukuman mati. Namun, itu harus memenuhi kriteria penerapan hukuman mati, yakni dalam kasus yang dianggap luar biasa bagi suatu negara, dilakukan dengan selektif, dan berdasarkan pada fakta dan bukti yang tak terbantahkan.

Untuk Indonesia, beberapa pasal dalam KUHP masih menerapkan ancaman hukuman mati. Lihat Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 123, 124, 140 ayat (3), dan Pasal 340. Belum lagi beberapa pasal dalam undangundang terkait lainnya, seperti Pasal 36, 37, 41, 42, dan Pasal 42 ayat (3) UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Pasal 6, 8, 9, 10, 14, 15, dan 16 UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme.

Karena itu, sesungguhnya penerapan segera hukuman mati untuk koruptor sangat konstitusional. Selain dimaksudkan untuk membuat efek jera pada pelaku di masyarakat, hal itu diharapkan memberikan efek psikologis efektif bagi pencegahan korupsi yang telanjur sistemis di negeri ini.

Bagi yang berpandangan kontra, hukum mati pada kasus-kasus pidana umum (ordinary crimes) dianggap tidak senapas dengan prinsip yang diatur dalam Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Convention for Civil and Political Rights (ICCPR) tentang hak untuk hidup. Indonesia pun secara konstitusional telah meratifikasi konvensi internasional, yakni ICCPR Tahun 1966 diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Juga Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Tahun 1984 diratifi kasi dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998. Hak tersebut menjadi prinsip hukum terpenting dalam Deklarasi PBB dan Konvensi Antipenyiksaan, yang berlaku secara universal bagi setiap manusia yang harus dilin dungi dan tiada satu badan pun (termasuk negara) yang dapat mencabut hak itu (Achiel Suyanto S, 2007 dan Todung Mulya Lubis, 2006).

Namun, eksistensi hukuman mati untuk tindak pidana khusus dan kejahatan serius, seperti korupsi, tidak serta-merta melanggar perjanjian internasional, termasuk ICCPR. Bila dibaca secara saksama Pasal 6 ayat (2) ICCPR itu sendiri bahkan membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Apalagi Indonesia tidak menganut model HAM yang mutlak, tetapi dibatasi hak hidup orang lain. Terlebih jika dikaitkan dengan hak antara pelanggar hukum dan korban kejahatan yang harus diberi ruang yang seimbang (balance) dalam akomodasi HAM di ranah UUD 1945 dan berbagai peraturan di bawah UUD 1945, termasuk KUHP dan KUHAP.

Eksperimentasi Hukum
Agar eksperimentasi penerapan hukuman mati untuk koruptor itu tidak menimbulkan pelanggaran HAM baru, tentu saja diperlukan sensitivitas dan ketelitian para penegak hukum (jaksa dan hakim) dalam menjatuhkan sanksi hukuman mati agar di kemudian hari ketika terpidana telah dieksekusi tidak terdapat kekeliruan dalam memutuskan suatu perkara.

Seperti tecermin dalam kasus salah pemberian sanksi terhadap diri Sengkon dan Karta pada 1974 di Desa Bojongsari, Bekasi, Jabar. Keduanya sempat dihukum 7 dan 12 tahun atas tuduhan pembunuh an dan perampokan suami istri Sulaiman-Siti Haya, tetapi belakangan diketahui pembunuhnya bukan Sengkon dan Karta. Namun, jaksa dan hakim telanjur meng hukum Sengkon dan Karta.

Di samping itu, perlunya mempercepat proses eksekusi pidana mati karena itu menjadi penyakit lain dalam penerapan hukuman mati selama ini dalam berbagai kasus pidana dengan pemberatan. Faktanya puluhan orang kini masih menunggu giliran untuk eksekusi, tetapi tidak ada kejelasannya. Soal teknis selalu menjadi kendala, misalnya administrasi dan menunggu grasi presiden. Pendeknya, penundaan eksekusi pidana mati akan berefek negatif pada narapidana, yakni ketidakpastian hukum dan dampak secara psikologis lainnya.

Pada intinya, fatwa NU itu tidak bertentangan dengan konstitusi dan tradisi hukum internasional, bahkan dapat dijadikan landasan moral bagi eksperimentasi penerapan hukum mati untuk kasus-kasus korupsi yang berskala ‘megakorupsi’ sebagai shock therapy dan ultimum remedium pada koruptor.

◄ Newer Post Older Post ►