Warisan Kartosuwiryo
Asvi Warman Adam ; Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) |
SINDO, 07 September 2012
Tanggal 5 September 1962, 50 tahun silam, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo ditembak mati. Fadli Zon beruntung menemukan 81 foto rekaman eksekusi tersebut. Buku itu diterbitkan dan diluncurkan 5 September 2012 di Taman Ismail Marzuki Jakarta.
Tentu saja keotentikan dokumen itu perlu diperiksa oleh ahli fotografi dan arsiparis. Terlepas dari itu, penerbitan foto tentang atau seputar eksekusi di Indonesia sangat langka, kita tidak pernah melihat misalnya foto-foto tokoh yang dijatuhi hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa pasca-1965 sehingga sempat beredar rumor bahwa pentolan G30S, Sjam Kamaruzzaman, hidup tenang di luar negeri karena memberikan informasi berlimpah kepada interogator.
Pertanyaan kedua tentu siapa pemotret eksekusi tersebut. Kalau dokumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban tugas eksekutor hukuman mati, tentu foto-foto tersebut termasuk arsip negara. Kalau benar demikian, arsip tersebut harus diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Bila tidak, penyimpannya (termasuk orang yang dengan sengaja menyembunyikan Surat Perintah Sebelas Maret yang otentik) akan dikenai hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Kalau foto tersebut terbukti otentik, itu merupakan warisan pertama SM Kartosuwiryo. Makna dari pewarisan ini adalah setiap pemberontakan meskipun atas nama agama akan ditumpas oleh negara. Warisan keduanya adalah nama dan kehidupannya yang dijadikan inspirasi bagi kalangan radikal yang ingin mendirikan negara Islam, baik dengan kekerasan maupun secara demokratis. Kelompok ini sempat menjadikan Imam Bonjol yang pada mata uang digambarkan dengan sorban dan berjenggot panjang sebagai pujaan mereka.
Tuanku Imam Bonjol berjuang melakukan pemurnian Islam di Sumatera Tengah. Namun mereka kecewa karena ternyata sejarah perjuangan Imam Bonjol tidak sesederhana itu. Dalam Perang Padri seri pertama tahun 1821 memang mereka bermusuh dengan kaum adat. Namun dalam perang berikut setelah tahun 1825 justru kaum padri bersatu dengan golongan adat melawan Belanda. Setelah figur Imam Bonjol dicampakkan, pilihan jatuh pada SM Kartosuwiryo dengan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia.
Terdapat dua perspektif dalam memandang sejarah perjuangan Kartosuwiryo. Bahtiar Effendy dari UIN Jakarta menilai bahwa tokoh ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Walaupun bukan santri, ia berani memproklamasikan negara Islam, berbeda dengan partai Islam yang hanya mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Gagasan negara Islam itu tidak muncul dari kesadaran keagamaan, melainkan hanya respons dari perkembangan keadaan antara lain penolakan terhadap Perjanjian Renville.
Perspektif kedua muncul setelah era Reformasi dengan penerbitan buku-buku yang mengidolakan Kartosuwiryo sebagai syuhada Islam. Menurut Chiara Formichi dalam bukunya yang terbit dan dapat diunduh pada internet secara gratis, Islam and the making of the nation, Kartosuwiryo and political Islam in twentieth-century Indonesia, KITLV, 2012, perjuangan menegakkan negara Islam di Indonesia dapat dibagi atas empat fase.
Fase pertama tahun 1950–1970-an ketika negara memisahkan agama dengan politik. Dalam konteks ini menurut Formichi, Sukarno dan Suharto menganggap Kartosuwiryo sebagai pemberontak tanpa ideologi (sterile rebel) kecuali untuk merebut kekuasaan. Tahap kedua, tahun 1990-an, mulai kooptasi negara rezim Orde Baru (Orba) terhadap kelompok Islam, pada saat itu berkembang ICMI dan muncul jenderal-jenderal “hijau”.
Periode ketiga, tahun 1998 yang memunculkan pandangan yang mengidolakan Kartosuwiryo dan negara Islam. Formichi memperhatikan (ini fase keempat) sejak 2010 mulai berkembang pemikiran yang ingin melihat jernih persoalan ini tanpa beban politis. Kelompok yang terakhir ini menganggap perlu memberi tempat yang tepat bagi Kartosuwiryo dalam sejarah Indonesia, tidak terlampau rendah seperti penggambaran Orba yang mengecap pemberontak, bahkan biang teroris, tidak juga terlalu tinggi seperti kelompok radikal yang menjadikannya sebagai inspirator pembentukan negara agama. (Pada sisi lain) ia mungkin lebih cocok digambarkan sebagai seorang tokoh antipenjajahan dan konsisten menentang kolonialisme walau memberi label Islam pada gerakan tersebut.
Warisan Ketiga
Warisan ketiga SM Kartosuwiryo dalam pengertian yang sesungguhnya menurut hemat saya adalah keturunannya dalam hal ini putra bungsunya, Sarjono Kartosuwiryo. Pandangan dan sikap Sarjono Kartosuwiryo ini menurut hemat saya yang lebih cocok untuk Indonesia sekarang dan masa depan ketimbang sejarah masa lalu bapaknya. Saya mengenal Sarjono Kartosuwiryo tahun 2004 di Bali. Saat itu dilakukan peluncuran buku saya, Pelurusan Sejarah Indonesia, di Universitas Udayana, Denpasar.
Para pengurus Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) hadir dan mendukung bedah buku tersebut. Pada halaman depan koran-koran yang terbit di Denpasar esok harinya terpampang wajah tokoh muda yang orang tuanya pernah berseberangan, Ilham Aidit putra Ketua PKI, Amelia putri Jenderal A Yani, dan Sarjono putra Kartosuwiryo. FSAB didirikan antara lain oleh Jenderal Agus Wijoyo putra Jenderal Sutoyo yang menjadi korban revolusi tanggal 1 Oktober 1965.
Bergabung pada organisasi ini beberapa anak yang ayahnya berideologi nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) serta para jenderal pahlawan revolusi yang dulunya pernah berkonflik. Forum ini bertujuan luhur untuk menghentikan konflik di Indonesia dan tidak mewariskan konflik kepada generasi berikutnya. Prinsip seperti ini yang tepat untuk Indonesia yang sangat majemuk. ●
Pertanyaan kedua tentu siapa pemotret eksekusi tersebut. Kalau dokumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban tugas eksekutor hukuman mati, tentu foto-foto tersebut termasuk arsip negara. Kalau benar demikian, arsip tersebut harus diserahkan kepada Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Bila tidak, penyimpannya (termasuk orang yang dengan sengaja menyembunyikan Surat Perintah Sebelas Maret yang otentik) akan dikenai hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Kalau foto tersebut terbukti otentik, itu merupakan warisan pertama SM Kartosuwiryo. Makna dari pewarisan ini adalah setiap pemberontakan meskipun atas nama agama akan ditumpas oleh negara. Warisan keduanya adalah nama dan kehidupannya yang dijadikan inspirasi bagi kalangan radikal yang ingin mendirikan negara Islam, baik dengan kekerasan maupun secara demokratis. Kelompok ini sempat menjadikan Imam Bonjol yang pada mata uang digambarkan dengan sorban dan berjenggot panjang sebagai pujaan mereka.
Tuanku Imam Bonjol berjuang melakukan pemurnian Islam di Sumatera Tengah. Namun mereka kecewa karena ternyata sejarah perjuangan Imam Bonjol tidak sesederhana itu. Dalam Perang Padri seri pertama tahun 1821 memang mereka bermusuh dengan kaum adat. Namun dalam perang berikut setelah tahun 1825 justru kaum padri bersatu dengan golongan adat melawan Belanda. Setelah figur Imam Bonjol dicampakkan, pilihan jatuh pada SM Kartosuwiryo dengan Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia.
Terdapat dua perspektif dalam memandang sejarah perjuangan Kartosuwiryo. Bahtiar Effendy dari UIN Jakarta menilai bahwa tokoh ini tidak memiliki Islamic credential yang kuat. Walaupun bukan santri, ia berani memproklamasikan negara Islam, berbeda dengan partai Islam yang hanya mengusulkan Islam sebagai dasar negara. Gagasan negara Islam itu tidak muncul dari kesadaran keagamaan, melainkan hanya respons dari perkembangan keadaan antara lain penolakan terhadap Perjanjian Renville.
Perspektif kedua muncul setelah era Reformasi dengan penerbitan buku-buku yang mengidolakan Kartosuwiryo sebagai syuhada Islam. Menurut Chiara Formichi dalam bukunya yang terbit dan dapat diunduh pada internet secara gratis, Islam and the making of the nation, Kartosuwiryo and political Islam in twentieth-century Indonesia, KITLV, 2012, perjuangan menegakkan negara Islam di Indonesia dapat dibagi atas empat fase.
Fase pertama tahun 1950–1970-an ketika negara memisahkan agama dengan politik. Dalam konteks ini menurut Formichi, Sukarno dan Suharto menganggap Kartosuwiryo sebagai pemberontak tanpa ideologi (sterile rebel) kecuali untuk merebut kekuasaan. Tahap kedua, tahun 1990-an, mulai kooptasi negara rezim Orde Baru (Orba) terhadap kelompok Islam, pada saat itu berkembang ICMI dan muncul jenderal-jenderal “hijau”.
Periode ketiga, tahun 1998 yang memunculkan pandangan yang mengidolakan Kartosuwiryo dan negara Islam. Formichi memperhatikan (ini fase keempat) sejak 2010 mulai berkembang pemikiran yang ingin melihat jernih persoalan ini tanpa beban politis. Kelompok yang terakhir ini menganggap perlu memberi tempat yang tepat bagi Kartosuwiryo dalam sejarah Indonesia, tidak terlampau rendah seperti penggambaran Orba yang mengecap pemberontak, bahkan biang teroris, tidak juga terlalu tinggi seperti kelompok radikal yang menjadikannya sebagai inspirator pembentukan negara agama. (Pada sisi lain) ia mungkin lebih cocok digambarkan sebagai seorang tokoh antipenjajahan dan konsisten menentang kolonialisme walau memberi label Islam pada gerakan tersebut.
Warisan Ketiga
Warisan ketiga SM Kartosuwiryo dalam pengertian yang sesungguhnya menurut hemat saya adalah keturunannya dalam hal ini putra bungsunya, Sarjono Kartosuwiryo. Pandangan dan sikap Sarjono Kartosuwiryo ini menurut hemat saya yang lebih cocok untuk Indonesia sekarang dan masa depan ketimbang sejarah masa lalu bapaknya. Saya mengenal Sarjono Kartosuwiryo tahun 2004 di Bali. Saat itu dilakukan peluncuran buku saya, Pelurusan Sejarah Indonesia, di Universitas Udayana, Denpasar.
Para pengurus Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) hadir dan mendukung bedah buku tersebut. Pada halaman depan koran-koran yang terbit di Denpasar esok harinya terpampang wajah tokoh muda yang orang tuanya pernah berseberangan, Ilham Aidit putra Ketua PKI, Amelia putri Jenderal A Yani, dan Sarjono putra Kartosuwiryo. FSAB didirikan antara lain oleh Jenderal Agus Wijoyo putra Jenderal Sutoyo yang menjadi korban revolusi tanggal 1 Oktober 1965.
Bergabung pada organisasi ini beberapa anak yang ayahnya berideologi nasionalis, agama, dan komunis (Nasakom) serta para jenderal pahlawan revolusi yang dulunya pernah berkonflik. Forum ini bertujuan luhur untuk menghentikan konflik di Indonesia dan tidak mewariskan konflik kepada generasi berikutnya. Prinsip seperti ini yang tepat untuk Indonesia yang sangat majemuk. ●