Kamis, 13 September 2012

Terorisme dan Deteksi Dini


Terorisme dan Deteksi Dini
Susaningtyas Nefo H Kertopati ;  Pemerhati Intelijen;
Anggota Komisi I dari Fraksi Partai Hanura
KOMPAS, 13 September 2012


Rangkaian penangkapan dan penyergapan pelaku teroris, serta ditemukannya senjata dan bahan bakar untuk merakit bom di Solo dan sejumlah tempat lainnya di Jakarta dan Depok, menjadi sinyalemen keberadaan terorisme di Indonesia belum benar-benar hilang.

Pasca-tewasnya gembong teroris paling dicari, Azahari dan Noordin M Top, terorisme di Indonesia sempat mati suri. Hampir tak ada aksi teror sekelas aksi yang dilakukan oleh kedua pelaku teror paling dicari tersebut saat masih bebas beraktivitas. Setelah itu memang ada sejumlah aksi penyerangan kantor polisi dan perampokan di sejumlah kota di luar Jawa, tetapi kemudian bisa terdeteksi dan dilokalisasi.

Penembakan pos polisi dan aksi teror di Solo menegaskan bahwa jaringan terorisme di Indonesia masih jadi ancaman faktual. Hal ini tecermin dari terbongkarnya sejumlah jaringan di Jakarta dan Depok, yang terkait satu dengan yang lain. Kondisi ini jadi sinyalemen bahwa program deradikalisasi yang digagas oleh Badan Nasional 
Penanggulangan Terorisme (BNPT) belum mampu mengakselerasi hakikat toleransi dan penghargaan kepada sesama.

Deradikalisasi harus didasari dengan pencarian embrio masalah yang jadi penyebab/pemicu teror tersebut. Seyogianya harus ada kesepakatan antara badan-badan intelijen, obyek deradikalisasi yang mana harus diprioritaskan sehingga dapat diatasi secara maksimal.

Kegagalan program deradikalisasi disebabkan embrio terorisme tak hanya berpangkal pada gerakan ideologi agama tertentu. Juga rasa keadilan dan kesejahteraan yang dirasakan. Kenyataan tersebut secara obyektif jadi permasalahan dalam pemberantasan terorisme di Indonesia.

Radikalisasi terbentuk sebagai bagian dari respons atas ketidakadilan dan makin melebarnya kesenjangan sosial di masyarakat. Bahwa kemudian agama jadi satu alasan dalam mengekspresikan ketidakpuasan dan kebencian, ini bagian dari bingkai kegagalan negara dalam menjalankan perannya. Di sinilah, dalam bahasa Bruce Hoffman (1999), terorisme dianggap kolaborasi antara kegagalan negara dalam menjalankan fungsinya dan frustrasi masyarakat atas kondisi yang dihadapi.

Karena itu, menjadikan pesantren yang disinyalir tempat persemaian gerakan terorisme di Indonesia sebagai target dari program tersebut tidak memberikan efek jera yang efektif. Sebab hanya bersifat parsial dan sektoral. Padahal, pemberantasan terorisme akan efektif bila dilakukan secara integral, termasuk mendalami domain kesejahteraan masyarakat.

Oleh sebab itu, akan lebih memberikan efek berbeda bila memaksimalkan Polri dalam memberikan informasi dan pengawasan secara efektif dalam bentuk program perpolisian masyarakat (polmas) dan peran pembinaan masyarakat (binmas). Selain itu, keterlibatan TNI sebagai tentara pejuang dan tentara rakyat yang terintegral dalam memaksimalkan dialog dan komunikasi dengan masyarakat sangat penting. Sebagaimana diketahui, pasca-Orde Baru, komando teritorial dalam bentuk Bintara Pembina Desa (Babinsa) tidak secara optimal dimanfaatkan dalam memberikan pemahaman dan informasi kepada masyarakat akan pentingnya menjaga stabilitas keamanan wilayah.

Deteksi Dini

Dalam konteks tersebut di atas, maka pemberantasan terorisme di Indonesia harus menyeluruh, melibatkan segenap potensi bangsa. Karena itu, keberadaan UU No 15/2003 tentang Antiteror harus direvisi agar dapat menjadi payung hukum bagi potensi pendeteksian dini oleh para aktor keamanan dan pelibatan masyarakat secara integral. 

Sementara keberadaan intelijen, baik dari Polri, militer, maupun komunitas intelijen lainnya, hanya merupakan komponen yang bekerja dalam ranah informasi untuk penyelidikan. Padahal, secara institusi, Badan Intelijen Negara (BIN) yang mengoordinatori institusi intelijen lainnya memiliki fungsi sangat strategis dalam mendeteksi dini potensi gangguan dan ancaman faktual dari pergerakan terorisme di Indonesia.

Pada UU No 17/2011 tentang Intelijen Negara ditegaskan bahwa intelijen memiliki kewenangan penyelidikan dan deteksi dini berkaitan dengan sejumlah potensi gangguan yang akan ditimbulkan dari aktivitas terorisme di Indonesia. Sementara Densus 88 Antiteror bersama- sama BNPT, sebagai komponen utama dalam pemberantasan terorisme di Indonesia, seharusnya lebih mengedepankan pendekatan pre-emtif dan preventif dalam menjalankan peran dan fungsinya. Dengan demikian, gangguan nyata dan ancaman faktual dapat secara efektif diminimalisasi dan terukur dalam pemberantasannya. Intinya, pencegahan menjadi suatu keniscayaan.

Kritik mendasar terkait kinerja Densus 88 Antiteror adalah bahwa hampir setiap menangani teror hanya bertumpu pada keterkaitan aksi teror itu dengan jaringan terorisme yang ada selama ini. Padahal, meski menggunakan cara-cara teror, belum tentu mereka bagian dari gerakan terorisme yang sudah terdeteksi. Bisa saja itu hanya merupakan gerakan klandestin (bawah tanah) yang sama sekali tak terkait jejaring terorisme berlabel agama yang selama ini diwacanakan.

Berkenaan konteks tersebut, dalam menangani teror, Densus 88 Antiteror harus mencari variabel penyebab seluas-luasnya agar dapat secara komprehensif tertangani dengan baik. Namun, bila memang aksi teror memiliki jejaring satu dengan yang lain, Densus 88 bersama intelijen harus tetap mengutamakan pendekatan pre-emtif dan preventif guna mengentaskan masalah tersebut. Ini pentingnya intelijen memiliki kemampuan improvisasi dalam penetrasinya di lapangan.

Komunikasi dan Koordinasi

Potensi gangguan dan ancaman faktual sebagaimana yang terjadi di Solo, kemudian di Depok dan Jakarta, secara luas dapat dilihat sebagai pesan untuk lebih menyadarkan seluruh komponen bangsa agar selalu waspada dalam memosisikan dirinya sebagai bagian dari upaya pemberantasan terorisme di Indonesia. Pada konteks ini, deteksi dini dan pengawasan terkait aktivitas masyarakat secara luas menjadi penting dilakukan.

Salah satu bentuk aktivitas deteksi dini yang terintegrasi adalah bagaimana setiap institusi dan masyarakat dapat menjalankan fungsinya secara efektif. Polri, misalnya, akan lebih memahami dinamika masyarakat bila komunikasi dialogis dengan masyarakat dapat terbangun secara simultan dalam bentuk program polmas ataupun fungsi-fungsi binmas lainnya, yang juga dapat bekerja sama dengan TNI melalui fungsi teritorialnya.

Sementara untuk BIN dan komunitas intelijen lainnya, deteksi dini dapat dilakukan dalam bentuk penggalangan dan penetrasi. Selain informasi yang didapat diteruskan kepada institusi keamanan lain, upaya penggalangan dan penetrasi intelijen harus juga dilakukan sebagai bagian dari langkah preventif. Sebab, selama ini informasi dan temuan intelijen terkait kemungkinan gangguan dan ancaman faktual tidak secara serius ditanggapi oleh pemangku kepentingan. Tak mengherankan apabila konflik di masyarakat dan aksi teror masih kerap terjadi dan cenderung tidak terkendali. Padahal, bila informasi dari intelijen ini disikapi serius, langkah preventif dalam bentuk penggalangan dan penetrasi dapat meminimalisasi kemungkinan gangguan dan ancaman tersebut.

Ada tiga alasan mengapa deteksi dini terintegral atas seluruh potensi ancaman faktual dan gangguan keamanan dari aktivitas terorisme penting dilakukan. Pertama, membangun kepercayaan antarinstitusi dalam menjalankan peran dan fungsi masing-masing. Kepercayaan menjadi faktor penting dalam mengondusifkan situasi. Tanpa kepercayaan satu dengan yang lainnya, efektivitas pemberantasan terorisme tidak dapat berjalan.
Kedua, mengefektifkan fungsi komunitas intelijen daerah sebagai titik temu antarinstitusi. Menguatnya ego sektoral menjadi salah satu permasalahan tidak efektifnya komunitas intelijen daerah, selain memang kualitas SDM-nya yang masih perlu ditingkatkan.

Ketiga, mengikis faktor psikologis antarinstitusi. Bukan cerita baru apabila ada permasalahan psikologis antarinstitusi pasca-Orde Baru: antara Polri dan TNI. Dalam sejumlah kasus, masalah ini kerap menjadi penghambat koordinasi yang efektif dalam pemberantasan terorisme.

Namun, upaya untuk mendeteksi sedini mungkin potensi gangguan kelompok terorisme hanya dapat dilakukan bila antarinstitusi keamanan dan masyarakat sadar akan pentingnya membangun komunikasi dan koordinasi secara efektif. Dengan sedikit meredakan ego sektoral, upaya itu akan jadi sinyalemen positif dalam upaya pemberantasan terorisme di Indonesia. ●

◄ Newer Post Older Post ►