Kamis, 13 September 2012

Tekor Moral Pengadilan Tipikor


Tekor Moral Pengadilan Tipikor
Achmad Fauzi ;  Hakim Pengadilan Agama Kotabaru, Kalimantan Selatan;
Penulis buku ''Pergulatan Hukum di Negeri Wani Piro'' 
JAWA POS, 13 September 2012


ISU sangit merebaknya jual beli hukum dan degradasi integritas oknum pengadil di pengadilan tipikor menggiring opini publik pada satu rumusan masalah: Benarkah pengadilan tipikor mengalami pembusukan? Aroma memualkan semakin tajam tercium tatkala Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam penelusurannya menemukan rekam jejak 84 hakim tipikor yang terindikasi melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim. Bentuk pelanggaran tersebut terklasifikasi dalam tiga aspek dan telah dilaporkan secara tertulis kepada Mahkamah Agung (MA) maupun Komisi Yudisial (KY) untuk ditindak(lanjuti). 

Pertama, aspek administratif. Bentuk pelanggaran itu berupa kelalaian belum menyerahkan laporan dan mengumumkan harta kekayaannya selaku pejabat negara. Padahal, kewajiban tersebut diatur dalam UU No 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, UU No 30/2002 tentang KPK, serta Keputusan KPK Nomor KEP.07/KPK/02/2005 tentang Tata Cara Pendaftaran, Pemeriksaan, dan Pengumuman Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara. Kelalaian maupun unsur kesengajaan tersebut memungkinkan kepemilikan harta kekayaan secara tidak wajar di luar kontrol KPK.

Kedua, aspek integritas yang buruk karena hakim bertemu pengacara yang berperkara, hakim ad hoc masih membuka praktik kepengacaraan, hakim karir menyidangkan perkara di luar kasus korupsi, serta hakim ad hoc memiliki kedekatan dengan partai politik tertentu karena mantan anggota DPRD.

Bertemu dengan pihak berperkara di luar proses sidang, menurut kode etik, merupakan pantangan yang harus dihindari hakim. Dalam hubungan secara langsung maupun tak langsung dengan anggota profesi hukum lain, hakim wajib menghindari situasi yang bisa menimbulkan kecurigaan atau keberpihakan. Terlebih, bekerja ganda membuka praktik kepengacaraan tentu harus dihindari. Sebab, di samping merusak independensi serta rawan permainan perkara dan konflik kepentingan, hakim dilarang keras bekerja menjalankan fungsi layaknya seorang advokat.

Ketiga, aspek kualitas putusan hakim tipikor yang ditengarai kurang cermat, pasif dalam sidang namun aktif di luar sidang, serta gemar mengobral vonis bebas atau vonis ringan. Menanggapi persoalan vonis bebas, saya tidak memiliki tendensi untuk menghakimi putusan-putusan yang belakangan ini cenderung membebaskan koruptor. Sebab, berdasar prinsip universal, hasil kerja profesional hakim tak boleh direcoki otoritas nonyudisial serta menuntut ketelitian dan kecermatan untuk menaikkan status seseorang dari terdakwa menjadi terpidana. Namun, masalahnya, kajian terhadap vonis bebas semakin terbuka dan membuka peluang pertanyaan publik terkait dengan kredibilitas dan integritas hakim yang mengadili. 

Hingga sekarang terdapat 71 vonis bebas pengadilan tipikor daerah yang menjadi sorotan. Untuk Pengadilan Tipikor Surabaya saja, sejak dibentuk pada 2010, sudah 28 perkara yang divonis bebas di antara 254 perkara yang disidangkan (Jawa Pos, 24/8). Tak ada yang keliru jika vonis bebas menjadi salah satu variabel batu uji dalam mengukur kredibilitas dan integritas hakim tipikor. Buktinya, praduga lama atas integritas Kartini Julianna Marpaung yang kerap mengobral vonis bebas di Pengadilan Tipikor Semarang menjadi kenyataan ketika KPK menangkap tangan saat dia menerima suap dari pihak berperkara. 

Melihat tiga temuan ICW tersebut, mendesak bagi MA dan KY untuk memperketat pengawasan dan penyelidikan hakim-hakim nakal dengan melibatkan unsur LSM serta masyarakat. Pelanggaran yang terbukti, katakanlah menerima suap dari pihak berperkara, tidak sekadar terancam pemecatan, tapi juga sanksi pemidanaan, sehingga memberikan efek jera dan pelajaran penting dalam konteks pemberantasan korupsi pada masa mendatang. Hakim-hakim bermasalah yang direkomendasikan ICW, meski tidak bersifat generalisasi, selayaknya direspons sebagai kritik membangun agar pengadilan tipikor tidak mengalami pembusukan karena tekor moral dari dalam.

Masyarakat juga diharapkan semakin kritis dan memanfaatkan ruang keterbukaan lembaga peradilan untuk memantau kinerja hakim. Apalagi, desakan pendirian jejaring KY di daerah sebagaimana amanat UU KY sangat membantu masyarakat dalam memantau dan melaporkan oknum hakim yang diduga melanggar kode etik dan mengurangi timbangan keadilan. 

Pada saat bersamaan, atmosfer keterbukaan pengadilan tipikor terus ditingkatkan. Sepanjang tidak ada transparansi, selama itu pula keadilan tidak akan tegak. Hanya dengan keterbukaanlah kontrol terhadap segala ketidakadilan dapat dilakukan. Keterbukaan adalah roh keadilan. Keterbukaan membuat hakim ''diadili'' saat dia mengadili. 

International Commission of Justice (ICJ) yang berpusat di Jenewa mengklasifikasi jual beli hukum sebagai judicial corruption, sehingga wajib diperangi. Perbuatan tekor moral ini pada asasnya bermula dari terpeliharanya budaya ketertutupan, sehingga publik sulit mengontrol secara langsung etos kerja aparatur hukum. Filsuf Inggris Jeremy Bentham mengungkapkan, dalam setiap budaya ketertutupan selalu ada kepentingan jahat yang menungganginya. 

Putus Generasi 

Tak ada yang lebih radikal daripada keharusan memotong regenerasi hakim korup. Tujuannya, pengadilan tipikor kini dan mendatang tidak diisi pengadil bermental rakus, teperdaya materi, dan tidak peka terhadap keadilan masyarakat. Bentuk potong generasi dapat dilakukan melalui mekanisme pengetatan sistem rekrutmen. Hingga kini, proses seleksi calon hakim ad hoc tipikor masih berlangsung. Tentu, secara administratif, tak jarang ada rekayasa data diri yang diserahkan ke MA.

Berdasar profil umum dan temuan awal penelusuran rekam jejak 89 calon hakim ad hoc tipikor (tingkat pertama dan banding) oleh ICW bersama Indonesia Legal Roundtable (ILR), pendaftar didominasi advokat/konsultan hukum. Celakanya, sedikitnya tujuh calon pernah menjadi kuasa hukum tersangka/terdakwa kasus korupsi. 

Tanpa bermaksud memukul rata, hal itu perlu ditimbang ulang. Mengingat, rekam jejak hakim ad hoc tipikor yang selama ini banyak mengobral vonis bebas berlatar belakang kuasa hukum kasus korupsi. Apalagi, dalam kode etik diatur larangan hakim mengadili suatu perkara bila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan para pihak yang diadili saat menjalankan profesi lain sebelum menjadi hakim. Hanya dengan demikian pembusukan sistematis pengadilan tipikor bisa terhindarkan.

◄ Newer Post Older Post ►