Rabu, 12 September 2012

Renegosiasi Kontrak Karya Freeport


Renegosiasi Kontrak Karya Freeport
Taraf T Irawan ;  Koordinator Tim Ahli
Lembaga Kajian Strategis Nusantara Unggul (LKSNU)
SUARA KARYA, 12 September 2012


PT Freeport tetap bersikukuh untuk tidak merubah isi kontrak karya. Menurutnya, kontrak karya yang telah disepakati bersifat lex specialis. Karena sifatnya ini, pihak manajemen Freeport tidak mau menyesuaikan isi kontrak karya dengan apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Perusahaan pertambangan ini telah ada sejak 1967. Kontrak kedua disepakati berakhir tahun 2021 dengan opsi perpanjangan 2 kali 10 tahun sehingga akan berakhir hingga 2041. Freeport McMoran memiliki saham 90,64 persen di PT Freeport Indonesia, di mana 81,28 persen melalui penguasaan saham secara langsung dan 9,36 persen melalui PT Indocopper Investama. Sementara Pemerintah Indonesia hanya menguasai 9,36 persen sisanya.

Persoalan muncul ketika digulirkan UU No 4/2009. Seperti ditegaskan dalam UU ini, khususnya pasal 169 bahwa kontrak karya yang ada sebelum berlakunya UU ini tetap diberlakukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak atau perjanjian. Selanjutnya, ketentuan yang tercantum dalam pasal kontrak karya disesuaikan selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak UU ini diundangkan kecuali mengenai penerimaan negara.

Berpijak pada ketentuan pasal tersebut, berarti semua kontrak karya harus mematuhi, tidak terkecuali Freeport. Dalam hal ini kontrak karya tetap saja berjalan hingga berakhirnya perjanjian, namun demikian isinya harus direvisi dan menyesuaikan ketentuan yang sudah digariskan oleh UU No 4/2009.

Pihak manajemen Freeport tetap tidak bergeming untuk merevisi kontrak karya karena merasa sudah dilindungi secara hukum yang bersifat lex specialis. Petinggi Freeport McMoRan Richard Adkerson menyatakan, "kami dilindungi kontrak karya bukan hukum (UU) pertambangan yang baru."

Pernyataan ini jelas bahwa petinggi Freeport hanya akan mematuhi kontrak karya. Manajemen Freeport mengancam akan melaporkannya ke arbitrase internasional jika pemerintah Indonesia tetap memaksakan untuk merivisi kontrak karya.

Sifat hukum kontrak karya lex specialis ini sebenarnya sudah tidak relevan lagi jika dikaitkan dengan kondisi saat ini. Menurut Soetaryo Sigit (dalam Potensi Sumber Daya Mineral dan Kebangkitan Pertambangan Nasional), lex specialis dalam kontrak karya adalah bentuk komitmen Pemerintah Indonesia dalam memberikan kepastian hukum bagi kalangan investor asing untuk mendukung pembangunan ekonomi Indonesia yang saat itu dalam kondisi carut-marut, di mana kontrak karya pertama ditandatangani pada 1967.

Dengan kondisi perekonomian dan iklim investasi yang sudah berkembang saat ini serta dukungan aturan hukum yang sudah memadai, sepertinya sudah tidak ada alasan lagi, pendekatan hukum lex specialis diberlakukan. Dengan kata lain, perlakuan lex specialis harus dihapuskan.

Dalam kaitan ini mengapa renegosiasi kontrak karya menjadi penting?

Pertama, selama ini isi kontrak karya pertambangan tidak adil bagi kepentingan nasional. Sudah saatnya renegosiasi dilakukan dengan mendasarkan pada pasal-pasal yang dicantumkan dalam UU No 4/2009 seperti pasal 53 (luas wilayah); pasal 95 (kaidah pertambangan yang baik); pasal 97 (standar dan baku mutu lingkungan); pasal 100 (dana jaminan reklamasi dan pasca tambang); pasal 103 (pengolahan dan pemurnian hasil tambang); pasal 110 (menyerahkan data hasil eksplorasi dan operasi produksi); dan pasal 112 (kewajiban divestasi).

Kedua, adanya diskriminasi. Seperti disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), pemerintah terkesan diskriminatif terhadap pengusaha tambang nasional. Melalui kontrak karya, Freeport diberikan insentif oleh pemerintah, sementara perusahaan tambang nasional tidak memperolehnya. Pihak Apemindo tetap bersikeras menolak semua perpanjangan kontrak karya selama pihak tambang asing tidak memenuhi ketentuan yang digariskan oleh UU No 4/2009.

Ketiga, kontribusi yang tidak adil. PT Freeport Indonesia selama ini memberikan kontribusi kepada negara Indonesia berupa royalti dan iuran tetap. Untuk royalti, Indonesia hanya menerima 1 persen (emas dan perak) dan 1-3,5 persen (tembaga). Sementara itu, untuk iuran tetap berdasarkan tarif dan luas wilayah.

Agenda Utama

Dalam laporan keuangan 2009, Freeport melaporan cadangan tembaga sebesar 104,2 miliar pound (47,2 miliar kg) dan cadangan emas sebesar 37 juta ounces (sekitar 1 juta kg).

Melihat kondisi ini, renegosiasi menjadi suatu keharusan yang perlu dilakukan pemerintah. Melalui Keppres No 3/2012, pemerintah telah membentuk Tim Evaluasi Kontrak Karya. Namun, tim ini dirasakan tidak efektif jika tidak dibentuk Tim Renegosiasi Kontrak Karya. Sebab, yang dibutuhkan saat ini tidak sekedar evaluasi semata, akan tetapi secara simultan harus tersedia juga tim renegosiasi yang benar-benar efektif untuk dapat mendesakkan semua ketentuan yang telah digariskan dalam UU No 4/2009.

Renegosiasi harus menjadi agenda utama bagi pemerintah dan memasukkannya dalam dokumen-dokumen resmi negara sehingga memiliki kekuatan politik dan hukum yang harus ditindaklanjuti oleh setiap unsur pemerintah, terutama yang berkepentingan dalam pengelolaan pertambangan nasional.

Semua ini ditunggu agar renegosiasi menjadi kata yang mungkin, yang harus dilakukan oleh pemerintah. Kita semua tentu sangat berharap agar tata kelola tambang nasional dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat Indonesia.
◄ Newer Post Older Post ►