Sabtu, 01 September 2012

Program CSR Masuk Cost Recovery


Program CSR Masuk Cost Recovery?
Marwan Batubara ;  Direktur Indonesian Resources Studies, IRESS 
SINDO, 01 September 2012


BP Migas mengusulkan agar dana tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/ CSR) kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas dimasukkan dalam biaya investasi yang ditagihkan ke negara (cost recovery). 

Alasannya, karena dana CSR saat ini sangat rendah, gangguan masyarakat merebak, sehingga proyek migas tertunda dan tidak sesuai target. Untuk itu, ada wacana agar Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 22 Tahun 2008 yang melarang KKKS membebankan biaya CSR ke dalam cost recovery, diubah. Usul BP Migas di atas patut dipertanyakan.

Di mana pun di dunia, CSR merupakan program yang didanai perusahaan, bukan negara. Karena itu, berbagai alasan yang dikemukakan BP Migas menjadikan dana CSR masuk cost recovery, dan menjadi tanggungan negara/ APBN, perlu diuji. Pertama, diingatkan bahwa CSR adalah konsep atau tindakan yang dilakukan perusahaan guna menunjukkan tanggung jawab sosial dan kepedulian pembangunan yang berkelanjutan.

Bentuk tanggung jawab dapat berupa kegiatan peningkatan kesejahteraan, perbaikan lingkungan, pemberian beasiswa, pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial. Jika CSR merupakan tanggung jawab dan sekaligus menguntungkan perusahaan, mengapa pula negara harus mendanai? Kedua, ditengarai sebagian dana CSR diselewengkan, tidak transparan, hanya berputar di pusat, tidak tepat sasaran, atau tidak sampai ke daerah sekitar kegiatan perusahaan. Hal ini dapat terjadi akibat adanya moral hazrad dan perilaku KKN oknum penguasa dan pengusaha.

Ketiga, dalam pelaksanaan CSR, pemerintah antara lain harus menetapkan kebijakan dan aturan, menciptakan kepastian hukum, menjamin ketertiban sosial,menyiapkan tenaga ahli/SDM dan pengorganisasian, serta mengordinasikan berbagai program. Pemerintah pun dapat menetapkan fokus kegiatan CSR, sekaligus memfasilitasi, mendukung, dan mengawasi jalannya kegiatan. Dalam praktiknya, berbagai kewajiban dan fungsi pemerintah belum berjalan secara optimal.

Keempat, jika proyek migas tertunda akibat gangguan atau ancaman masyarakat, dapat dikatakan peran dan fungsi negara tidak berjalan sebagaimana mestinya. Minimal kepala daerah (gubernur dan bupati), DPRD (provinsi/kabupaten) dan aparat keamanan (polda) di wilayah tersebut tidak mampu atau gagal menjalankan tugas kenegaraan.

Padahal, daerah pun seharusnya ikut bertanggung jawab karena umumnya mendapat kesempatan memiliki saham pada KKKS di daerahnya.Tertundanya produksi maksimal Blok Cepu 165.000 barel per hari dari tahun 2012 menjadi tahun 2014 misalnya, antara lain disebabkan masalah pembebasan tanah, keikutsertaan pengusaha lokal dan izin IMB dari pemda yang tidak kunjung terbit. Padahal, pemda-pemda Jatim, Jateng, Bojonegoro, dan Blora merupakan pemegang 10% participating interest (PI) Blok Cepu.

Lalu,bagaimana peran dan tanggung jawab pemda sebagai pemegang PI? Kelima, jika pemda gagal berfungsi, seharusnya pemerintah pusat berperan menggantikan, mengambil alih, sekaligus menyelesaikan berbagai masalah yang menghambat. Pendapatan negara dari suatu blok migas mayoritas diterima dan dikelola pusat untuk seluruh rakyat Indonesia,setelah sebagian kecil dibagi dengan daerah dalam bentuk DBH (dana bagi hasil).

Keenam, penerimaan negara sektor migas terlalu besar dan riskan untuk dibiarkan berada di tangan gerakan perlawanan masyarakat, tanpa penanganan serius. Pemerintah dapat dinilai menjalankan kekuasaan secara sangat amatiran. Koordinasi antarkementerian dan antarpusat daerah tidak berjalan. Bagaimana mungkin IMB proyek Cepu tidak terbit selama bertahun-tahun hanya gara-gara perda tentang kandungan lokal?

Lalu, mengapa Kementerian ESDM, Dalam Negeri, Keuangan, dan pemda terkait tidak antisipatif dan mengoordinasikan hal ini sejak dini? Untuk dicatat, salah satu alasan Presiden SBY menyerahkan pengelolaan Blok Cepu kepada Exxon pada Maret 2006 adalah agar bisa berproduksi 165.000 barel per hari pada 2010, dan sekaligus meningkatkan lifting migas. Ketujuh, BP Migas mengusulkan CSR yang masuk cost recovery sebagai bagian dari investasi.

Dirjen Migas mengatakan bahwa dana cost recovery tidak dibayar dari dana APBN, tetapi dari dana bagi hasil migas sesuai dengan produksi yang dihasilkan, sehingga perhitungannya dikembalikan sesuai bagi hasil. Padahal, walaupun merupakan bagian dari investasi, pemerintah tetap saja harus membayar kembali kepada kontraktor, sehingga porsi penerimaan negara (dari bagi hasil) berkurang. Ujungnya, penerimaan APBN berkurang.

Kedelapan, saat ini anggaran untuk CSR dari industri hulu migas masih minim (sekitar Rp500 miliar), terutama jika dibandingkan dengan kontribusi sektor migas terhadap APBN yang mencapai Rp280 triliun per tahun. Namun menurut Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, potensi dana CSR dari seluruh BUMN dan 700-an perusahaan swasta, lebih dari Rp20 triliun per tahun.

Sayangnya, dana CSR masih belum sepenuhnya dikelola pemerintah secara komprehensif, transparan, dan mengikuti prinsip good governance, sehingga antara lain mengganggu produksi migas. Disimpulkan bahwa niat BP Migas memasukkan CSR ke cost recovery merupakan upaya mengatasi masalah dengan solusi instan yang tidak tepat, sekaligus merugikan keuangan negara. Proyek-proyek migas tertunda atau terganggu terutama bukan akibat minimnya dana CSR, melainkan lebih pada ketidakmampuan pemerintah dan moral hazard oknum-oknum pemerintah dan kontraktor.

Dengan CSR masuk cost recovery, berarti menggunakan uang rakyat untuk kepentingan perusahaan yang akan mendapat citra baik, serta prospek dan value perusahaan yang meningkat. Jika akhirnya menggunakan uang negara, mengapa sejak dini program sosial kemasyarakatan tidak direncanakan dan dilaksanakan melalui APBN dan APBD? Apakah ada agenda tersembunyi di balik usul ini? Hal ini sangat tidak pantas dan tidak adil. Karena itu, usul BP Migas tersebut harus ditolak.
◄ Newer Post Older Post ►