Sabtu, 08 September 2012

Pendidikan Berbasis Budaya Literasi


Pendidikan Berbasis Budaya Literasi
Mohammad Takdir ;  Pencinta Buku dan Staf Riset
The Mukti Ali Institute Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 07 September 2012


Pendidikan berbasis budaya literasi merupakan salah satu aspek penting yang bisa diterapkan di lembaga-lembaga sekolah guna memupuk minat dan bakat yang terpendam dalam diri generasi muda kita.

Apalagi kita tengah menghadapi sindrom buta huruf yang kerapkali menjadi penghambat kemajuan pendidikan nasional sehingga dibutuhkan strategi alternatif yang bisa dilakukan untuk menopang peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia.

Dalam sejarah peradaban umat manusia, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Kendati begitu, penguasaan literasi yang tinggi tentunya tidak mengabaikan aspek sosiokultural karena literasi tersebut merupakan bagian dari kultur atau budaya manusia.

Hubungan literasi dengan komunikasi memiliki korelasi yang sangat kuat. Bahkan, Kern (2000) menyatakan, ”Literacy involves communication” (Literasi melibatkan komunikasi). Literasi yang mencakup dua hal, yaitu keaksaraan dan kewicaraan atau lisan dan tulisan tentunya merupakan bagian dari budaya manusia untuk berkomunikasi antara satu sama lain dalam upaya mencapai tujuan-tujuan hidup.

Dengan penguasaan literasi yang baik atau sesuai dengan sosiokulturalnya, manusia dapat berkomunikasi dengan baik pula. Agar literasi dapat dikuasai secara maksimal sehingga membantu manusia mencapai tujuan-tujuan mereka, pendidikan literasi perlu dilaksanakan. Apakah itu pendidikan literasi? Bagaimana pendidikan literasi itu dilaksanakan?

Secara sederhana, literasia atau literer istilah lain dari melek huruf secara fungsional adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, berhitung, dan berbicara serta kemampuan mengidentifikasi, mengurai dan memahami suatu masalah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga terbitan Balai Pustaka, yang dimaksudkan dengan literer adalah (sesuatu yang) berhubungan dengan tulis-menulis. Dalam konteks kekinian, literasi atau literer memiliki definisi dan makna yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar.

Dalam paradigma berpikir modern, literasi juga bisa diartikan sebagai kemampuan nalar manusia untuk mengartikulasikan segala fenomena sosial dengan huruf dan tulisan.

Kirsch dan Jungeblut (1993) dalam bukunya Literacy: Profiles of America’s Young Adults mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam memanfaatkan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat luas.

Menurut Besnier (dikutip dalam Duranti, 2001) dalam Key Concepts in Language and Culture, literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat.

Inskripsi visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan yang dimediasi dengan alfabet, aksara. Belajar dari sejarah peradaban besar, menggiatkan budaya literasi dapat mendorong tumbuhnya inovasi baru dalam perkembangan ilmu pengetahuan.

Pada masa Socrates, misalnya, para siswa di Yunani (kota lahirnya para filsuf), diperkenalkan dengan budaya membaca, bukan budaya mendengar. Hal ini membuktikan bahwa budaya literasi bagi segenap elemen bangsa merupakan faktor penentu kemajuan yang paling signifikan.

Lompatan Transformasi

Sebagaimana kita cermati dalam kehidupan sehari-hari, budaya lisan (oral society) sudah begitu mendarah daging di hampir setiap stratifikasi sosial. Proses transfer budaya lebih banyak dilakukan lewat mulut ke mulut.

Mendongeng bisa menjadi salah satu contoh. Oral society ini semakin menguat dengan hadirnya media radio dan televisi. Jelas, dengan kondisi ini menciptakan budaya literer secara ajek akan makin sulit terwujud. Terjadi lompatan fase di mana fase bercerita (praliterer) tidak diselingi dengan fase membaca (literer), tetapi langsung melompat ke budaya menonton (paskaliterer).

Tidak heran, masyarakat kita, anak-anak termasuk orang tua, merasa asing dengan buku. Mereka tentu lebih hafal nama-nama artis sinetron dan penyanyi di televisi daripada nama penulis buku. Ditambah lagi, pada dasarnya daya serap melalui pendengaran (auditif) lebih tinggi daripada daya baca.

Untuk konteks Indonesia, salah satu tantangan terbesar dalam pemberdayaan bangsa ini adalah meninggalkan tradisi lisan (orality) untuk memasuki tradisi baca tulis (literacy) (Suroso, 2007:11). Bagaimanapun, era informasi telah menciptakan ruang yang luas terhadap tumbuh kembangnya media tulis.

Data dari Association For the Educational Achievement (IAEA), misalnya, mencatat bahwa pada 1992 Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia. Sementara itu, dari 30 negara, Indonesia masuk pada peringkat dua dari bawah.

Perbandingannya dengan saat ini barangkali tidak berbeda jauh jika melihat indikator yang ada. Suatu tingkat literasi yang sangat ironis bila kita becermin pada negara-negara tetangga di ASEAN yang sudah terlebih dulu bangkit dari keterpurukan peradaban.

Bagi saya, penguasaan literasi dalam segala aspek kehidupan memang menjadi tulung punggung kemajuan peradaban suatu bangsa. Kita tidak mungkin menjadi bangsa yang besar, apabila hanya mengandalkan budaya oral yang mewarnai pembelajaran di lembaga sekolah maupun perguruan tinggi.

Ironi tingkat literasi kita yang semakin menurun, menunjukkan ketidakmampuan bangsa ini dalam mengelola sistem pendidikan yang mencerahkan dan memberdayakan bagi segenap anak bangsa yang potensial dan cerdas. Sudah saatnya, budaya literasi harus lebih ditanamkan sejak usia dini agar anak bisa mengenal bahan bacaan dan menguasai dunia tulis-menulis.

Budaya literasi merupakan cermin kemajuan bangsa. Para antropolog bahasa, seperti Lucian Levy-Bruhl, Claude Levi-Strauss, Walter Ong, dan Jack Goody memandang literasi (bahasa) sebagai titik pangkal pembeda masyarakat primitif dari masyarakat “beradab” (Ma’mur, 2010:4).

Bahkan, Levi-Strauss mengungkapkan kerinduan yang mendalam pada kesatuan ujaran primordial yang hilang pada tulisan. Bagi Strauss, tulisan merupakan instrumen melawan penindasan, instrumen menaklukkan pikiran primitif. (Madam Sarup, 2007: 63).

Sederet nama seperti Pramoedya, Hamka, Rendra, Ayip Rosidi, dan Goenawan Mohammad adalah kaum intelektual yang membumikan gagasannya dengan pena. Dengan kata lain, mereka merupakan tokoh intelektual yang menggerakkan massa melalui budaya literasi (bahasa).

Para penulis, menurut Regis Debray, seorang sosiolog, adalah kaum intelektual generasi kedua—setelah sebelumnya dikuasai oleh para pengajar (teachers) yang membela Dreyfus seperti Emile Zola, Emile Durkheim dan Anatole France.

◄ Newer Post Older Post ►