Sabtu, 22 September 2012

“Pemimpin Outdoor” Jokowi-Ahok Akhirnya Menakhodai DKI


“Pemimpin Outdoor” Jokowi-Ahok
Akhirnya Menakhodai DKI
Effnu Subiyanto ;  Mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair,
Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep) 
JAWA POS, 21 September 2012


HAMPIR dapat dipastikan bahwa pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memenangi pilkada DKI Jakarta putaran II 20 September 2012. Hasil penghitungan quick count dari lima lembaga survei memastikan hal itu. Mulai pukul 13.45 hingga pukul 15.00 WIB pada hari pemilihan, Indo Barometer merilis perolehan suara 56,46 persen untuk pasangan Jokowi-Ahok, sedangkan Foke-Nara memperoleh 43,54 persen. Lembaga Survei Indonesia (LSI) malah memastikan suara untuk Jokowi sebesar 73,13 persen, MNC Media-Saiful Mujani Research and Consulting(SMRC) menyuguhkan 52,74 persen. Timquick-count STEKPI juga mencatat pasangan Jokowi-Ahok unggul atas Foke-Nara dengan meraih 56,93 persen suara.

Pada putaran pertama (11/7/2012), pasangan Jokowi-Ahok hanya memenangi 42,60 persen suara atau 1.847.157 surat suara. Dengan demikian, dukungan kepada pasangan bukan ''putra daerah'' itu malah semakin solid. Isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) tidak memiliki dampak kepada pasangan Jokowi-Ahok. Pemilih Jakarta ternyata tidak mudah terprovokasi oleh kampanye yang tidak sehat seperti itu. Ini menunjukkan kesadaran penduduk Jakarta semakin baik.

Tantangan pilkada sudah berakhir, kini Jokowi-Ahok dituntut untuk bekerja cepat sesuai dengan janji-janji semasa kampanye. Yang tidak bisa dilupakan publik Jakarta, Jokowi menjanjikan program ''Jakarta Baru'' dengan sangat optimis dalam forum debat kandidat gubernur bahwa dirinya akan bekerja di kantor hanya satu jam dan sisanya di lapangan.

Janji Jokowi itu begitu berani jika melihat potensi hambatan yang akan menghadang ke depan. Untuk dapat lebih lama meninggalkan kantor tanpa bisa diganggu, Jokowi harus mempersiapkan infrastruktur pendelegasian wewenang secara matang. Kantor-kantor yang berpola virtual seperti diinginkan Jokowi umumnya mengandalkan sistem informasi teknologi paperless dengan otorisasi user id dan sistem password yang dinamis. Mengintegrasikan seluruh data elektronik dari sebelumnya manual tentu bukan pekerjaan mudah, ditambah keharusan mengubah budaya PNS yang paper-based pasti tidak bisa instan. Apalagi, program kerja pengembangan teknologi informasi yang sebetulnya indikator kinerja masa Gubernur Fauzi tidak bisa dikatakan berhasil.

Sisi lain yang bakalan menghadang perkembangan teknologi virtual adalah landasan hukumnya. Hukum tentang informasi dan transaksi elektronik nomor: 11/2008 di Indonesia masih berjalan di tempat, produk paperless tidak diakui dalam sistem hukum konvensional negara ini. Jika Jokowi sering di luar kantor, persoalan tersebut harus dicarikan solusinya. Jika tidak, gaya memimpin                            outdoor Jokowi malah akan kontraproduktif dan sia-sia. Ini, misalnya, menyangkut persetujuan gubernur, baik yang berdimensi kebijakan dan atau berkonsekuensi kepada penggunaan anggaran atau keuangan. Perlu hati-hati karena Perpres 54/2010 tentang pedoman pengadaan barang dan jasa pemerintah belum mengarah ke persetujuan penggunaan IT dan sarana elektronik untuk memproses belanja daerah.

Jokowi boleh-boleh saja sangat optimis, mengingat sudah berhasil malang melintang melakukan gaya memimpin outdoor ini di Surakarta. Namun, yang perlu dipertimbangkan Jokowi bahwa keterkejutan budaya karena implementasi kebijakan yang progresif bisa menjadi kontraproduktif bagi Jakarta. Pada akhirnya, justru merugikan stakeholders Jakarta secara keseluruhan.

Tidak seluruh pebisnis Jakarta paham paperless, bahkan Bapepam-LK (2008) pernah melakukan survei dan menyimpulkan bahwa 35 persen eksekutif Indonesia memiliki pemahaman yang minim tentang bisnis elektronik. Fakta itu tentu mengejutkan karena pebisnis diklasifikasikan kelompok yang paham teknologi informasi bisa dibayangkan bagaimana tingkat pemahaman IT oleh PNS kendati di birokrasi DKI Jakarta.

Wujud ''Jakarta Baru'' bagi pasangan Jokowi-Ahok adalah crash program karena dijanjikan terwujud segera. Karena itu, dibutuhkan keseriusan dan komitmen yang tinggi dari seluruh PNS DKI Jakarta untuk mewujudkan itu. Jokowi juga perlu mempersiapkan manajemen disaster recovery plan (DRP), security systems juga contingency plan untuk antisipasi terjadinya bencana data-data elektronik. Tentu luar biasa pengaruhnya bagi bangsa jika Jakarta sehari saja kolaps karena padamnya listrik, kebakaran pusat data, hingga bencana alam. Kerugiannya bagi bangsa tentu tidak akan terbilang.

Tidak mudah menyiapkan jaringan infrastruktur teknologi informasi dan sistem informasi secara integratif. Apalagi, keahlian berbasis teknologi tidak dikuasai dengan baik oleh SDM Indonesia. Bangsa kita sekarang baru tahap menjadi operator dari peranti lunak yang diciptakan negara pembuat IT. Itu berarti dibutuhkan resourceyang sangat mahal karena akan menjadikan negara kita sangat bergantung untuk selalu update teknologi.

Namun, IT adalah kebutuhan karena bagaimana menciptakan iklim tranparansi, akuntabilitas, partisipasi, dan profesional seperti yang dijanjikan Jokowi tanpa dukungan IT. Informasi dari IT juga bisa membantu eksekutif untuk membuat keputusan, misalnya, pengendalian banjir, kemacetan transportasi, pengangguran, reformasi birokrasi, minimnya infrastruktur untuk publik hingga soal keamanan. Beragam masalah sosial Jakarta ini dijanjikan pemecahannya oleh Jokowi-Ahok.

Ibu Kota Kelas Dunia 

Semangat Jokowi-Ahok bergegas mengimplementasikan ''Jakarta Baru'' di ibu kota dapat disadari karena kian kompetitifnya para pesaing Jakarta di negeri lain yang lebih maju. Peranan IT dalam meningkatkan efisiensi sangat signifikan, mencapai 52 persen (Heizer & Render, 2006). Karena itu, Jakarta memang harus berlari geometrikal untuk menuju kelas dunia.

Aplikasi e-govern pada negara-negara maju sudah menjadi hal yang lumrah. Untuk apply visa, misalnya, hanya perlu submit melalui portal resmi negara yang dituju, dua minggu kemudian akan ada reply dari kedutaan untuk interview. Ini adalah konkret e-govern yang benar, bukan sekadar website yang hanya menampilkan informasi satu arah sudah ada interaksi user dengan administrator.

Konkretisasi ''Jakarta Baru'' memang belum jelas benar. Namun, dari berbagai fakta yang sudah dikerjakan Jokowi di Surakarta, arahnya optimistis lebih baik. Kini Jokowi-Ahok harus berpacu dengan waktu untuk membuktikan dapat berhasil di Jakarta. Jika mimpi rakyat Jakarta kali ini juga gagal, lalu apa beda ''kotak-kotak'' dengan ''kumis''?

Jadilah pemimpin amanah bagi Jakarta, barometer bangsa.
◄ Newer Post Older Post ►