Senin, 10 September 2012

Partai Lama dan Baru


Partai Lama dan Baru
Moch Nurhasim ;  Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI-Jakarta
REPUBLIKA, 08 September 2012


Apakah sebuah partai dapat dibedakan secara mudah dengan partai lainnya? Terlebih, saat ini musim verifikasi kontestan pemilu sedang akan dimulai. Apa sesungguhnya beda partai lama dan partai baru?

Pada perkembangan partai-partai politik di masa reformasi, cermin retak adalah ilustrasi yang relatif cocok dalam melihat sebuah partai politik. Ibarat cermin yang retak, tentu akan memunculkan bayangan jika kita ingin berkaca.

Tahun 1999 dapat disebut sebagai era baru pendirian partai politik setelah orde baru membatasinya. Dari perkembangan jumlah partai menjelang Pemilu 1999, 2004, dan 2009, dan kini menjelang 2014, secara mudah kita menemukan perbedaan warna ideologi.

Namun, warna ideologi itu sesungguhnya buram. Sebab, anatomi partai pascajatuhnya Orde Baru relatif mirip. Sebagian partai baru yang muncul (kecuali pada 1999) adalah pecahan dari partai lama. Perpecahan dan konflik adalah sumber awalnya. Contoh kasus yang sedang aktual adalah keluarnya sebagian kader Partai Golkar yang pada Pemilu 2009 mendirikan Gerinda, Hanura, dan menjelang Pemilu 2014 mendirikan Partai Nasdem.

Demikian pula pada kasus PDI-Perjuangan yang juga pernah mengalami perpecahan. PKB, PPP, dan PAN juga tak terhindar pada masalah yang sama. Sebagian kader Partai Amanat Nasional (PAN) sempat terlibat dalam pendirian Partai Matahari Bangsa (PMB) yang akhirnya mati suri. Munculnya PKNU yang berbasis di Jawa Timur, adalah pembelahan lain dari kasus konflik PKB yang berlarut-larut. Partai Demokrat juga tak luput dari perbedaan itu dan sebagian kadernya juga memilih mendirikan partai baru.

Walau secara spesifik berbeda ideologi, visi, dan jaket, secara garis besar karakter partai yang dikembangkannya pun relatif mirip satu sama lain. Perkembangan yang menonjol adalah tumbuhnya catch all party.

Serpihan dari cermin besar, masih menyisakan bayangan dari cermin lamanya. Kecenderungan ini sebagai dampak dari mudahnya mendirikan partai dan budaya loncat pagar yang sering terjadi. Kondisi partai politik seperti itu, mirip sebuah kendaran. Tak heran, partai se ring disimbolkan dan disimbiosiskan sebagai kendaraan politik.

Padahal, esensi partai politik sesungguhnya bukanlah kendaraan politik, tetapi instrumen demokrasi yang mendasar. Sebagai instrumen demokrasi, sebuah partai politik memiliki tanggung jawab yang diwujudkan dalam peran dan fungsinya.

Dari segi peran dan fungsinya, kehadiran partai lama-setiap menjelang pemilu-sesungguhnya mirip dengan kehadiran partai baru. Partai ada ketika menjelang pemilu. Setelah pemilu, sebagian dapat kekuasaan dan sebagian amblas ditelan bumi, bahkan tinggal pa pan nama. Ideologi partai, seperti ada dalam “laci,” berubah menjadi kepentingan pragmatis transaksional.

Personifikasi Partai

Paradoks tumbuh hilang silih berganti partai politik, di antaranya disebabkan oleh konflik kepentingan antara elite-elite yang memimpin. Sebuah partai yang modern dan terlembaga misalnya, pernah diperagakan oleh Golkar di masa orba. Salah satu indikatornya, konflik internal diselesaikan di dalam, bukan di luar, walau dengan paksaan. Ada mekanisme internal partai untuk menyelesaikan konflik sehingga konflik tidak meruntuhkan partai.

Mengapa partai harus terkonsolidasi? Argumentasinya sederhana, partai adalah instrumen utama pelaksana system politik dan demokrasi. Perpecahan partai akan menimbulkan kerugian karena akan memengaruhi pelaksanaan system politik dan roda pemerintahan. Bahkan, dapat mengancam konsolidasi dan pendewasaan demokrasi.

Maraknya perpecahan partai juga sebagai akibat menguatnya personifikasi dan keluargaisasi. Pengindividualan partai adalah ancaman terburuk bagi demokrasi. Pemimpin partai (ketua umum) merasa menjadi pemilik. Konsekuensinya, partai politik mirip dengan perseroan terbatas (PT) atau perusahaan.

Idealnya, partai dibangun bukan sebagai perusahaan, melainkan sebagai sebuah perkumpulan untuk berpolitik dan berdemokrasi. Esensi keduanya sangat berbeda. Jika partai sebagai perusahaan maka partai dikuasai oleh segelintir orang. Pimpinan adalah pemiliknya.

Sebaliknya, jika partai adalah sebuah asosiasi kepentingan bersama, yang di dirikan atas dasar persamaan, maka di antara mereka seharusnya sederajat. Elite partai hanyalah pemegang amanah sebagai pengelola yang sifatnya sementara, bukan sebagai pemilik.

Kegagalan itulah yang terus terjadi dan berulang setiap lima tahun sekali. Wujud dari itu semua adalah munculnya dinasti politik dalam partai. Dan, itu terjadi di setiap jenjang kepengurusan dari tingkat nasional hingga daerah.

Karakter partai seperti itu bukanlah berita gembira. Gejala demikian tidak hanya menghantui partai-partai lama, tetapi juga mulai terjadi pada partai baru yang umurnya masih belia. Personifikasi juga mulai tampak, bahkan keluargaisasi juga mulai terlihat.

Sayangnya, gambaran buruk itu ti dak pernah dapat diperbarui setiap kali DPR merancang UU Kepartaian. Tidaklah heran jika setelah penyelenggaran pemilu, kita menemukan sejumlah ti pologi partai. Partai yang memperoleh kursi di parlemen, partai yang tidak lo los pemilu, serta partai yang tinggal memiliki badan hukum dan papan namanya. Ironisnya, badan hukum partai tidak memiliki batas waktu.

Sistem Lemah

Gambaran tiga kali pemilu di era Reformasi akan terus berulang dan berulang. Itu semua bermuara pada lemahnya pembangunan sistem kepartaian di Indonesia. Partai tertulis secara nyata dalam peraturan perundang-undangan, tetapi kehadirannya di tengah-tengah masyarakat kurang nyata.

Tak ada keseimbangan antara “kekuasaan dan agregasi politik”. Kepentingan dan transaksi politik mengaburkan kaidah-kaidah pelembagaan partai. Representasi juga tidak terjadi sebab partai lebih mengarah pada perkumpulan kepentingan transaksi.

Dari Pemilu 1999, 2004, dan 2009, tiga tipe representasi bahkan dilanggar. Pemilu tidak menghasilkan representasi substantif dan juga gagal menghadirkan partai sebagai simbol representasi aspiratif. Dan, terpenting dari itu semua, partai juga tidak mampu menjadi ruang keseimbangan bagi tercapainya keterwakilan politik secara adil.
◄ Newer Post Older Post ►