Kamis, 06 September 2012

Pangan dan Pemerdekaan

Pangan dan Pemerdekaan
Fransiscus Welirang ;  Pelaku Usaha dan Peminat Masalah-Masalah Sosial
KOMPAS , 05 September 2012


Membaca Tajuk Rencana Kompas (24/8) dan mencermati fluktuasi harga pangan akhir-akhir ini, ingatan saya terseret pada pemikiran Bung Karno tentang Trisakti. Indonesia merdeka berarti berdaulat secara politik, berdikari di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.

Dalam perspektif sempit, sebagai pelaku usaha sektor makanan, penulis berpendapat, tanpa kemandirian di bidang pangan, rasanya mustahil Indonesia bisa melalui jembatan emas kemerdekaan untuk menuju kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian kebudayaan. Dalam bahasa lain, kemandirian pangan adalah fondasi dasar menuju pemerdekaan sejati bangsa.

Kemandirian pangan tak harus diartikan secara absolut, yaitu seluruh kebutuhan dipenuhi dari produksi dalam negeri. Dalam batas-batas rasional dan terukur, impor pangan masih bisa diterima, apalagi ketika keadaan diprediksi kritis. Kemandirian pangan juga berarti mengembalikan diversifikasi pangan lokal, baik berasal dari biji-bijian, kacang-kacangan, terutama umbi-umbian; serta mencipta budaya pangan baru berbasis tepung.

Penguatan Struktur Basis

Terlepas dari perdebatan atas fokus kebijaksanaan pembangunan pertanian yang sering dituding condong pada sisi produksi daripada subyeknya (petani), saya berkesimpulan, penguatan struktur basis merupakan energi inti dari kemandirian pangan. Pandangan ini bukan berarti mengabaikan perangkat suprastruktur, seperti perundang-undangan, tetapi gerak dan infrastruktur di lapangan adalah pilar kokoh menuju kedaulatan dan kemandirian pangan.

Sehubungan dengan itu, sejak era Reformasi secara umum kita cenderung abai pada urusan irigasi dan gerakan pengembalian budaya pangan lokal. Masalah ini boleh disebut tak pernah muncul dalam perdebatan para politisi. Ketika terjadi krisis komoditas pangan tertentu, seperti padi dan kedelai, mereka umumnya mengajukan jalan keluar instan: membuka lahan pertanian.

Di sini, bukan saja variabel waktu dan pola tanam yang diabaikan, melainkan juga ketersediaan irigasi dan bibit. Seakan- akan lahan itu langsung bisa ditanami dan panen segera setelah keputusan politik diambil. Padahal, pertanian bukanlah industri manufaktur. Dia siklus hidup yang rentan dan bergantung pada perubahan iklim, serangan hama, kualitas tanah, varietas bibit yang tahan perubahan, dan perlakuan orang yang menanamnya.

Sejauh ini, fakta menunjukkan banyak saluran irigasi rusak atau malah sudah tertimbun tanah. Juga tak tumbuh gerakan masif pengembalian budaya pangan lokal dan sertifikasi varietas bibit dalam negeri. Hipotesis saya, pengabaian tersebut berpangkal dari jebakan politik kekuasaan. Seluruh kelompok strategis di daerah lebih tertarik pada karnaval politik dan kontestasi kekuasaan untuk memperebutkan jabatan gubernur atau bupati/wali kota daripada menentukan masa depan warganya atas dasar sumber daya lokal yang mereka miliki.

Dalam konteks itu, problem yang muncul bukan sekadar hubungan kurang harmonis antara pusat dan daerah, melainkan juga relasi di dalam daerah itu sendiri. Pemerintah kabupaten, misalnya, karena terjebak pada relasi kekuasaan vertikal dan pencitraan politik kemajuan pembangunan, tanpa sadar melupakan persoalan desa. Mereka lebih tertarik membangun gedung hiburan dan pusat olahraga daripada mengurus irigasi dan pembudayaan produk pangan lokal. Pengorganisasian petani dan penyuluh pertanian pun dilupakan.

Padahal, tanpa pemeliharaan infrastruktur dan gerakan di struktur basis tersebut, mustahil terjadi revitalisasi pangan lokal dan melembaganya budaya pangan baru yang berbasis tepung. Pendek kata, tanpa penguatan struktur basis itu, kemandirian pangan akan semakin menjauh.

Akibatnya bukan saja pemerdekaan masyarakat tak terwujud, stabilitas politik pun bisa terancam setiap saat karena rakyat lapar. Ini disebabkan, meminjam istilah Mahatma Gandhi, ”Bagi orang yang kelaparan, roti adalah Tuhan. Karena itu harus tersedia di setiap rumah.” Dalam konteks Indonesia, tanpa sepotong singkong dan semangkuk tepung di rumah, pemberontakan rakyat bisa meletus kapan saja.

Catatan Penutup

Sebagai negara subtropis, apabila Republik mengurangi karnaval politik dan kontestasi kekuasaan serta praksis demokrasi difokuskan pada gerakan struktur basis bidang pertanian, saya yakin Indonesia akan mampu memberi makan dunia. Sebaliknya, bila terus terjebak pada semata-mata kebebasan berekspresi, kita akan jadi beban dunia.

Oleh karena itu, menguatnya pemikiran penyatuan pemilu eksekutif dan legislatif, misalnya, merupakan langkah awal yang baik bagi kematangan demokrasi nasional. Langkah politik ini diharapkan mendorong fokus para politisi dan kelompok strategis pada upaya kemandirian pangan nasional. Dengan demikian, seluruh rakyat akan tersenyum dan merasa merdeka. ●

◄ Newer Post Older Post ►