Sabtu, 15 September 2012

Negara Tanda Tanya


Negara Tanda Tanya
Benny Susetyo ;  Pemerhati Masalah Sosial
SINAR HARAPAN, 14 September 2012


Hasil survei nasional Charta Politika mencerminkan tingkat kepuasan masyarakat (approval rating) kepada pemerintah berada di bawah ambang psikologis.
Lebih dari 50 persen responden mengaku tidak puas dengan kinerja pemerintah dan masalah ekonomi menjadi isu utama yang memengaruhi tingkat evaluasi masyarakat terhadap kinerja pemerintahan.

Masyarakat tampaknya akan memberi hukuman kepada pemerintah bila kinerja ekonomi jeblok. Persepsi publik yang juga negatif terhadap kinerja para menteri asal parpol juga memengaruhi rendahnya kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah.

Kekuatan partai papan atas masih didominasi tiga partai besar. Partai Golkar (18 persen), Partai Demokrat (12,5 persen), dan PDI Perjuangan (10,8 persen).

Survei Nasional Charta Politika menunjukkan kepuasan publik ke pemerintah memasuki ambang batas karena publik merasa pemerintah antara ada dan tiada. Publik merasa pemerintah tidak memberikan harapan akan kesejahteraan, keamanan, dan pelayanan.

Rendahnya tingkat kepuasan publik ini mencerminkan pemerintahan tidak maksimal menjalankan amanat konstitusi. Pemimpin sudah nyaris abai untuk menegakkan hukum serta memberikan kepastian. Pemimpin hanya mampu memahami dirinya sendiri.
Ia sangat sibuk memainkan citra yang menghibur para penonton sehingga lupa tugas sesungguhnya adalah untuk membantu rakyatnya keluar dari penderitaan. Rakyat pun terbuai dengan senyum manis pemimpinnya dan seolah tak merasakan lagi bahwa kehidupan yang mereka jalani semakin menderita.

Survei akhir-akhir ini yang menyatakan melorotnya kepuasan masyarakat atas kinerja pemerintahan bisa menjadi masalah serius dalam hal citra belaka dan justru bukan dalam konteks evaluasi apa sesungguhnya yang membuat masyarakat semakin tidak puas.
Elite yang pandai bersilat lidah tidak mementingkan solusi atas fakta itu, melainkan bagaimana tetap mempertontonkan pertunjukan yang memukau dan menghibur penonton.

Akibatnya, negara ini tidak berubah menjadi baik karena tuntutan masyarakat, melainkan dengan persepsinya sendiri membangun stabilitas kekuasaan yang sering kali manipulatif. Hari-hari elite lebih banyak disibukkan dengan pencitraan dirinya untuk menjaga agar tontonan tetaplah bisa membuai rakyat. Bila perlu sampai penonton lupa diri dan tidak menyadari apa yang sedang terjadi.

Ironi Citra

Sudah sejak awal kita menyaksikan betapa rakyat mengharapkan sosok pemimpin yang bisa membawa perubahan.

Sebab setelah didera otoritarianisme yang amat lama dan krisis berkepanjangan, bangsa ini seolah sudah berada di tebing kehancuran. Kepercayaan terhadap kemapanan sistem lama menciptakan ketakutan akan kembalinya otoritarianisme baru dan krisis yang semakin menjerat.

Keyakinan rakyat bahwa perubahan harus dilakukan mengantarkan bangsa ini di hadapan puja-puji bangsa lain, “Betapa hebatnya demokrasi di negeri ini.”

Namun, apa yang terjadi? Kita menyadari ada jurang pemisah yang amat lebar antara realitas dan cita-cita. Antara apa yang terlontar di panggung para pemimpin dan jerit tangis penonton di bawah. Kehidupan tidak berubah menjadi lebih baik, bahkan tak jarang justru semakin merosot.

Di atas panggung, para pemimpin mengandaikan dirinya bak pahlawan yang bisa mengatasi semua masalah rakyat. Tetapi, itu semua tak ubahnya merupakan kata-kata hiburan yang kerap tidak memiliki makna di tengah sulitnya kehidupan rakyat.

Ada situasi berbeda yang enggan dipahami para pemimpin kita: merosotnya kepuasan 
masyarakat atas pemerintahan itu hanyalah salah satu bukti kecil bahwa kita gagal, dan mulai terdengar sayup-sayup di tengah kerumunan bahwa pemerintah belum berbuat maksimal untuk rakyatnya.

Dalam dunia yang semakin lama semakin berkembang ke arah yang serbamaya ini, citra adalah power. Citra juga bisa digunakan untuk merebut kekuasaan. Dalam politik muncul ide untuk mencitrakan sosok kepemimpinan sebagai sesuatu yang baik tanpa harus mengoreksi terlebih dahulu sejauh mana citra tersebut bukan sekadar imajinasi.

Dalam pencitraan, yang kita pahami adalah bahwa orang yang digambarkan selalu sebagai pribadi yang mampu mengatasi segala-galanya. Ia bagaikan Supermanyang mampu terbang tinggi dan Spidermanyang selalu menjadi pahlawan. Ia dicitrakan selalu bisa mengatasi segala kesulitan yang terjadi.

Di sisi lain, hal ini sangat berbahaya bila citra itu tidak mewujud dalam praktik sesungguhnya dan semata-mata berhenti sebagai khayalan. Rakyat sejauh ini hanya berkhayal memiliki negara yang bebs korupsi. Bermimpi memiliki pemimpin ”Ratu Adil” yang bisa melindungi dan menjaga martabat kehidupannya. Semuanya hanya khayalan dan mimpi.

Bermimpi Bebas Korupsi

Akhir-akhir ini publik gundah, masih adakah minat kekuasaan untuk memberantas korupsi ini secara sungguh-sungguh? Perlu ditegaskan bahwa pemerintahan yang bersih bukan sekadar citra dan pencitraan. Pemerintahan yang bersih mengandung makna yang sangat mendalam dan mendasar. Ini menyangkut substansi.

Kita belum sampai pada proses inti ”pemerintahan yang bersih” itu. Ketidakseriusan dalam memberantas korupsi berarti juga mengkhianati semangat konstitusi yang di dalamnya tercantum cita-cita masyarakat yang adil dan makmur serta cerdas bangsa.

Cita-cita itu merupakan dasar untuk memerangi korupsi karena dengan korupsi membawa bangsa ini pada kebangkrutan. Bangsa ini harus diselamatkan karena sudah berada di ujung tanduk kehancuran karena korupsi.

Dalam perjalanan memberantas korupsi yang sudah mendarah daging, selalu terdapat tarik-menarik khususnya dari aspek penegakan hukum berhadapan dengan kekuasaan. Hukum yang sering diintervensi dengan pola-pola barter politik pada akhirnya tidak akan pernah bisa memberantas korupsi secara sungguh-sungguh.

Korupsi begitu dekat dengan politik. Bahkan, karena korupsi adalah penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan kepentingan pribadi maka korupsi paling sering dilakukan karena adanya dukungan kekuasaan politik yang dimiliki pelaku.

Akibat demikianlah sudah seharusnya penanganan kasus-kasus korupsi dijauhkan dari intervensi politik agar ia menghasilkan keputusan hukum yang netral dan tidak memihak. Karenanya, aparat penegak hukum tidak boleh memiliki loyalitas dan pemihakan kepada pihak manapun, terutama penguasa.

Namun, idealitas semacam di atas bukan merupakan sesuatu yang mudah dilaksanakan. Bahkan, boleh dikatakan idealitas semacam itu hanyalah mimpi. Karena korupsi dilakukan di aras politik dan hukum kerap tunduk pada penguasa politik suatu zaman, pemihakan keadilan sering kali tidak berimbang.

Intinya, mereka yang berada dan memiliki jalur atau akses kekuasaan kerapkali mendapatkan situasi menguntungkan dari proses hukum yang terjadi. Ada yang mengatakan penegakan hukum model “belah bambu”, satu diangkat satu diinjak.

Kembali pada upaya pelemahan pemberantasan korupsi, kembali harus dingatkan kepada semua pihak agar tidak main-main dalam agenda ini, sebab rakyat sudah begitu muak dengan korupsi.

Kerisauan seperti ini sudah semestinya mendapatkan respons aktif pemerintah, bukan dalam bentuk pencitraan semata. Rakyat membutuhkan realisasi dari janji-janji manis pemberantasan korupsi. Ini karena korupsi hanya bisa ditangani dengan baik apabila terdapat komitmen kekuasaan yang dapat dibuktikan dan diukur dengan nyata.

◄ Newer Post Older Post ►