Jumat, 14 September 2012

“Musuh”


“Musuh”
Mudji Sutrisno SJ ;  Guru Besar STF Driyarkara dan UI, Budayawan
SINDO, 14 September 2012



Judul di atas ditaruh dalam tanda petik, mengapa? Karena pengertian dan posisi yang Anda tempatkan pada orang lain sebagai lawan Anda sebenarnya menjadi ”relatif” bila ditaruh dalam dinamika hidup yang makin mendalam, membatin maka makin Anda akan mudah tersenyum bila ”musuh” Anda sedang menghabiskan energi untuk melawan Anda. 

Untuk contoh pertama ini dirumuskanlah pernyataan bahwa ”musuh” adalah ”teman negatif” atau kawan yang tertunda. Pola pikirnya sebagai berikut: Dalam dinamika perjalanan hidup Anda posisi dialektika berpikir tesis ketika ditantang oleh ”antitesis”, maka justru membuahkan sintesis.

Artinya, manakala Anda bisa melihat lontaran atau kecaman kritik dari musuh Anda dan Anda pakai untuk perkembangan pola pikir dan pertumbuhan kedewasaan batin Anda, maka Anda akan mudah tersenyum karena secara langsung dan terutama tidak langsung, si musuh Anda mendewasakan Anda dan mematangkan bagian yang dikritiknya.

Ini alasan tanda petiknya judul ”Musuh” yang pertama. Alasan kedua, dalam praxis yang saya selalu ingat adalah ungkapan kreatif rekan Putu Wijaya, teaterawan, pekerja budaya, aktor, yang ketika diwawancara wartawan mengenai bagaimana sikapnya bila ide, pikiran Putu Wijaya dicontek dan dipakai orang lain serta-merta? Jawabannya adalah, ”Silakan, kalau yang dicontek 10, maka saya masih punya 100 bahkan 1.000 ide kreatif lagi.”

Di sini posisi ”musuh” ditanggapi kreatif barangkali karena ranah Bali yang memang kreatif selalu memuliakan kehidupan dan seniman-seniman tradisonal zaman dahulu tanpa perlu menonjolkan diri sebagai pemangku sah karya tetap berkarya di belakang panggung ketika karya bersama menjadi nilai komunalnya.

Namun untuk saya yang menarik adalah posisi menaruh lawan atau musuh justru bukan sebagai pertarungan habis-habisan berdarah-darah dalam arena kurusetra, melainkan dalam logika hidup yang tidak hitam putih, kawan versus lawan tetapi selalu ada kain poleng dalam ekspresi hitam diikuti putih dan seterusnya.

Kekuasaan dalam gelegak mau menghancurkan musuh dalam will to power misalnya dapat dilihat dalam usulan hak mengajar di sebuah padepokan kesenian yang memiliki mahaguru-mahaguru kesohor, lalu dengan licik diakali melalui pokilrasionalisasi,diberi bentuk, dibagi dalam garapan bersama sebuah kursus.

Inti yang jujur sebenarnya si musuh ingin dihancurkan, tetapi dengan kemasan seakan digarap bersama lalu dijadikanlah sebuah tema bersama pun dengan memperalat secara pokil atas nama maha guru licik. Namun yang disasar sebagai musuh bahkan menanggapi dengan senyuman kehidupan matang batin lantaran justru tema keindahan itu kini dipelajari bersama-sama, distudi bersama yang selama ini dilupakan untuk padepokan yang mau menyaji nalar benar, baik dan nalar indah.

Dengan kata lain ”instead of” justru sebagai ganti diolah sendiri oleh yang mau ”ditaklukkan”, kini ide itu menjadi ide bersama yang meluaskan wawasan lebih banyak pikiran dan lebih banyak nuansa.

Dari dua paparan mengenai posisi musuh di depan, langsung muncul pertanyaan mendalam: darimana gelegak mau menghancurkan itu dirasionalisasi? Maksud rasionalisasi adalah membenarkan diri dengan argumentasi yang dibenar- benarkan secara rasional, tetapi sebenarnya intinya busuk karena hasratnya berasal dari death culture atau thanatos-nya Freud sebagai hasrat yang selalu mau membunuh kehidupan.

Dari mata ganti mata dan gigi ganti gigi dilanjutkan dengan nyawa harus diganti nyawa. Bila demikian naluri balas dendam sebagai sumber mengapa Drupadi bersumpah di saat perang Bharatayudha nanti ia akan keramas dengan darah Dursasana ketika rasa malunya dicabik-cabik karena ia dijadikan taruhan oleh Yudhistira.

Lalu pemaknaan dan kata ”musuh” sebagai penanda sebenarnya mengalami metamorfosisnya tahap demi tahap sejalan dengan tingkatan keadaban manusia dari situasi naluri liar hasrat untuk survival yang biadab menuju keadaban dalam proses menjadi beradab karena sadar diri refleksi rasionalitas dan kebangunan pencerahan kesadaran . Ketika masuk dalam konteks budaya, di sana orang harus tajam melihat unsur pokok dari budaya yaitu ”nilai”.

Nilai merupakan sesuatu yang dipandang berharga oleh orang atau kelompok serta dijadikan acuan tindakan dan pemakna/pengarti arah hidup. Di sini dalam konteks kebudayaan, ditandailah dimulainya peradaban saat manusia menghadapi situasi sulit yang menantangnya untuk mengambil sikap kepada sesama sebagai ”musuh” yang bersaing memperebutkan sumber-sumber hidup, lalu harus dilenyapkan atau kawan seiring untuk hidup bersama dalam determinasi diri demi kelangsungan hidup.

Keadaan sosialitas yang saling mengerkah menghancurkan agar bisa tetap hidup oleh Thomas Hobbes dinyatakan dalam kondisi manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).Di sini sesama manusia adalah musuh yang harus dihancurkan dalam rebutan kelangsungan hidup seperti serigala melawan serigala.

Tapi Driyarkara dengan mendasar sesama manusia sebagai ”kawan” karena sama-sama ciptaan Allah yang sama-sama menghayati hidup di dunia ini melawan tesis Hobbes dengan homo homini socius, manusia adalah kawan bagi sesamanya menuju tujuan hidupnya. Apakah makna ”musuh” sebagai kawan negatif bernuansa dan dihayati di sini?

Sekali lagi, apakah yang membuat perubahan dari model hidup nyawa ganti nyawa menjadi sesama kawan dalam ziarah hidup? Religi Kristiani menyumberkan peradaban ”cintailah musuhmu dan cintailah sesamamu seperti dirimu sendiri”. Dan laku tindak ini bersumber pada Allah yang mencipta dalam kasihNya manusia se-citra, menurut gambarNya (imago Dei). Yang perempuan citra ayu Allah, yang pria citra agung-Nya.

Saudara-saudari muslim menyumberkan pula hormat pada sesama dan cinta ke sesama karena sama-sama khalifatullah—khalifah Allah. Jadi ketika terminologi ”musuh” sebagai yang harus disingkirkan menjadi contoh perilaku Kristiani, di sanalah pertanyaan tragis dan eksistensialnya menggugat keras-keras: Kristianikah ia? Atau agamiskah ia apabila intoleran kepada sesamanya?

Dalam ranah simbolik muncul pula ungkapan ”musuh dalam selimut” alias menikam dari belakang seperti Brutus kepada Caesar, seperti Judas kepada Jesus. Merangkum paparan-paparan di depan, ketika menjadikan orang lain sebagai musuh, sebenarnya di sana temuan praxiskekuasaan yang menaruh orang lain dalam posisi lawan, lalu ditaklukkan dan dihalangi untuk tumbuh. Relasi kekuasaan inilah yang merasionalisasikan tema-tema humanis,edukasi dan suci-suci untuk menundukkan sesamanya dalam posisi yang dikalahkan.

Tapi di sini pula kisah kreatif Putu Wijaya di depan terngiang lagi: secara fisik, secara teritorial dan dalam catatan penjaranya ”Catatan Subversif Mochtar Lubis”, badan bisa dipenjara atau ditaklukkan, tetapi kreativitas budi, pikiran dan batin tetaplah merdeka. Dan kemerdekaan jiwa yang kreatif ini terbukti membuahkan tetralogi pulau penjara isolasi Pulau Buru untuk Pramoedya Ananta Toer dengan anak-anak emas sastranya Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca, semuanya terbit 1980–1988.

Siapakah musuh terbesar kita sebenarnya?Jawabannya renung batin menegaskan diri kita sendiri dengan hasrat naluri serta budi rasional serta nurani kita. Sudahkah religi dan iman religiositas kita mampu menghadapi ”musuh utama” ini: diri sendiri?
◄ Newer Post Older Post ►