Kamis, 13 September 2012

Merosotnya Daya Saing


Merosotnya Daya Saing
Rhenald Kasali ;  Ketua Program MM Universitas Indonesia 
SINDO, 13 September 2012


Setiap kali mengalami penurunan daya saing, bangsa-bangsa besar selalu ribut. Demikianlah ketika peringkat daya saing global Indonesia turun dari posisi ke- 46 ke urutan ke-50. Beda benar dengan negara-negara yang selalu berada di peringkat paling bawah: Haiti, Siera Leone, dan Burundi.

Seperti tak bertenaga dan tanpa daya, dari tahun ke tahun diam di sana. Keributan-keributan kecil tentu bukan hanya menjadi milik Indonesia. Di televisi saya melihat sejumlah diskusi yang menyebutkan walaupun peringkat Indonesia turun, investasi di bidang-bidang usaha tertentu (khususnya perkebunan) naik terus. Diskusi-diskusi baru berkisar seputar nilai investasi, belum pada produktivitas.

Demikian pula belum ada yang mempersoalkan mengapa Malaysia lebih menarik bagi Tony Fernandes untuk menjadi home-based Air Asia ketimbang Indonesia yang jelas-jelas market-nya jauh lebih besar. Demikian pula mengapa Lion Air lebih tertarik menggandeng Malindo untuk menjadi hubnya ke bisnis penerbangan internasional. Kalau ini dimasukkan pasti akan lebih menarik.

Dari Thailand Thanong Khanthong menulis pendapatnya di harian The Nation. Ia mempersoalkan mengapa peringkat Thailand (peringkat ke-38) bisa dinilai di bawah negeri yang tengah kesulitan dilanda ketidakpercayaan, Spanyol (peringkat ke-36). Spanyol baru saja meminta bailout fund sebesar 100 miliar euro. Kondisi ekonomi Spanyol sedang amat berat, sama seperti kondisi ekonomi Thailand saat dilanda krisis ekonomi di tahun 1997.

Demikian pula bagaimana menjelaskan Rusia yang menguasai bisnis energi senilai USD 2 triliun hanya menduduki posisi ke-67 dan India hanya di posisi ke-59. Bagaimana kita bisa menerima daya saing Israel (peringkat ke-26) lebih tinggi dari China (29) yang menguasai cadangan devisa terbesar di dunia? Namun satu hal yang perlu dipahami oleh pemimpin Indonesia, ekonomi dan bisnis sudah tidak dapat lagi dipisahkan dan untuk membangun ekonomi atau kesejahteraan diperlukan pendekatan lebih dari sekadar kebijakan ekonomi makro.

Kultur Ekonomi vs Kultur Bisnis 

Meski bisnis merupakan bagian dari kegiatan ekonomi, secara keilmuan semakin hari keduanya bergerak menurut landasan berpikir yang berbeda. Bangsa-bangsa yang unggul adalah bangsa yang mampu mengintegrasikan keduanya secara simultan. Yang satu menjaga kestabilan pada level negara, yang satu mengurus dunia usaha. Cara berpikirnya memang berbeda, tetapi begitu disatukan, hasilnya bisa menjadi produktivitas.

Dalam hal inilah Indonesia perlu meninjau kembali konsep pembangunan ekonomi yang dibebankan kepada Bappenas.Bappenas tidak bisa bekerja tanpa prinsip-prinsip strategic management karena perekonomian Indonesia telah berubah menjadi sebuah sistem yang kompleks. Indonesia telah berubah menjadi sebuah kekuatan besar dengan aktor yang amat beragam dengan pola pikir, cara bekerja atau kepentingan yang berbeda-beda dalam spektrum yang sangat luas.

Tanpa strategic planning yang baik, apa yang telah dituangkan belum tentu dijalankan dan apa yang dijalankan belum tentu memenuhi apa yang diinginkan. Kalau bukan Bappenas, siapa yang memegang peran strategic planning di negeri ini? Kalau kita mengintip cara yang ditempuh bangsa-bangsa yang unggul, yang selalu menduduki peringkat atas, yang meski dilanda krisis tetap optimistis menatap hari esok dan cepat kembali, kita bisa menyaksikan peran strategic planning yang begitu intensif.

Negara bukan hanya sibuk mengurusi dirinya sendiri, melainkan bekerja sama dengan dunia bisnis agar mampu menghasilkan kegiatan ekonomi yang lebih bernilai tinggi,lebih mampu menciptakan kesejahteraan melalui lapangan pekerjaan. Swiss dan Singapura misalnya menduduki peringkat kesatu dan kedua, tetapi secara faktual bukanlah negara yang kaya dengan sumber daya alam.

Namun mereka bisa keluar dari perangkap keterbatasanketerbatasan, keluar dengan rangkaian strategi yang produktif. Tentu saja bukan tanpa masalah,tetapi negara yang dikelola dengan strategic planning yang baik berhasil mengambil alih keresahan yang dirasakan warganya (ketidakpastian) ke dalam program-program yang adaptif dan mampu menjadi pemenang. Pembangunan ekonomi memiliki cara pandang tersendiri yang berpengaruh luas dalam pilihan-pilihan yang diberikan.

Bila paradigma ekonomi melihat kekayaan dari segi sektor dan komoditas, strategic planning melihatnya dari kacamata segmen dan brand. Tengok saja judul-judul berita koran-koran di berbagai negara. Bila suatu negara perekonomiannya masih sederhana dan konsep pembangunannya masih economic based, judul-judul berita ekonomi selalu tentang sektor (seperti pertanian, pertambangan, keuangan) dan komoditas (beras, karet, kopi, emas, dan seterusnya).

Adapun di negara-negara yang perekonomiannya memiliki keunggulan daya saing, judul-judul berita sudah bukan lagi sektor dan komoditas, melainkan segmen dan brand. Pokoknya segala nama perusahaan dan merek sudah tak bisa dihindari oleh media. Di Korea Selatan selalu ada berita dengan judul Samsung, Hyundai atau Daewo. Di China ada judul Cnoock atau Cinopec. Demikian pulalah kalau Anda ke Malaysia, Singapura atau negara-negara di Eropa Barat dan Amerika Serikat.

Bahkan di negara-negara itu jarang sekali Anda temui judul-judul berita ekonomi yang mengedepankan sektor dan komoditas. Semuanya berbicara nama, yaitu nama economic powerhouse. Komoditas adalah hasil sumber daya alam yang nilai tambahnya belum diolah menjadi kegiatan ekonomi produktif. Bila panen raya terjadi, pasokan berlebih, harga akan turun dan kesejahteraan seluruh mata rantainya terganggu seperti yang sedang terjadi terhadap komoditas pertambangan di Kalimantan dan Sulawesi dewasa ini.

Sebaliknya, masyarakat yang lebih sophisticated  tidak lagi membeli kopi atau kakao. Mereka membeli Starbucks, Kapal Api atau Torabika. Silver Queen, Van Houten, Lindt, atau Godiva. Begitu suatu bangsa membangun merek, inovasi mulai bekerja, paten mulai bermunculan dan infrastruktur diperbaiki. Surat kabar pun tak malu-malu menjadikan nama itu sebagai judul berita. Itulah yang diukur dalam indeks-indeks daya saing yang menyangkut banyak hal.

Merek dan economic powerhouse memerlukan iklim usaha yang sehat sehingga kompetitif dan mampu menjalankan peran pendukung pemerintah sebagai job security.  Ekonomi berbasiskan merek berdampak luas,mulai dari reputasi, standardisasi, kualitas SDM sampai infrastruktur dan birokrasi. Itulah sebabnya perencanaan ekonomi tidak bisa hanya dibangun di atas landasan berpikir yang datar.

Perencanaan ekonomi perlu dibuat dengan manajemen modern yang sophisticated, dengan berupaya bersungguh-sungguh agar sumber daya alam Indonesia mampu menghasilkan merek-merek yang unggul dengan reputasi yang tinggi. Saat ini masih banyak terjadi pengusaha-pengusaha nasional yang memindahkan kantor operasionalnya ke luar negeri dan mengoperasikan global brand-nya dari negara tetangga.

Basis produksinya yang bersifat commodity-based ditempatkan di Sumatera atau Kalimantan, tetapi packaging, marketing dan risetnya ada di negara lain. Merek-merek global ini tersebar luas di berbagai pasar dari Afrika hingga Amerika Latin dan di sana sama sekali tidak tertulis kalimat “Made In Indonesia”. Jadi saya pikir Indonesia perlu cara berpikir baru dengan mengedepankan logika-logika bisnis untuk memajukan kesejahteraannya.

Indonesia perlu membangun puluhan powerhouse ekonomi yang mandiri, yang mampu menarik 52 juta sektor informalnya ke dalam sistem pertarungan global yang lebih bermartabat. Untuk itu, logika modern manajemen dan strategic planning harus ada dalam pengorganisasian negara. 

◄ Newer Post Older Post ►