Kamis, 06 September 2012

Merenungkan Krisis Air Global

Merenungkan Krisis Air Global
Thomas Koten ;  Direktur Social Development Center
MEDIA INDONESIA, 05 September 2012


BELAKANGAN ini menyeruak berita di media massa tentang sejumlah daerah di Tanah Air yang dilanda kekeringan. Air sungai, bendungan, dan waduk terus menyusut drastis. Akibatnya, irigasi ke lahan-lahan pertanian pun menipis. Ujungnya, kecemasan dan penderitaan pun mengimpit masyarakat.

Jadi, jika dikerling secara lebih luas, masalah kekeringan yang dialami masyarakat Indonesia sebenarnya dialami juga oleh masyarakat di banyak negara di dunia. Kekeringan yang meluas pun telah melahirkan apa yang disebut sebagai krisis air global. Karena itu, pada peringatan Hari Air Sedunia tahun ini, yang digelar beberapa bulan lalu, Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/ FAO) mengangkat tema Air dan ketahanan pangan.

Tema yang sangat penting itu hendak menunjukkan, pertama, ada relasi yang saling terkait antara kebutuhan air dan pangan bagi kehidupan manusia. Kedua, Bumi sesungguhnya sedang dilanda fenomena yang disebut krisis air. Tema itu pun diambil dengan bertolak dari latar belakang fenomena kekeringan yang terjadi secara meluas di berbagai belahan dunia, dengan Amerika Serikat yang paling parah, terhitung dalam 50 tahun terakhir.

Untuk melihat secara lebih gamblang lagi, masalah krisis air di Bumi ini dapat dikatakan cukup aneh, mengingat Bumi dicitrakan sebagai sebuah satelit yang diselimuti air. Akan tetapi, ternyata 97,3% berupa air laut yang tidak bisa dikonsumsi makhluk hidup dan hanya sekitar 3% yang berupa air tawar. Terperinci lagi, air tawar yang tersedia di sungai, danau, dan air tanah untuk dimanfaatkan manusia hanya 0,5%. Air tawar yang memadai untuk konsumsi hanya 0,003% (Jeffreis dan Mills, 1996).

Indonesia yang meski dicatat sebagai negara terkaya keempat di dunia dilihat dari total sumber daya air yang terbarui setelah Brasil, Rusia, dan Kanada, toh tatkala musim kering tiba, krisis air terjadi juga di banyak daerah di Tanah Air, yang telah menimbulkan persoalan yang semakin serius. Pemerintah pun kerap mengatakan selalu melakukan pendekatan, strategi, dan teknologi guna mengatasi krisis air. Namun, ternyata terjadinya kekeringan yang begitu parah dari tahun ke tahun menunjukkan pendekatan, strategi, dan teknologi yang diaplikasikan selama ini tidak menyentuh esensi persoalan kekeringan secara utuh.

Krisis air global

Krisis air yang kerap terjadi dengan intensitas yang cukup mengkhawatirkan akan membuat bangsa ini ke depan semakin sulit memperoleh air. Jumlah air yang bisa diperoleh per kepala akan menurun drastis pada masa-masa yang akan datang. Padahal, realitas m menunjukkan kebutuhan air antarsektor terus meningkat baik secara kuantitas, kualitas, maupun kontinuitasnya. Itu sangat berpengaruh bagi semua aspek kehidupan manusia, bahkan makhluk hidup lainnya, sebagai efek langsung dari krisis air itu.

Khususnya bagi penguasa negeri ini, kekeringan dan krisis air yang terjadi setiap tahun tidak bisa dianggap sepele. Sejarah mencatat dampak kekeringan yang berkepanjangan pada 1965 dan 1997 telah memicu runtuhnya pilar kekuasaan pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh penguasa saat itu. Fondasi kekuasaan yang dibangun kukuh seolah tidak berdaya dan runtuh akibat kekeringan berkepanjangan dengan dampak krisis air yang luar biasa besar.

Bangsa-bangsa di dunia pun tidak bisa menganggap sepele kekeringan dengan berakibat langsung pada krisis air ini. Itu sudah lama pula diingatkan para ahli. Prof John Beddington, Chief Scientific Advisor untuk Pemerintahan Kerajaan Inggris, mengatakan peningkatan jumlah populasi dunia akan menghasilkan dampak perfect storm (bencana yang sempurna) berupa krisis pangan, energi, dan air pada 2030. Karena pada saat itu, jumlah penghuni Bumi mencapai 8,3 miliar jiwa. Dia mengatakan situasi tersebut jauh lebih parah dari krisis keuangan global yang kini dialami merata di seluruh dunia.

Dalam perhitungan Bed dington, pakar bidang biologi populasi terapan di Imparsial College, London, kebutuhan global yang demikian besar terhadap air akan memunculkan krisis pada 2030 dengan dampak yang mengerikan. Dia menghitung, dengan bertolak dari jumlah penghuni Bumi yang demikian besar, kebutuhan pangan dan energi akan naik 50% pada 2030 dan kebutuhan air baku (fresh water) naik 30%. Maka, krisis air terjadi secara menyebar alias mengglobal di Afrika, Eropa, dan Asia.

Krisis air juga sudah lama diperingatkan FAO. Karena itu, hampir sekitar 20 tahun yang lalu, dalam peringatan Hari Pangan Sedunia, FAO mengangkat pula tema Air untuk kehidupan dengan memberi penekanan pada manajemen air secara global. Pertim bangan mereka ialah saat ini sudah hampir 500 juta orang mengalami kekurangan air, yang terjadi terutama di negara-negara Afrika Utara, Timur, dan Selatan, serta negara-negara di Timur Tengah. Pada 2030 nanti, jumlah tersebut diproyeksikan akan meningkat menjadi sepuluh kali lipat.

Buku Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable Li ving (IUCN, ANEP, WWF, 1991) menguraikan penggunaan air selama tiga abad terakhir naik 35 kali lipat. Dari tahun ke tahun, itu akan terus naik dengan kelipatan yang sangat signifi kan. Jika penduduk dunia diproyeksikan akan menjadi 10 miliar jiwa pada 2050, dengan pola penggunaan air yang seperti sekarang, suplai air pada tahun tersebut akan menjadi sangat tidak memadai. Yang paling mengerikan terjadi pada 9 negara dari 14 negara di Timur Tengah. Populasi di negara-negara yang langka air itu meningkat dua kali lipat selama 25 tahun, padahal tambahan suplai air tidak dimungkinkan lagi.

Tidak mengherankan jika negara-negara di Timur Tengah seperti Ethiopia, Sudan, dan Somalia ditakdirkan untuk menjadi negara-negara pengimpor pangan dalam jumlah besar. Mereka harus mengompensasikan sejumlah devisa untuk membayar ketergantungan terhadap negara lain dalam hal pangan. Sulit bagi mereka menjadi maju seperti negara-negara lain di dunia jika kebutuhan pangan dalam negeri kurang. Tidak berlebihan pula bila kelaparan selalu menghantui negara-negara itu. Tentu keadaan tersebut berbeda dengan negara-negara lain di Timur Tengah seperti Arab Saudi yang memperoleh devisa dari ekspor minyak dengan alokasi berapa pun.

Bahan Renungan

Sulit dibayangkan jika krisis air terus terjadi secara mengglobal. Ingat bahwa air merupakan determinan penting kelangsungan kehidupan, dus menjadi faktor penentu tingkat kemakmuran, atau metafora kemakmuran ekonomi. Karena itu, kemakmuran dan kesejahteraan akan terganggu jika kebutuhan air terganggu.

Dalam konteks global, hubungan antara air, produksi pangan, dan kelaparan seperti yang telah digambarkan sungguh terlihat nyata. Adapun di Indonesia, krisis air akibat ke keringan tidak jarang menimbulkan gagal panen karena puso sehingga selalu mengundang implikasi hukum ‘besi’ pasar, kenaikan harga bahan pangan. Sepintas, hukum itu akan berpihak kepada para produsen bahan pangan, seperti petani dengan kompensasi kenaikan harga. Namun tragisnya, tidak hanya mengalami kerugian besar karena banyak yang mengalami gagal panen, para petani tampaknya seperti mengalami kerugian dobel karena kompensasi kenaikan harga itu hanya dinikmati para tengkulak pangan. Itulah yang harus direnungkan sebagai efek serius di balik krisis air.

Oleh karena krisis air tidak hanya terjadi nun jauh di Timur Tengah, tetapi juga di negeri ini, dengan tingkat krisis yang semakin memprihatinkan, membuat kebijakan penyelesaian persoalan kekeringan untuk mencegah krisis air yang semakin parah harus segera dilakukan pemerintah kita, tidak boleh lagi sekadar wacana penghias bibir.

Masyarakat pun harus digerakkan untuk lebih mencintai lingkungan hidup dan merawat sumber air sambil membangun pola hidup hemat air. Lebih dari itu, etika lingkungan harus dibangun dan dikembangkan. Mengelola sumber daya alam dan sumber daya air dengan baik atas dasar etika lingkungan merupakan misi kemanusiaan yang mulia. Jadilah manusia yang memuliakan alam dan menghormati air sebagai sumber kehidupan setiap makhluk hidup di Bumi.

◄ Newer Post Older Post ►