Jumat, 21 September 2012

Menuju Jakarta yang Tak Berkumis & Terkotak-kotak


Menuju Jakarta yang Tak Berkumis & Terkotak-kotak
Jeffrie Geovanie ;  Sekretaris Majelis Nasional Partai NasDem
SINDO, 20 September 2012


Judul tulisan ini terkesan absurdkarena tidak mengharapkan hadirnya Jakarta yang “berkumis” yang diidentikkan dengan pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (Foke-Nara) atau Jakarta yang “terkotak-kotak” yang diasosiasikan dengan pasangan Joko Widodo- Basuki Tjahaja Purnama (Jokowi-Ahok).

Padahal, dua pasangan inilah yang bertarung dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran kedua yang berlangsung hari ini. Tulisan ini sama sekali bukan mengajak golput dengan tidak memilih antara dua pasangan. Karena tidak “berkumis” yang dimaksud bukan untuk Foke-Nara, tapi merujuk pada akronim “berantakan, kumuh, dan miskin” yang pernah diperkenalkan pasangan Hendardji-Ariza Patria, cagub-cawagub independen yang kalah di putaran pertama, dan tidak “terkotak-kotak” juga bukan merujuk pada warna baju khas pasangan Jokowi- Ahok, melainkan sebagai ajakan agar Jakarta diperuntukkan untuk semua, bukan untuk pemeluk agama tertentu, etnik tertentu, atau golongan tertentu.

“Berkumis”

Saya setuju dengan ungkapan bahwa wajah sebagian kota Jakarta yang kasat mata saat “berantakan, kumuh dan miskin” (berkumis). Berantakan terutama dilihat dari kondisi transportasinya yang macet di segala lini, pengelolaan tata kotanya yang semrawut, taman dan ruang-ruang hijau yang terus berkurang karena tergerus oleh pertumbuhan apartemen-apartemen dan mal-mal.

Dari kondisi transportasi, kemacetan di Jakarta boleh dikatakan paling parah jika dibandingkan dengan kota-kota besar lainnya di Indonesia bahkan di dunia. Kemacetan terutama dipicu oleh terus meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang rasionya jauh melampaui pertambahan ruas dan atau pelebaran jalan. Jika tidak mampu diatasi secara signifikan, pada 2014 Jakarta diperkirakan akan macet total, artinya jalan raya tak lagi bisa digunakan.

Selain soal transportasi, buruknya wajah Jakarta juga ditandai dengan semakin banyaknya wilayah-wilayah yang dipenuhi “gepeng” (gelandangan dan pengemis) yang pada umumnya menempati bantaran sungai, kolong-kolong jembatan, dan di tempat-tempat rawan yang seharusnya tidak layak untuk pemukiman. Pola hidup sebagian warganya yang tidak sehat seperti membuang sampah dan kotoran tidak pada tempatnya membuat Jakarta semakin kumuh dan mudah dilanda banjir pada saat musim hujan, dan mudah terkena bencana kebakaran pada saat musim kemarau.

Perihal kemiskinan, Gubernur Fauzi Bowo mengklaim Jakarta sebagai kota dengan penduduk miskin terendah di Indonesia, yakni kurang dari 4% dari seluruh jumlah penduduk. Jika mengacu pada data Biro Pusat Statistik (BPS), bisa jadi klaim ini benar. Tapi, jangan lupa, biaya hidup di Jakarta jauh lebih mahal dibandingkan dengan biaya hidup di kota-kota lain. Kesenjangan kaya-miskin juga sangat lebar. Dengan demikian, apa yang terbaca dalam statistik bisa berbeda jauh dengan yang terjadi di lapangan.

Milik Semua

Menurut data BPS (2010), penduduk Jakarta terdiri atas etnik Jawa 35,16%, Betawi 27,65%, Sunda 15,27%, Tionghoa 5,53%, Batak 3,61%, Minangkabau 3,18%, dan sisanya berasal dari berbagai etnik yang mempresentasikan etnik-etnik yang ada di Tanah Air. Hampir seluruh etnik yang ada di Indonesia terwakili oleh penduduk Jakarta. Dari sisi keberagaman pemeluk agama, penduduk Jakarta terdiri atas penganut Islam 8.493.410 jiwa, Kristen 867.416 jiwa, Katolik 407.650 jiwa, Buddha 393.213 jiwa, Hindu 21.037 jiwa,Konghucu 596 jiwa, dan aliran kepercayaan 176 jiwa.

Dalam setiap agama dan aliran kepercayaan, masih terdapat pula mazhab-mazhab yang berbeda dan semuanya ada di Jakarta. Data-data statistik ini membuktikan bahwa Jakarta merupakan miniatur Indonesia baik dari segi ras (etnik) maupun agama. Jadi tidak relevan jika Jakarta diidentikkan dengan kekuatan etnik tertentu dan atau agama tertentu.

Jika kita merujuk pada kondisi Jakarta puluhan tahun silam, mungkin pengidentifikasian itu ada benarnya, tapi kini Jakarta telah menjadi kota metropolitan yang terbuka, yang setiap saat didatangi penduduk dari berbagai daerah untuk menetap dan mencari kehidupan di Jakarta. Proses urbanisasi ini terus bertambah dari tahun ke tahun tanpa ada pengendalian yang berarti.

Pemimpin yang Dibutuhkan

Melihat problematika yang terjadi, siapakah yang dibutuhkan untuk memimpin megacity ini? Pertanyaan inilah yang harus dijawab warga Jakarta hari ini. Dalam menentukan siapa yang lebih layak dipilih antara Foke-Nara atau Jokowi-Ahok, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Pertama, tentu saja dengan melihat tawaran program dari masing-masing kandidat. Jika dilihat dari program yang diajukan, antara kedua pasangan calon relatif memiliki konsep yang sama-sama bagus,terutama dalam mengatasi kemacetan, banjir, dan pengentasan kemiskinan.

Tapi pada saat dipresentasikan di hadapan publik melalui debat yang disiarkan di televisi jelas sekali ada perbedaan: ada yang tampak pesimistis dengan mengungkapkan kalimat “bukan perkara gampang dan tak bisa diselesaikan dengan retorika” dan ada yang optimistis dengan mengatakan “semua bisa dilakukan dengan mudah”. Kedua, selain program,yang lebih penting adalah komitmen untuk merealisasikannya. Bagaimana kita bisa mengukur komitmen sementara keduanya masih sama-sama calon? Tentu dengan melihat rekam jejak masing-masing.

Dalam konteks inilah saya kira sang petahana memiliki kelemahan.Mengapa program-program yang bagus itu baru direncanakan saat ini, sementara yang bersangkutan sudah memimpin Jakarta lima tahun lamanya. Barangkali ada di antara program-program itu yang sudah diajukan pada masa kampanye lima tahun lalu, tetapi menjadi sekadar janji yang tak direalisasi setelah terpilih. Sementara sang penantang, Jokowi-Ahok, adalah dua tokoh yang sukses memimpin daerah masing-masing. Kesuksesan Jokowi memimpin Kota Solo misalnya membuatnya terpilih kembali secara mutlak.

Maka wajar jika ada sentilan yang ditujukan kepada sang petahana bahwa jika benar-benar dianggap sukses memimpin Jakarta seharusnya ia bisa terpilih kembali dengan kemenangan mutlak. Ketiga, yang juga penting adalah adanya komitmen untuk menjaga keutuhan Jakarta sebagai kota metropolitan yang penduduknya beragam. Jika ada calon yang berkampanye dengan memanfaatkan agama atau ras tertentu sesungguhnya bisa dinilai sebagai bentuk pengkhianatan terhadap kemajemukan Jakarta.

Masih banyak faktor-faktor lain yang bisa dijadikan acuan dalam memilih, tetapi dengan ketiga hal di atas kiranya warga Jakarta sudah bisa menimbang, memilah, dan memilih siapa di antara kedua pasang calon yang lebih layak dipilih untuk memimpin Jakarta yang rumit dan majemuk ini hingga lima tahun mendatang.

◄ Newer Post Older Post ►