Selasa, 11 September 2012

Menjadikan Keistimewaan DIY Fenomena


Menjadikan Keistimewaan DIY Fenomena
J Kristiadi ;  Peneliti Senior CSIS
KOMPAS, 11 September 2012


Banyak kalangan menganggap, proses transformasi politik dewasa ini sudah tersesat menuju perburuan kekuasaan yang semakin anarkistis. Ironisnya, proses tersebut ditopang oleh partai politik yang seharusnya menjadi pilar demokrasi. Oleh karena itu, keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi mencerahkan karena menghadirkan sebuah fenomenon yang sebaliknya. Bermula dari kultur dan struktur aristokrasi Mataram, justru bertransformasi secara bertahap ke arah tumbuhnya demokrasi. Dinamika perjalanan sejarah telah memadukan glorifikasi nilai-nilai aristokrasi Mataram dengan keutamaan yang melekat dalam praktik demokrasi di DIY. Manunggaling kawulo gusti mampu menyinergikan kearifan aristokrasi dan spirit demokrasi.

Peristiwa itu semakin menemukan momentumnya karena bersamaan dengan semakin melorotnya reputasi parpol, rendahnya kepedulian pemerintah terhadap rakyat, kinerja pemerintahan yang amburadul, ketidakpedulian pemerintah terhadap masyarakat, wabah pandemi korupsi politik yang merasuk ke seluruh struktur kekuasaan, serta merosotnya integritas Komisi Pemilihan Umum di daerah. Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi semakin rendah. Demokrasi yang tinggal wadag (tubuh) tanpa roh akan sama dengan kematian itu sendiri. Kehidupan politik semakin suwung (hampa).

Tragedi politik ini hanya dapat diselamatkan dengan menanamkan dan menebarkan nilai-nilai budaya bangsa. Oleh sebab itu, budayawan mempunyai peran yang penting dalam lahan kehidupan yang paceklik kearifan dan kepatutan. Gerakan membudayakan dan memuliakan politik tidak boleh ditunda lagi. Oleh sebab itu, sangat diperlukan kehadiran banyak budayawan untuk memerangi buayawan-buayawan yang hampir melahap habis benih-benih peradaban yang memuliakan kekuasaan.

Terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY sebuah fenomenon yang tercecap oleh publik sebagai model dari proses perubahan politik yang berlandaskan kebebasan, tetapi dikendalikan oleh budaya luhur sehingga dapat mengerem lajunya anarki kekuasaan. Harapan semakin membuncah sejalan dengan kebijakan Kasultanan dan Kadipaten yang berkelimpahan (abundance mentality).

Sikap dermawan, antara lain, tecermin dalam kebijakan Kasultanan dan Kadipaten menggaji kepada desa, jumlahnya lebih dari 6.000, dengan tanah milik mereka selama puluhan tahun. Bahkan, tanah yang ditempati rakyat, seperti magersari, ngindung, dapat ”dialihkan” kepada pihak lain dengan transaksi keuangan tanpa satu sen pun uang masuk ke Keraton. Keraton memberikan keleluasaan bagi mereka untuk menguasai, tetapi tak memiliki.

Demikian pula tanah Kasultanan dan Kadipaten yang digunakan untuk fasilitas publik serta perkantoran tidak pernah dipungut kompensasi. Bahkan, kedua tokoh Ngayogyokarto tersebut selama puluhan tahun mempergunakan rumahnya sendiri (Keraton) sebagai kantornya dan tidak pernah menuntut pembangunan rumah dinasnya. Hal itu sangat berbeda dengan perilaku sementara kepala daerah yang memanfaatkan aji mumpung, membangun simbol-simbol aristokrasi baru dengan membangun rumah dinas layaknya istana raja.

Ketentuan lain dalam UU Keistimewaan DIY yang sangat bijak dan terpuji adalah agar Sultan Hamengku Buwono dan Adipati Paku Alam yang bertakhta bukan menjadi anggota parpol. Regulasi yang menempatkan kedua tokoh tersebut sebagai pengayom dan pelindung warga DIY. Tidak mustahil ketentuan tersebut sesuai harapan dan bisikan nurani keduanya. Hal itu sejalan dengan warisan luhur dan niat politik Kasultanan yang telah meleburkan demarkasi aristokrasi dan rakyat. Keadiluhungan, kewibawaan otoritas aristokrasi dipersembahkan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, kebijakan tersebut sangat didukung masyarakat Yogyakarta yang menganggap baju parpol adalah ageman yang terlalu sempit. Pakaian kedua tokoh itu harus longgar sehingga leluasa melakukan hal yang paling baik untuk kepentingan warga Yogyakarta.

Keikhlasan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX tidak menjadi anggota parpol juga membebaskan mereka dari pertarungan kepentingan politik yang sering kali sangat kejam. Mereka tetap dimuliakan sebagai tokoh yang dalam ungkapan lokal disebut satria-pinandito, kesatria (negarawan), tetapi sikap dan perilakunya memancarkan roh kebijakan layaknya seorang pendeta (pundit). Gagasan luhur itu sebaiknya dapat ditiru para politisi yang mempunyai kekuasaan dan selalu mengatasnamakan rakyat.

Namun, harapan keistimewaan DIY sebagai model transformasi politik masih memerlukan perjuangan sangat keras. Seluruh pemangku kepentingan harus dapat membuktikan, nilai-nilai adiluhung mampu membendung kecenderungan anarki kekuasaan, oligarki, dan dinasti politik. Oleh sebab itu, Sultan Hamengku Buwono X dan Adipati Paku Alam IX perlu tiwikromo (menggelar kesaktian), dengan dukungan warga Yogyakarta, mengusir para buto (raksasa) dan bekasakan (hantu, lelembut, dan sejenisnya) yang pasti tidak bosan memprovokasi para petualang politik dan penikmat kekuasaan mengambil alih proses peradaban politik yang sedang ditata.

Apabila berhasil, model ini akan menjadi fenomena yang meng-Indonesia. Ke depan, proses demokratisasi dilakukan dengan bertumpu pada nilai-nilai lokal yang luhur. Tidak harus seragam. Harapan tersebut sangat mungkin karena budaya luhur juga tersebar di seluruh Indonesia. ●
◄ Newer Post Older Post ►