Kamis, 06 September 2012

Menggagas Pendidikan Menengah Universal


Menggagas Pendidikan Menengah Universal
Sukemi ;  Staf Khusus Mendikbud Bidang Komunikasi Media   
SINDO, 06 September 2012


Dua pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 16 Agustus 2012 telah mengapresiasi rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) untuk mengupayakan secara bertahap program Pendidikan Menengah Universal (PMU) sebagai rintisan program Wajib Belajar 12 Tahun. 

Kita perlu menyambutnya dengan baik mengingat PMU sedikitnya memiliki tiga sasaran yang secara simultan bisa dicapai. Pertama, berkait dengan upaya pemberian akses seluasluasnya kepada masyarakat yang telah menyelesaikan pendidikan sembilan tahun (Wajib Belajar 9 Tahun) melalui upaya menaikkan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan menengah dari 70,5% pada 2010 menjadi 97% pada 2020.

Tanpa kebijakan PMU, skenario capaian sebesar APK 97% baru akan tercapai pada 2040. Capaian tanpa skenario PMU itu, jika dikaitkan dengan bonus demografi (demografic dividen) dari dependency ratio yang makin kecil pada periode 2010 sampai 2040, yang secara alamiah kini direngkuh Indonesia, akan terlewatkan begitu saja tanpa makna.

Karena itu, cara bijak menyikapinya salah satunya dengan memberikan pelayanan dan akses pendidikan seluasluasnya bagi penduduk usia sekolah. Dengan demikian, kelak pada waktunya,mereka dapat memberikan kontribusi maksimal bagi perjalanan bangsa ini. Sebagaimana disampaikan dalam pidato Presiden SBY, untuk mengoptimalkan pelayananpendidikan yang berkualitas dan terjangkau oleh seluruh rakyat, anggaran pendidikan terus ditingkatkan.

Dengan anggaran pendidikan yang terus meningkat tiap tahunnya, kita mendorong terjadinya reformasi pendidikan, utamanya dalam perluasan akses dan peningkatan kualitas di seluruh jenjang pendidikan. Dalam proses itulah,setelah kita menyelesaikan program Wajib Belajar 9 Tahun, kini diupayakan secara bertahap ke program PMU sebagai rintisan program Wajib Belajar 12 Tahun. Melalui PMU ke depan kita ingin anak-anak bangsa di seluruh penjuru Tanah Air dapat mengenyam pendidikan dasar dan menengah secara lebih merata dan berkualitas.

Cita-cita mulia mewujudkan program pendidikan menengah 12 tahun tentu harus dijalankan dengan memperhatikan kemampuan fiskal pemerintah pusat dan daerah.Pemerintah daerah provinsi perlu mengambil peran lebih besar dalam mendukung pembiayaan program ini. Bagaimanapun, pendidikan merupakan investasi jangka panjang.Kita harus optimistis, dalam 10 atau 20 tahun ke depan, anak-anak bangsa siap menyambut “Indonesia Emas”.

Argumen ini dikuatkan laporan data Statistik World Bank 2011 dan The Global Competitiveness Report 2010-2011 menyebutkan, lama sekolah (baca: PMU) berkorelasi positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Indeks (HDI). Lama sekolah pada laporan itu memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai PDB per kapita (koefisien korelasi 0,93). Demikian juga lama sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan nilai Global Competitiveness Indeks GCI (0,96).

Begitu juga hubungan lama sekolah dengan indeks pendidikan memiliki korelasi positif yang juga sangat tinggi (0,97). Bahkan lama sekolah memiliki korelasi positif yang sangat tinggi dengan IPM (0,99). Berkait dengan pemberian pelayanan dan akses pendidikan seluas-luasnya itulah gagasan PMU, sebagai tindak lanjut dari keberhasilan Wajib Belajar 9 Tahun, menjadi kata kuncinya.

Disparitas dan Vokasional 

Istilah universal diambil untuk membedakan pengertian wajib belajar yang sudah dijalankan pada jenjang pendidikan dasar 9 tahun.Pengertian universal adalah konsep yang umum digunakan oleh badan dunia (baca: Perserikatan Bangsa-Bangsa) untuk memberikan pelayanan umum kepada publik, tanpa harus diminta, yang biasa disebut dengan istilah public service obligation (PSO). Sebuah bentuk pelayanan yang jauh lebih mulia karena tidak perlu diminta tapi disediakan atau dijalankan.

Wajib belajar lebih mengacu pada sesuatu yang diamanatkan oleh undang-undang, berlaku untuk semua penduduk usia sekolah, sepenuhnya dibiayai pemerintah,dan sanksi bagi yang tidak mengikuti. Adapun pada PMU, pemerintah hanya memfasilitasi untuk menampung semua penduduk usia sekolah, tidak sepenuhnya ditanggung oleh pemerintah, serta tidak ada sanksi. Sasaran kedua PMU adalah memperkecil disparitas APK antardaerah.

Diakui dengan kondisi yang berbeda antarwilayah, baik menyangkut kondisi geografis maupun kemampuan sosial-ekonomi, distribusi APK pendidikan menengah kita masih sangat timpang antardaerah satu dengan lain. Sekadar menyebutkan contoh, di Jawa Timur (Jatim), Kabupaten Sampang, misalnya, meski APK Jatim sudah di atas rata-rata nasional 72,4%, di Kabupaten Sampang masih berada di kisaran 28,59% dan untuk mencapai target 97%, jika tanpa kebijakan PMU, baru akan tercapai pada 2078, sedangkan melalui PMU bisa dicapai pada 2025.

Untuk kasus seperti Kabupaten Sampang,sedikitnya ada 71 dari 235 kabupaten/kota yang mendesak untuk dilakukan intervensi positif berkait dengan distribusi APK yang timpang. Ketimpangan ini tidak boleh terjadi manakala kita menginginkan reformasi pendidikan, utamanya dalam perluasan akses dan peningkatan kualitas di seluruh jenjang pendidikan. Sasaran ketiga PMU adalah memperkuat pendidikan vokasional dengan menyeimbangkan komposisi SMA-SMK menjadi 40:60.

Ini penting dan bagian yang juga tidak terpisahkan dari keikutsertaan Kemendikbud untuk menyukseskan program Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Diakui, enam koridor pertumbuhan ekonomi yang disiapkan dalam MP3EI itu sesungguhnya bermakna pula pada bagaimana kita bisa menyiapkan SDM-SDM andal di bidangnya. Ini hanya dapat terpenuhi melalui jalur pendidikan, utamanya jalur pendidikan vokasional. Melalui PMU ini pula, ke depan kita berharap akan mampu mengubah struktur piramida ketenagakerjaan dengan tenaga kerja terampil dan terdidik.

◄ Newer Post Older Post ►