Kamis, 06 September 2012

Mencari Mutual Interest RI-AS


Mencari Mutual Interest RI-AS
Bantarto Bandoro ;  Dosen Universitas Pertahanan Indonesia  
SINDO, 06 September 2012


Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton berkunjung ke Indonesia pada 3–4 September lalu sebagai kelanjutan dari diplomasi internasional Amerika Serikat (AS) untuk memperkuat hubungan bilateralnya dengan Indonesia dan mencari informasi langsung dari Pemerintah Indonesia mengenai perkembangan terakhir di kawasan.

Kunjungan Clinton ke Indonesia awal September ini adalah kunjungannya yang kedua. Kunjungan Clinton yang pertama dilakukan tahun 2010 dan dilihat sebagai awal dimulainya pendekatan baru dan lebih segar terhadap hubungan internasional AS. Kunjungan Clinton kali ini terjadi dalam setting regional yang diwarnai oleh berbagai perkembangan yang memunculkan dimensi geopolitik, keamanan, dan geoekonomi maupun settingnasional yang antara lain diwarnai berbagai pandangan mengenai kehadiran AS di Indonesia.

Persoalan perpanjangan kontrak karya Freeport dan keamanan di Papua adalah dua isu yang hangat dibicarakan di tingkat nasional bersamaan dengan kunjungan Clinton ke Indonesia. Yang sebenarnya menarik untuk diamati di sini adalah bahwa kunjungan Clinton ke Indonesia kali ini terjadi ketika intensitas konflik Laut China Selatan cukup tinggi.

Dalam pernyataan persnya, Clinton memberi apresiasi kepada Indonesia atas usaha diplomatiknya untuk membantu mengurangi ketegangan yang terjadi di Laut China Selatan. Indonesia memang bukan pihak dalam konflik tersebut, tetapi ia memastikan bahwa AS memiliki kepentingan untuk menjaga stabilitas dan keamanan di Laut China Selatan. Dalam pernyataan persnya di Jakarta, Clinton mengatakan Pemerintah AS mendukung penyelesaian damai lewat dialog dan menentang keras cara-cara konfrontatif.

Shuttle diplomacy yang dilakukan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa beberapa waktu yang lalu ke negara-negara yang terlibat dalam konflik juga menunjukkan posisi Indonesia yang menghendaki agar cara-cara damai dan bukan kekerasan yang harus ditempuh oleh negara-negara yang memiliki klaim tumpang tindih di Laut China Selatan. Clinton mengatakan bahwa AS tidak akan ikut mengambil posisi dalam klaim wilayah yang terjadi Laut China Selatan.

Sepertinya sulit untuk tidak mengatakan bahwa AS tidak mengambil posisi dalam persoalan Laut China Selatan tersebut. Dalam beberapa kesempatanAS kerap mengambil posisi dan langkah-langkah yang juga ikut memanaskan situasi di kawasan Laut China Selatan. Dukungan AS kepada Filipina dan Vietnam misalnya begitu nyata ketika dua negara itu bersitegang dengan China akibat konflik di wilayah itu.

Clinton menghargai upaya diplomasi Indonesia agar code of conduct mengenai Laut China Selatan diterima semua negara yang terlibat dalam konflik itu, termasuk China. Ia percaya code of conduct tersebut akan berguna menjadi landasan penyelesaian sengketa lewat jalur dialog. Tapi kepentingan China di Laut China Selatan kelihatannya terlalu penting untuk dikorbankan hanya untuk menerima code of conduct tersebut.

Dengan kata lain, China memiliki reservasi-reservasi tertentu terhadap code of conduct yang ditawarkan itu,apalagi kalau sasaran akhir dari code of conduct itu adalah untuk mengekang manuvermanuver strategis China di kawasan Laut China Selatan. Dalam konteks isu Laut China Selatan,kunjungan Clinton ke Jakarta dan ke Brunei Darussalam,yang juga menjadi salah satu negara pengklaim di wilayah Laut China Selatan, memberikan kesan bahwa AS kini dalam proses memperkuat ASEAN dan membangun sebuah “klub”untuk menghadapi China dalam konflik di Laut China Selatan.

Perlu dicatat bahwa China kelihatannya lebih tertarik untuk melakukan negosiasi dengan negara masing-masing untuk menyelesaikan konflik itu daripada dengan ASEAN sebagai organisasi kawasan.Ini berarti bahwa upaya sekeras apa pun yang dilakukan Indonesia dan dengan dukungan AS sekalipun, hal itu tidak akan menggoyahkan posisi dasar China dalam konflik Laut China Selatan.China sejauh ini memberikan respons yang tidak begitu baik terhadap langkah AS mendekati sejumlah negara ASEAN terkait proses penyelesaian konflik di Laut China Selatan.

Isu lainnya yang muncul di saat Clinton berkunjung ke Indonesia adalah persoalan Freeport.Isu ini merupakan isu klasik dalam hubungan Indonesia- AS. Persepsi sebagian publik Indonesia mengenai Freeport adalah bahwa ia merupakan bagian dari strategi AS di Indonesia untuk menguasai sumber daya strategis yang dimiliki Indonesia.

Karena itu bisa dimengerti mengapa muncul reaksi keras dari sekelompok masyarakat terhadap kehadiran Clinton di Indonesia yang oleh mereka dianggap sebagai upaya AS untuk memengaruhi proses perpanjangan kontrak karya Indonesia dengan Freeport. Harus diakui bahwa Freeport memang memiliki semua kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan eksplorasi sumber daya alam di Papua.

Pemerintah Indonesia yang mungkin tidak memiliki kemampuan setinggi kemampuan yang dimiliki perusahaan AS itu pasti mengakui pentingnya kiprah Freeport di Indonesia meskipun banyak orang mengkritik operasi Freeport di Indonesia itu lebih banyak menguntungkan AS daripada Indonesia. Sudah ada konfirmasi bahwa persoalan Freeport memang tidak dibahas dalam kunjungan Clinton ke Indonesia beberapa hari yang lalu.

Kalaupun soal Freeport menjadi salah satu isu yang dibahas Clinton dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hal itu merupakan sesuatu yang wajar ketika Indonesia dalam proses negosiasi untuk memperpanjang kontrak karya dengan Freeport. Jika kontrak Freeport jadi diperpanjang, bisa saja hal itu merupakan bagian dari keberhasilan kunjungan Clinton ke Indonesia. Sebagai imbalan perpanjangan kontrak dengan Freeport, bisa saja Indonesia mendapatkan jaminan yang lebih kuat lagi dari AS untuk mendukung integritas wilayah Indonesia.

Hibah sejumlah pesawat tempur AS kepada Indonesia mungkin juga bisa dilihat dalam perspektif itu. Di sini terlihat ada semacam trade-off antara Indonesia dan AS. Kata yang hampir tidak pernah absen dalam pernyataan persama para pejabat tinggi AS, termasuk Menteri Luar Negeri Clinton, yang dikeluarkan setelah kunjungannya ke Indonesia adalah kepentingan timbal balik (mutual interest). Telah diketahui bahwa Indonesia dan AS di bawah Presiden Obama menjalin sebuah kemitraan komprehensif untuk mencari kepentingan timbal balik.

Mungkin orang akan bertanya apakah perpajangan kontrak karya dengan Freeport akan menghasilkan kepentingan timbal balik atau malah merugikan Indonesia. Dalam konteks demikian, kepentingan timbal balik (mutual interest) akan muncul jika kedua pihak sama-sama memiliki kebutuhan untuk mengerahkan sumber daya mereka untuk mencapai kepentingan bersama Kalau saja AS dan Indonesia dalam praktiknya ternyata tidak memiliki kepentingan yang sama untuk mendapatkan sesuatu dari apa yang telah mereka sepakati selama ini melalui kemitraan komprehensif, kepentingan timbal balik dipastikan tidak akan pernah muncul.

Karena itu, adalah sesuatu yang imperatif bagi Indonesia untuk menafsirkan konsep kepentingan timbal balik itu secara akurat, benar, dan memadai agar Indonesia tidak terjebak dalam prinsip-prinsip yang diajukan AS yang kerap disampaikan pejabatnya yang berkunjung ke Indonesia. Hasil kunjungan Clinton ke Indonesia beberapa waktu yang lalu perlu diamati lebih jauh lagi untuk memastikan apakah memang terdapat kepentingan timbal balik antara AS dan Indonesia, baik itu terkait dengan persoalan Freeport maupun persoalan lainnya yang ada hubungannya dengan kepentingan Indonesia dan AS. Bisa dipastikan persoalan akan muncul dalam hubungan Indonesia dengan AS, yaitu ketika AS dan Indonesia memandang konsep kepentingan timbal balik itu dari perspektif yang kontradiktif dan sempit.

◄ Newer Post Older Post ►