Senin, 10 September 2012

Logika Bisnis Pendidikan


Logika Bisnis Pendidikan
Abdullah Yazid ;  Magister Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan (STEKPI) Jakarta
SUARA KARYA, 10 September 2012


Pembiayaan pendidikan di Indonesia sekarang rasanya masih menyimpang jauh dari teori ekonomi. Secara teori ekonomi, pendidikan bergerak dari barang publik menuju barang privat. Jika pendidikan dikatakan barang publik, intervensi negara dapat dibenarkan. Sebab, tanpa intervensi negara, penyediaan pendidikan tidak cukup memenuhi tingkat penyediaan yang optimal secara sosial.

Subsidi menjadi keharusan, sehingga tidak mengherankan jika kita lihat betapa besar subsidi pemerintah dalam bidang pendidikan. Bahkan, menurut teori pertumbuhan baru (new economic growth theory), pertumbuhan ekonomi sangat ditentukan oleh besarnya anggaran pendidikan untuk meningkatkan kualitas human capital atau sumber daya manusia (SDM). Pertanyaannya, sejauh mana negara harus terlibat dalam pembiayaan pendidikan?

Teori menunjukkan, kadar barang publik akan menurun sejalan tingkat pendidikan. Artinya, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin berkurang kadar barang publik. Sebab, manfaat pribadi yang diperoleh seseorang relatif lebih besar dibandingkan dengan manfaat sosialnya. Hal ini terbukti pula dengan makin tingginya rasio antara private rate of return dan social rate of return dari pendidikan, sejalan dengan tingkat pendidikan.

Sederhananya, manfaat sosial yang dihasilkan oleh keberhasilan kita membuat petani bisa membaca dari menghitung melalui SD sangat besar dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh secara pribadi. Bayangkan, berapa banyak uang yang harus dikeluarkan negara untuk mencapai swasembada guna mengajari petani bercocok tanam secara benar dengan mengirimkan penyuluh pertanian secara langsung. Tapi, dengan pendidikan dasar tersebut, penyuluhan dapat dilakukan dengan menggunakan brosur dan sebagainya tanpa harus mengirimkan waktu yang lebih banyak daripada penyuluh pertanian mengajari petani secara langsung. Buat si petani pribadi, manfaat yang dirasakan tentu cukup besar, tapi relatif tidak banyak berbeda.

Sementara untuk lulusan perguruan tinggi, dialah yang mendapat manfaat lebih banyak dibandingkan dengan manfaat yang didapatkan masyarakat atau negara. Perbedaan dari private dan social rate of return, sebagian tecermin pula dari biaya penyediaan pendidikan per murid yang meningkat lebih dari proporsional, sejalan dengan tingkat pendidikan.

Konsekuensi logis dari hal di atas, subsidi pendidikan harus difokuskan pada pendidikan dasar dan menengah (dikdasmen), bukan perguruan tinggi. Artinya, perbedaan antara SPP dan biaya penyelenggaraan pendidikan untuk masing-masing tingkat pendidikan harus makin mengecil.

Prinsip seperti ini dijalankan semua negara yang telah berhasil dalam pembangunan ekonomi, mulai dari negara industri hingga negara industri baru seperti Jepang, Korea, Taiwan dan Malaysia. Pendidikan dasar di negara itu disubsidi secara penuh. Sementara porsi subsidi untuk perguruan tinggi jauh lebih kecil dan praktis dibiayai sendiri oleh mahasisawa bersangkutan. Dengan prinsip seperti ini, dampak pendidikan untuk memperbaiki distribusi pendapatan dapat tercapai.

Di Indonesia memang sudah dilakukan melalui BOS dan penggratisan biaya di SD dan SMP negeri. Nah, SD dan SMP swasta pun harus juga mulai diawali jika berpijak pada teori di atas. Tidak perlu takut kebobolan anggaran, karena manfaat sosial dalam jangka panjang akan jauh lebih dahsyat dapat dirasakan untuk kemajuan ekonomi bangsa.

Selain itu, pola yang juga perlu diperbaiki adalah porsi subsidi per kapita untuk mahasiswa yang jauh lebih besar dibandingkan dengan murid SD. Begitu pula anggaran pembangunan bagi perguruan tinggi, lebih tinggi dibandingkan dengan pendidikan dasar dan menengah. Tidak heran, kemudian kita menyaksikan SD di beberapa tempat terpaksa diliburkan karena kebanjiran, atau wajah fisik gedung SD, terutama di tempat-tempat terpencil banyak yang masih tidak layak pakai, serta tidak mencerminkan kelayakan sebuah institusi pendidikan. Masih banyak pula murid SD di daerah pedalaman tidak bisa berbahasa Indonesia. Ini mengisyaratkan yang bersangkutan tidak bisa baca tulis. Padahal, porsi anggaran pendidikan kita di Kemendiknas hampir mencapai Rp 64 triliun. Tentu angka raksasa ini harus dipikirkan ulang, dengan melakukan sharing subsidi di masing-masing tingkat pendidikan kita.

Ini mengingat pola pengeluaran anggaran pemerintah yang tidak proporsional, menurut logika bisnis pendidikan, menjadi salah satu penyebab rendahnya distribusi pendapatan di tengah-tengah masyarakat. Kelompok orang mampu menikmati lebih banyak subsidi dari APBN dibandingkan dengan masyarakat miskin. Mengoreksi biaya pendidikan di perguruan tinggi, tanpa harus mempertimbangkan kemungkinan perbaikan kualitas pengajaran di perguruan tinggi sebagai akibat perbaikan sistem insentif, merupakan salah satu bentuk reformasi harga guna memperbaiki dampak anggaran terhadap distribusi pendapatan. Lalu, apakah perguruan tinggi hanya untuk yang kaya? Tentu tidak. Perguruan tinggi dituntut menyediakan tempat bagi orang miskin.

Mengingat pentingnya pendidikan untuk pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan perbaikan distribusi pendapatan, porsi pengeluaran untuk pendidikan harus meningkat. Tapi, prioritasnya adalah untuk memperbaiki kualitas pendidikan dasar dan menengah yang merupakan kebutuhan mayoritas penduduk Indonesia.

Kemudian, akses pendidikan terhadap kelompok tidak mampu perlu disediakan seluas-luasnya. Konsepnya, pemerataan tanpa pembedaan siswa pintar dan tidak pintar dengan fokus pada pendidikan dasar dan menengah. Untuk pendidikan tinggi, program 'bidik misi' yang dicanangkan Kemendiknas dan diprioritaskan pada siswa cerdas dan tidak mampu, tetap bagus dan harus dilanjutkan.

◄ Newer Post Older Post ►