Selasa, 18 September 2012

Korupsi Antijera


Korupsi Antijera
Driantama ;  Jurnalis
SINDO, 18 September 2012


Setelah hampir 15 tahun era Reformasi bergulir, kebencian terhadap korupsi berderap sangat kencang sekian lama. 

Entah berapa ratus ribu berita tulis, berita televisi, berita online, berita radio, dan lain-lain yang begitu rupa mengungkap hiruk-pikuk pemberantasan korupsi yang bermuara di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, Mabes Polri, dan gedung Pengadilan Tipikor. Belum lagi rentetan berita ikutan yang tentu tak kalah ramainya karena memuat aneka ragam pro-kontra terhadap pemberitaan itu.

Dibandingkan masa-masa sebelumnya, berita korupsi yang mengalir deras ke masyarakat lewat beraneka ragam media dan teknologi itu menggambarkan bahwa penindakan korupsi telah demikian rupa menjadi sebuah gerakan lahir batin yang luar biasa menggema dan membahana. Terbangunlah sebuah harapan, yang besar dari bangsa besar ini, bahwa akhirnya korupsi— yang terendam dengan sempurna pada orde sebelumnya— mulai tak punya lagi sudut untuk bersembunyi.

Mulai terlihat adanya rona cahaya terang yang makin berpendar. Pemberantasan korupsi ditransformasikan dalam gerakan membudayakan sebuah doktrin bahwa korupsi itu menghancurkan generasi masa depan hingga ke akar akarnya. Namun, belakangan ini, keterkejutan juga mulai menyeruak di alam bawah sadar dan naik ke alam kesadaran penuh bahwa ratusan ribu foto dan rekaman video tentang kesibukan gedung lembaga antikorupsi itu telah menghasilkan fenomena baru, berupa kebiasaan baru.

Kebiasaan itu adalah “keterbiasaan”. Sang terduga koruptor makin terbiasa dengan rentetan pemeriksaan dan membosankannya suasana persidangan. Sementara masyarakat juga makin terbiasa membaca berita berita semacam itu.

Makin hari kita makin terbiasa melihat seseorang dikerubuti wartawan masuk ke Gedung KPK atau seseorang yang bersusah payah turun tangga KPK atau seseorang yang harus terengah-engah untuk masuk mobil tahanan atau seseorang yang duduk diam terkantuk-kantuk di kursi pesakitan persidangan tipikor. Masih ada beraneka ragam scene lain tentang para koruptor itu.

Entahlah dari mana penyebabnya, tetapi jangan kemarahan terhadap koruptor seperti mereda justru sejak visual mereka makin sering muncul di publik. Bukan hanya itu, bahkan malu, resah, kecewa, putus asa ataupun galau, juga mulai hampir sulit ditemukan dari wajah para terduga koruptor. Coba tengoklah lagi ketika beberapa waktu lalu saat seorang terdakwa, yang cantik rupawan, menebar senyum penuh ketenangan seusai sidang.

Atau seorang kepala daerah tersenyum ramah dan seperti menikmati tempat duduk mobil yang akan membawanya ke tahanan. Atau, yang paling menarik ketika dalam sebuah persidangan, dua wanita setengah baya berpelukan penuh hangat, saling tersenyum, dengan latar belakang para hakim yang juga ramah melihat fenomena kemanusiaan itu walaupun keduanya baru saja usai berseteru dan saling tuduh. Coba cari, di mana bisa ditemukan wajah yang gundah bersalah karena tuduhan korupsi atau galau tercampak. Hampir tidak ada.

Belum lagi ketika riuh rendah, dua lembaga penegak hukum yang layak dihormati atas kegeramannya terhadap korupsi ternyata tidak juga bisa duduk bersama dan saling bersama sama menjaga wibawanya di hadapan para koruptor. Malah, sang terduga koruptor tak mencuat secara fenomenal karena tidak seksi untuk bahan pergunjingan.

Seperti tidak ada lagi rasa malu, tak ada lagi rasa tertekan, sebuah senyum keramahan kepada ratusan kamera foto maupun kamera televisi ibarat sudah menjadi permakluman atas sebuah ritual wajib untuk sebuah pencitraan, yang tak lagi terasa ganjil dan janggal. Lalu, apakah semua itu kesalahan awak media? Tentu saja tidak. Bahkan pertanyaan tersebut pun tak layak diajukan.

Bila duga-prasangka ini benar, pemberantasan korupsi dari sisi membangkitkan kejeraan tampaknya mulai menunjukkan tanda-tanda kegagalan yang hampir sempurna. Penjara bagi koruptor yang makin sering tak akan lebih dari dua tahun naga-naganya akan lebih baik dianggap seperti sebuah cuti panjang setelah dipotong remisi ini dan itu. Upaya untuk mengetatkan pemberian remisi yang sempat mengusik sejenak beberapa waktu lalu toh diam-diam mulai tercemoohkan dengan pembagian remisi untuk hari raya serta peringatan kemerdekaan lalu dengan dalih amanat undang-undang.

Alih-alih mempermalukan koruptor dengan seragam “tahanan”,bukan hanya gagal, bukan cuma karena modelnya lebih mirip sebuah jaket trendi, tetapi bahkan pembangunan gedung tempat bekerja para pegiat antikorupsi sebagai simbol monumen antikorupsi malah terganjal dengan sungguhsungguh. Kesungguhan penanaman “ke-haram-an” terhadap korupsi yang menggema saat era Reformasi hingga langit ketujuh kini memasuki pertanda sebuah lagu sumbang yang tak lagi mengganggu.

Tampaknya, segera harus dimulai lagi sebuah cara yang sungguh-sungguh mempermalukan para koruptor dengan cara-cara yang sederhana tetapi mengena. Sebab, mengandalkan aturan hukum yang berlaku belakangan sering jadi objek perdebatan belaka yang dari hari ke hari makin mengasyikkan. Bahkan makin membuka aneka celah yang ternyata hasil sebuah persiapan matang di masa sebelumnya. Sebuah kebuntuan,yang pernah disitir oleh Pak Mahfud MD, tidak juga dibarengi dengan sebuah terobosan berani yang sungguh-sungguh.

Hanya dengan membangkitkan kembali serta mempertahankan upaya “mempermalukan” itu sepanjang masa, korupsi itu diyakini akan mampu kuat merasuki kebatinan generasi muda kita ke depan. Jepang, adalah salah satu contoh bangsa, yang berhasil menanamkan dan mengibaratkan sebuah tingkah laku koruptif dan korupsinya setara dengan sebuah kebiadaban dari sebuah peradaban yang terbelakang.

Tidak ada hal yang terlalu sulit untuk menemukan cara-cara sederhana berdampak luar biasa demi hal itu. Apalagi bangsa ini memiliki terlalu banyak cendekia di bidang ini. Duh Gusti…, manakala korupsi tak lagi dirasa sebagai sebuah kesungguhan niat buruk serta mengunduh aib dan membunuh generasi muda hingga ke akarnya dan setara seperti sebuah kebiadaban di peradaban terbelakang di masa lalu,maka kapan korupsi itu sungguh-sungguh diperlakukan sebagai sebuah kejahatan dalam arti yang sesungguhnya? 
◄ Newer Post Older Post ►