Jumat, 14 September 2012

Konflik, Kesalehan Sosial, dan Sirnanya Keteladanan

Konflik, Kesalehan Sosial, dan Sirnanya Keteladanan
Ichsanuddin Noorsy ;  Ekonom
SINDO, 14 September 2012


Dalam ajaran Islam, bulan Syawal dikenal dan dihayati sebagai bulan kemenangan setelah puasa Ramadan dijalankan dengan keimanan, penuh hikmat, dan sikap taat. Salah satu wujud nyata kemenangan itu adalah meningkatnya sikap kesalehan baik pada individu, keluarga, masyarakat maupun pemimpin formal dan informal. 

Tapi faktanya tidaklah demikian. Korban arus mudik hingga 906 orang tewas dan kasus Sampang membuktikan kesalehan yang seharusnya terpupuk di bulan Ramadan justru tergerus karena berbagai faktor. Saya ingin melihat hal itu dalam perspektif peran kepemimpinan. Dalam sosiologi Islam maupun Barat, keluarga adalah atom sosial. Cara pandang ini memberi peranan yang besar kepada bapak/ayah sebagai kepala atau pemimpin rumah tangga.

Dari seorang ayah, anak mendapatkan contoh keteladanan, kepemimpinan, cara memandang dan menyelesaikan masalah. Anak diajari untuk mempunyai sikap tangguh atau cengeng, bahkan mungkin menjadi peragu. Anak-anak juga diajari untuk mempunyai kepedulian sosial sebagai wujud pembinaan kesalehan dan kesantunan terhadap sesama.

Semakin dewasa, semakin banyak anak diberi kewenangan mengambil keputusan sendiri sehingga kemandirian yang dipupuk sejak balita berbuah ketangguhan menghadapi bahtera kehidupan yang penuh tantangan dan ujian. Sebagai bangsa yang sudah merayakan kemerdekaan 67 tahun, karakter seperti itu selayaknya sudah menjadi kenyataan.

Gelombang mempertahankan kemerdekaan dan konflik internal bangsa berkali- kali ternyata berbuah menguatnya kekerasan simbolik. Di era Reformasi, paling tidak hal itu terlihat sejak kasus Bank Century mencuat. Pada skandal Bank Century konflik muncul antara pemerintah dengan DPR dan BPK.

Lalu berlanjut dengan konflik “cicak-buaya”, konflik antarmenteri (seperti Menteri Perdagangan era Mari EP dengan Menteri Pertanian, Menteri Kelautan dan Perikanan, atau dengan Menteri Perindustrian), konflik Komisi XI dengan Kemenkeu soal pembelian 7% saham PT Newmount Nusa Tenggara.

Ada pula konflik masyarakat secara horizontal atau vertikal baik karena masalah lahan atau karena pilkada atau soal sepele lainnya, konflik Komisi III dengan KPK soal anggaran pembangunan gedung KPK, konflik KPK dengan kepolisian soal korupsi simulator mengemudi, dan terakhir tudingan intelijen lemah dalam antisipasi kasus Sampang.

Bahkan juga konflik soal teguran Presiden kepada anak-anak yang tertidur saat pidato Presiden berlangsung. Dalam perspektif keluarga, peranan orang tua, khususnya ayah, sangat menentukan seberapa jauh konflik itu selesai dengan jalan keluar yang mengadopsi dan mengadaptasi rasa keadilan anggota keluarga, khususnya yang bertikai. Ayah bukan saja harus tegas, adil, dan bijaksana, tapi juga mengajak anak-anaknya untuk melihat ke depan.

Konflik yang didasari sikap mau menang sendiri dan menjadi pertikaian fisik atau pemikiran saat kemarahan memuncak justru menggambarkan kegagalan orang tua atau rendahnya peranan ayah dalam membangun kedewasaan bersikap. Sikap tolak-angsur sirna dimakan keinginan menang sendiri. Hidup disikapi dengan hari ini untuk hari ini, besok soal lain lagi.

Lalu atas nama demokrasi, atas nama kearifan yang sulit dicari pijakan bijaksananya, ayah atau pemimpin menyatakan menolak campur tangan atau terlibat dalam konflik. Kalaupun terlibat, hal itu lebih karena dirinya memiliki kepentingan sendiri di luar kepentingan para pihak yang bertikai. Saya mencoba mencari referensi atau hikayat yang bercerita tentang situasi ini.

Yang saya temukan justru keluarga sebagai atom sosial dan masyarakat sebagai ruang yang lebih besar untuk beraktivitasnya atom itu, memang, sangat menentukan bagaimana kesalehan individual dan kesalehan sosial terbentuk. Dalam prinsip keseimbangan, itu berarti keluarga, masyarakat, dan negara juga berkontribusi membentuk perilaku konflik.

Dengan peranan yang sangat menentukan, keluarga dan sistem sosial membuat sistem pendidikan yang keluarannya adalah lima karakter manusia, yakni pejuang/petarung untuk tegaknya hal-hal yang dipandang benar (fighter), pemimpin (leader), pengelola (manager), pelaksana (operator), dan pesuruh (janitor).

Rumusnya menjadi, dengan rendahnya pendidikan dan tingkat kesantunan, kuat mendorong sikap mau menang sendiri, maka semakin besar potensi konflik terjadi. Di sini anjuran agama gagal membuahkan sikap bermoral.

Sementara bagi kaum terdidik sendiri, sikap formalitas lebih kuat mengikat ketimbang tegaknya esensi dan makna hubungan kemanusiaan. Kepentingan bisnis, kekuasaan, dan kesenangan lebih utama dibandingkan dengan sikap peduli dan berbagi untuk hal-hal yang menenteramkan dan mendamaikan interaksi sosial.

Yang menarik, media massa pun ikut menyumbang situasi ini disebabkan posisinya yang sudah menjadi industri. Nyaris semua struktur dan lapisan masyarakat terperangkap dalam model konflik sebagai buah kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi. Dalam ekonomi, hal ini merupakan buah dari persaingan bebas.

Siapa pun boleh keluar masuk pasar dengan bebas, dan siapa pun boleh membangun ketahanan diri dengan caranya sendiri. Jika dalam pertarungan bisnis posisi kepemimpinan usaha menjadi sangat menentukan apakah menjadi pemenang atau pecundang, maka dalam keluarga atau bangsa yang pemimpinnya tidak mengambil sikap malah akan melahirkan rentan dan renggangnya kehidupan bersama.

Sedikit demi sedikit kegotong-royongan pudar sebagaimana terbukti makin banyaknya urbanisasi. Berangkatnya mereka dari desa ke kota bukan hanya karena desa tidak lagi memberi harapan untuk memenuhi kebutuhan dasar kehidupan, tetapi desa pun sudah tidak mampu menyediakan model kebersamaan untuk menyelesaikan suatu persoalan warganya.

Desa pun menjadi rawan konflik. Kondisi jiwa individual dan sosial seperti itu menunjukkan, kesalehan individual atau sosial sebagai buah dari arahan Ramadan gagal mencapai tujuan esensial: kebaikan dan manfaat hidup bagi sesama.

Kegagalan itu disebabkan keteladanan individual dan sosial telah sirna karena ayah atau sosok pemimpin demikian sibuk memikirkan diri sendiri. Ayah tidak bisa lagi menjadi teladan karena ia pun harus membela diri dari kegagalannya memahami struktur masalah dan kuatnya tekad menunjukkan posisi formalitas dirinya.

Aristoteles berkata, “Yang layak menjadi teladan itu adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain dan yang gagal itu adalah orang yang meminta manfaat dari orang lain.” Saya kira hal ini akan terus berlanjut karena semua lapisan sosial sedang menikmati semunya materialisme kekayaan dan kekuasaan.


◄ Newer Post Older Post ►