Minggu, 09 September 2012

Kembalikan Jakarta kepada Warganya


Kembalikan Jakarta kepada Warganya
Ivan A Hadar ;  Arsitek Perencana Kota
KOMPAS, 08 September 2012


Putaran kedua Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung 20 September 2012. Dua pasangan dengan perolehan suara tertinggi pada putaran pertama, Jokowi-Ahok dan Foke-Nara, kembali berlomba untuk memenangi suara warga.

Siapa pun yang nanti terpilih dipastikan dihadang berbagai permasalahan kompleks. Mulai dari kemacetan, banjir, kepadatan penduduk, kemiskinan, menjamurnya kampung kumuh hingga seabrek permasalahan lainnya. Tanpa dukungan pemerintah pusat dan instansi terkait, serta terjalinnya sinkronisasi dengan pemda tetangga, permasalahan yang dihadapi akan kian sulit ditangani. Lebih penting lagi, tanpa keterlibatan dan dukungan warganya, persoalan Jakarta mustahil teratasi.

Selama ini, meski dilanda berbagai masalah berat, oleh banyak pengamat perkotaan, Pemerintah DKI Jakarta dinilai kurang memiliki sense of crisis, dan belum mau berkorban untuk kepentingan warganya. Hal ini, misalnya, terlihat dari alokasi sekitar 65-75 persen APBD untuk keperluan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif. Rata-rata hanya sekitar seperempat sisa anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan. Ini pun belum tentu utuh karena dikorupsi atau tidak tepat sasaran.

Kita berharap momentum pilkada kali ini mampu menggugah kesadaran siapa pun yang terpilih untuk memperhatikan berbagai aspirasi warganya. Tuntutan pelibatan warga atau jargon ”kembalikan Jakarta kepada warganya”, yang beberapa tahun terakhir gencar disuarakan, tentu berkaitan erat dengan kurangnya kesempatan bagi aktualisasi diri mayoritas warga Jakarta dalam proses kreatif perancangan, implementasi, dan pemeliharaan berbagai sarana kota.

Partisipasi Warga

Dalam kaitannya dengan proses menyediakan kesempatan itu, penting ditelusuri dan dicarikan jawaban atas berbagai pertanyaan berikut. Siapa dan mewakili kepentingan apa saja, misalnya, pelaku yang terlibat dalam proses kreatif tersebut, serta bagaimana hubungan antara mereka. Apa saja organisasi dan pranata yang perlu dikembangkan agar terjadi sinergi berbagai kepentingan yang berbeda untuk membangun, mengoperasikan, dan merawat kota menjadi bersahabat, memesona, adil, makmur, dan layak mukim bagi warganya.

Secara sederhana, para pelaku pembangunan kota bisa dikategorikan sebagai pemerintah, komunitas usaha, kelompok kepentingan dan perseorangan. Setiap pihak punya kepentingan, juga sumber daya yang berbeda dan berpotensi melahirkan benturan. Benturan kepentingan merupakan gejala kontekstual yang berubah dalam ruang dan waktu. Gejala tersebut bisa diamati dalam berbagai implementasi rancangan kota, seperti peremajaan pusat dan pinggiran kota serta daerah transisi.

Dalam proses pembangunan kota seperti yang digambarkan di atas, nyaris semua keputusan dan pelaksanaan rancangan ditentukan dua pemain utamanya, yaitu pemerintah kota dan pengusaha. Padahal, di dalam negara yang dihantui oleh masalah lapangan kerja dan kemiskinan, setiap kegiatan pembangunan kota seharusnya dikaitkan dengan visi pembangunan berkeadilan.

Selama ini, gagasan yang melandasi perancangan Jakarta nyaris tidak melibatkan masyarakat luas. Tanpa banyak diketahui publik, misalnya, DKI memiliki beberapa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2020. Sebelumnya, pada RTRW 2010, Jakarta boleh dibilang ”tidak membumi”. Masalah klasik permukiman kumuh, pedagang kaki lima, tak tersentuh. Dalam praktik, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan, kalaupun dilakukan, dimonopoli perancang kota dan penentu kebijakan.

Padahal, banyak bukti menunjukkan bahwa warga kota sering lebih tahu permasalahan kota sesungguhnya, bahkan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif dan segar. Salah satu contoh best practise dari Porto Alegre, Brasilia, kiranya menjadi bahan pembelajaran bagi Jakarta, terutama dalam memetakan kebutuhan mendesak serta merancang APBD secara partisipatif.

Belajar dari Porto Alegre

Porto Alegre adalah kota berpenduduk 1,3 juta jiwa, di negara bagian Rio Grande do Sul, Brasil. Bermula dari sebuah pusat industrialisasi, Porto Alegre berubah jadi pusat ekonomi perdagangan. Dari waktu ke waktu, kota itu kian menarik sebagai tujuan migrasi penduduk miskin pedesaan. Akibatnya, selain lebarnya kesenjangan sosial ekonomi, terbentuk pula kawasan kumuh berskala besar yang selama puluhan tahun terpinggirkan dari pelayanan infrastruktur kota.

Ketika Partai Buruh memenangi pemilu di negara bagian ini, dikembangkan model inovatif dan partisipatif untuk mengakhiri kondisi buruk tersebut. Model yang dikembangkan adalah Orcamento Participativo (OP), yang bisa diterjemahkan sebagai ”Keterlibatan Warga dalam Perencanaan APBD”. Dalam kerangka OP, kota dibagi 16 subregion. Dalam forum-forum lokal dan regional, warga berdiskusi tentang permasalahan kota, serta mencarikan solusinya.

Selain memperoleh informasi tentang sistem baru, setiap warga juga dibekali brosur setebal 30 halaman tentang fungsi dan haknya sebagai warga kota. Konon, saat ini, 85 persen warga Porto Alegre telah memahami OP dan 20.000-an warga terlibat aktif dalam melakukan konseling.

Dari ratusan delegasi forum, 40 orang dipilih sebagai perwakilan dan berhak meneliti penggunaan keuntungan pemerintah kota. Berbagai usulan dari forum kota itu dirangkum dalam rancangan APBD, yang kemudian diserahkan oleh gubernur terpilih kepada dewan kota, sebagai satu-satunya instansi yang berhak memutuskan APBD.

Dengan cara demikian, warga kota sejak beberapa tahun terakhir dapat langsung memutuskan penggunaan dana APBD yang berjumlah sekitar 750 juta dollar AS. Sebagian besar dana itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan lapis sosial terbawah, misalnya untuk kawasan kumuh yang saat ini sebagian besar telah memperoleh layanan publik, seperti air minum, kanalisasi, jalan, sistem pendidikan, pembuangan dan daur ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta pengadaan jaringan pembuangan air limbah.

Model partisipatif ini tak terbatas pada aspek distribusi. Dengan moto ”siapa memiliki lebih, membayar lebih”, semua sistem yang berlaku sebelumnya ditata ulang. Perusahaan besar diwajibkan terlibat dalam social engagement, misalnya ketika perusahaan ingin memperluas areal pabriknya. Selain itu, dewan kota bersama pihak terkait terlibat dalam perencanaan struktural berkaitan dengan arah perkembangan ekonomi serta aspek teknologi dan budaya urban.

Suksesnya ”model Porto Alegre” telah menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasilia. Dalam kaitan ini, model demokrasi representatif, setidaknya di Brasilia, semakin kehilangan pamor dibandingkan keterlibatan langsung warga kota lewat Orcamento Participativo. Gubernur terpilih Jakarta, kota yang mempunyai dewan kota mulai dari tingkat kelurahan, tak ada salahnya belajar dari pengalaman Porto Alegre sebagai salah satu acuan. Kembalikan Jakarta kepada warganya!

◄ Newer Post Older Post ►