Kamis, 06 September 2012

“Keharusan” Sultan Berpolitik

“Keharusan” Sultan Berpolitik
Won Poerwono ;  Wartawan Suara Merdeka di Biro Solo 
SUARA MERDEKA, 06 September 2012


"Mengapa harus berpolitik? Jawabannya gampang, tentu dalam rangka survive (bertahan hidup), nunut mulya"

MEMBACA harian ini (SM, 28/08/12) dan sejumlah media lain yang mengangkat tema dan memberi judul Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X dilarang berpolitik, sangatlah menarik dan membuat penulis tercengang. Larangan berpolitik praktis dalam konteks kepartaian itu bahkan tertuang dalam pasal-pasal RUUK DIY yang disahkan dalam sidang Komisi II DPR, Rabu (SM, 30/08/12).

Untuk menjawab keterkejutan penulis dan menjelaskan mengapa keraton harus berpolitik, kita perlu kembali menelusuri perjalanan sejarah keraton di Nusantara sampai kelahiran NKRI. Sudah bukan rahasia, sejak NKRI lahir pada 17 Agustus 1945, secara otomatis pemerintahan monarki, yaitu keraton/ kesultanan, berada di dalamnya menjadi bagian yang harus mendukung pemerintahan baru.

Bukti itu ada di Solo, yaitu dokumen Maklumat Sinuhun Paku Buwono (PB) XII tanggal 1 September dan di Yogyakarta berupa Maklumat Sri Sultan HB IX tanggal 5 September. Karena menjadi bagian, tentu harus mengikuti kemauan politik penguasa dimulai dari masa pemerintahan Presiden Bung Karno, yang kemudian memiliki organisasi politik kepartaian yang menjadi penguasa, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI).

Di nagari Surakarta Hadiningrat seolah-olah terjadi creating and settingpergolakan luar biasa, dengan posisi sebagai basis oposisi terhadap kekuatan pemerintah waktu itu (1947-1948) yang beribu kota di Yogyakarta.

 Akibat buruk dari terkonsentrasinya kekuatan politik kontra yang di dalamnya ada unsur PKI (Tan Malaka), lahirlah gerakan antiswapraja dari petani dan pejabat keraton pada tingkat paling bawah (bekel), sebagai bentuk perlawanan terhadap feodalisme, sekaligus faktor kekuatan penghancur kekuasaan monarki PB XII (Propinsi Daerah Istimewa Surakarta; Julianto Ibrahim SS MHum).

Sejak itulah, raja dan sultan serta hampir semua keluarga dan kerabat, bahkan eks kawula, tak terasa masuk dalam lingkaran politik praktis atau politik kepartaian, meski berada di paling ujung sebagai anggota organisasi kemasyarakatan (ormas) onderbouw partai penguasa.  

Bertahan Hidup

Ketertundukan itu ternyata tak pernah menguntungkan dari sisi kesejahteraan eksistensi posisi politik walau hanya sebatas pelestarian seni budaya. Dalam posisi seperti itu, secara alamiah pasti ada bentuk-bentuk perlawanan. Ada sebagian kerabat yang terang-terangan atau ’’terpaksa’’ mengenakan baju partai tertentu. Ini pasti melahirkan sentimen di antara keluarga besar, yang kemudian memilih baju warna partai lain.

Dari sinilah HB IX, kemudian HB X, teridentifikasi sebagai raja ’’terpaksa’’ yang berpolitik. Sikap dan cara demikian tentu juga dilakukan lembaga kerajaan/ kesultanan lain, semisal Sinuhun PB XII, meski tidak sefanatik yang lain dalam mengenakan baju kuning. Mengapa harus berpolitik? Jawabannya gampang, tentu dalam rangka survive (bertahan hidup), nunut mulya.

Konfigurasi seperti itu yang diperlihatkan sejak Sinuhun PB XII, berlanjut lebih kental pada masa Sinuhun PB XIII (2004-sekarang). Sinuhun berafiliasi ke PDIP (pada pilkada 2010), dan adiknya pernah menjadi anggota Fraksi PDIP DPR (1999-2004) kemudian anggota FPD DPR (2009-2014). Ada adik yang lain mencalonkan diri sebagai Wali Kota Solo dalam pilkada 2010 dengan bendera Partai Demokrat. Mengapa harus demikian? Jawabannya, sekadar bertahan hidup. Bukan untuk diri pribadi melainkan demi kelangsungan lembaga Keraton Surakarta.

Kini RUUK sudah disahkan menjadi UUK DIY dengan syarat Sultan HB X dilarang berpolitik praktis. Konsekuensi logis pertama; negara harus konsisten ’’membayar utang’’ berupa upaya pemeliharaan dan pelestarian Keraton Yogyakarta. Kedua; Surakarta yang lebih dulu jadi daerah istimewa dan punya ijab kabul Maklumat 1 September, harus menjadi bagian dari pengesahan status lewat UUK itu meskipun dalam kesempatan dan rumusan terpisah di kemudian hari. 

◄ Newer Post Older Post ►