Jumat, 07 September 2012

Kasus Sampang dan Paradoks Keberagamaan


Kasus Sampang dan Paradoks Keberagamaan
Joko Wahyono ;  Peneliti di Center for Study of Religions
and Social-Cultural Diversity UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 06 September 2012


Keberadaan agama (Islam) sering kali menampakkan wajah ganda (double face). Di satu sisi, agama bersifat rahmatan lil alamin (rahmat bagi semua), mengajarkan kerukunan dan perdamaian.

Di sisi lain, agama kerap menjadi sumbu pemicu lahirnya bencana, konflik, dan kekerasan antara sesama pemeluk agama.

Meski terdapat penyanggahan apologetis (pembelaan diri) bahwa agama secara esensial hanya mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan, tak dapat dielakkan penyalahgunaan agama oleh manusia untuk kepentingan tertentu kerap menyulut kekerasan. Pendek kata, fenomena aksi kekerasan atas nama agama secara riil terjadi dalam kehidupan kita.

Tragedi kekerasan warga Islam Syiah di Sampang, Madura, Jawa Timur sungguh memancarkan sisi paradoksal ajaran agama. Sejumlah tokoh agama menilai bahwa kekerasan itu bukanlah konflik antara aliran agama Sunni-Syiah, melainkan murni berlatarbelakang keluarga. Mereka adalah Tajul Muluk yang kebetulan pemimpin Syiah dengan saudara mudanya, Rois, pemimpin Sunni.

Karena berlarut-larut sejak 2004 silam, konflik berkembang melibatkan pengikut kedua tokoh pemimpin aliran Islam tersebut. Namun, apa pun motifnya, segala bentuk kekerasan tidak bisa dibenarkan. Kekerasan, menurut Martin Luther King, Jr (1958), akan menjadi spiral menurun yang berakhir dengan kehancuran bagi semua orang.

Di sinilah negara harus cermat menangani konflik semacam ini. Terlalu dangkal jika konflik kaum Syiah Sampang hanya dilihat sebagai dendam persaudaraan. Apakah negara lupa bahwa konflik horizontal akan mengancam integrasi bangsa dalam genggaman NKRI?

Kekerasan akan melahirkan masyarakat yang sakit, karena terjebak dalam kungkungan kebencian yang memustahilkan persaudaraan. Kekerasan meninggalkan kepahitan bagi korban dan kebengisan bagi para pelaku. Belum lagi kerugian material dan ongkos politik yang mahal. Warisan kekerasan adalah kerajaan kekacauan tanpa akhir.

Mentalitas Patuh

Dalam bingkai masyarakat multikultural, sulit menilai bahwa kekerasan terhadap kaum Syiah Sampang sama sekali tidak ada korelasinya dengan motif keragaman aliran keagamaan. Pada kenyataannya, konflik tersebut sarat sentimen aliran Islam, Sunni-Syiah.

Sudah jamak kita ketahui bahwa hubungan dua kekuatan besar mazhab Islam, Suni-Syiah, ini acap kali diwarnai ketegangan yang berujung pada konflik. Kita tidak bisa menolak fakta yang terjadi di Irak dan Iran. Dua mazhab besar Islam, Sunni-Syiah, saling berhadap-hadapan di satu sisi. Sementara di sisi lain, negara-negara Arab dan Iran saling berhadapan.

Dari sinilah konflik Syiah di Sampang memiliki akar sejarah yang panjang. Kita harus sadar bahwa agama sering kali digunakan sebagai landasan ideologis dan pembenaran simbolis bagi tindak kekerasan yang dilakukan sebagian umat beragama.

Fungsi ini digunakan untuk memaknai sejauh mana tatanan sosial, relasi antarpersonal, status, dan pandangan hidup seseorang dianggap sebagai representasi religius.

Namun, di lapangan, fungsi ini tak jarang melahirkan kesenjangan dan pertentangan yang berujung pada permusuhan dan beragam aksi kekerasan. Lebih jauh lagi, betapa naifnya jika persoalan kebenaran agama harus diselesaikan dengan hanya mengacu pada kehendak mayoritas.

Di sisi lain, fanatisme berlebihan melahirkan klaim kebenaran (truth claim) yang bersifat eksklusif. Eksklusivisme ini memandang penganut ajaran agama yang berbeda sebagai musuh, sehingga melahirkan arogansi sosial, terutama ketika ia menjadi mayoritas.

Dalam kondisi ini, mereka cenderung melakukan pemaksaan dan kekerasan atas nama agama terhadap kelompok lainnya. Fanatisme ini berkolaborasi dengan mentalitas “asal patuh” terhadap ajaran agamanya tanpa dibarengi sikap kritis.

Mereka lebih patuh pada pemuka agamanya dan lebih takut pada hukum agamanya daripada hukum positif negara yang berlaku. Wajar jika penanganan kasus kekerasan agama dengan pendekatan hukum tidak pernah tuntas.

Jalan Lain

Dibutuhkan jalan lain untuk menangani kasus kekerasan Syiah Sampang ini. Beragama adalah soal keyakinan. Begitu pula antara Sunni-Syiah, keduanya berpijak pada keimanan yang sulit dijelaskan secara rasional empiris.

Oleh karenanya, kehadiran para ulama adalah keniscayaan. Upaya rekonsiliasi di antara para ulama Sunni-Syiah untuk mendamaikan dengan membuka ruang diskusi-dialogis harus dikampanyekan.

Mereka harus menyebarkan pandangan agama yang terbuka dan toleran. Wajah agama harus berubah dengan memberikan pertimbangan rasional, keterbukaan pada ajaran lain, kebebasan umatnya, dan perubahan tata moral. Kesalehan individual harus terejawantah secara sosial, sehingga tercipta iklim beragama yang demokratis, egaliter, dan manusiawi.

Ekspresi keberagamaan tak hanya sebatas logos dan ritus. Ini harus menjadi etos dan kekuatan moral untuk menangkal isu-isu sektarian yang menghambat terwujudnya ummah wahidah (umat yang satu).

Para ulama adalah pembawa pesan pembebasan dan pembelaan terhadap kaum lemah dan tertindas. Mereka harus turun ke ruang publik, bukan berarti simbolik dan karikatif, untuk memberi jalan keluar yang ligitimate bagi umat.

Mereka harus mendesak pemerintah untuk segera mewujudkan regulasi tentang perlindungan terhadap kaum minoritas agama. Banyak aliran-aliran agama minoritas lainnya yang berbeda dengan aliran arus utama di negeri ini yang rentan terhadap tindak kekerasan.

Para ulama harus menuntut negara untuk menegakkan hukum terhadap pelaku kekerasan. Mereka harus mendorong negara untuk menjadi mahram (protektor/pelindung) bagi kaum minoritas. Jangan sampai penegakan hukum tidak memberi jalan keluar, sehingga jalur ekstra perlementer dengan kekerasan dipilih masyarakat.

Negara dan aparat penegak hukumnya serta para ulama harus berwibawa menjaga stabilitas sosial dan perasaan nyaman dalam kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Jika sejak awal hal ini dilakukan secara simultan, konflik Sunni-Syiah tidak akan terjadi. Tidak ada alasan bagi warga Sunni-Syiah untuk tidak saling bergandengan tangan, karena mereka bersaudara.

◄ Newer Post Older Post ►