Minggu, 16 September 2012

Karut-marut Logika


Karut-marut Logika
Sarlito Wirawan Sarwono ;  Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KOMPAS, 15 September 2012


Prof Dr Slamet Iman Santoso (alm), dosen saya ketika saya masih kuliah, berkali-kali menyampaikan dalam kuliahnya bahwa kita harus tertib berbahasa karena bahasa adalah ekspresi dari logika kita. Kalau tidak memaksakan diri untuk tertib berbahasa, kita akan kehilangan pemahaman tentang bagaimana sebenarnya logika yang mendasari bahasa itu sehingga akhirnya logika itu sendiri yang jadinya karut-marut. Sebagai contoh istilah “cuek” yang dalam bahasa gaul diartikan tidak peduli. Asal katanya adalah “acuh” dari kata majemuk “acuh tak acuh” yang artinya antara peduli dan tidak peduli atau tahu tetapi mengabaikan saja. 

Kata majemuk yang panjang itu diambil awal katanya saja “acuh” dan langsung diberi arti sama dengan seluruh rangkaian kata majemuk itu. Padahal “acuh” sendiri artinya adalah “peduli”. Contoh lain adalah istilah “massa” dan “armada”. Kedua kata itu menunjukkan kumpulan, kata yang di dalamnya berisi banyak satuan.

Misalnya “massa” bisa terdiri atas 50 sampai ribuan orang. “Armada taksi” bisa terdiri atas beberapa sampai ratusan taksi. Jadi salah kalau dikatakan bahwa Istana Negara dikepung “ribuan massa”. Seharusnya, Istana Negara dikepung massa yang terdiri atas ribuan orang––atau dibalik saja “massa ribuan”. J

Juga salah untuk mengatakan, “Di Bandara Soetta, puluhan armada taksi menunggu penumpang di tempat yang terlarang.” Maksud sebenarnya adalah “… puluhan unit taksi….” Masih banyak contoh lain. Puluhan bahkan mungkin ratusan kesalahan berbahasa yang saya dengar atau baca di TV, radio, majalah, dan surat kabar atau media sosial setiap hari.

Sedihnya kesalahan-kesalahan itu bukan sekadar kesalahan oknum yang tidak tahu, tetapi dilakukan berulang-ulang oleh media massa yang seharusnya menjadi tolok ukur dalam berbahasa. Kesalahan ini kemudian disebarluaskan oleh media sosial dan akhirnya menjadi kelaziman yang tidak benar. Dalam bahasa Jawa, sing bener ora lumrah (yang benar justru tidak lazim).

Akhirnya kita jadi bingung sendiri. Saya pun jadi bingung sendiri juga. Misalnya, saya diajari guru bahasa Indonesia saya di SMP bahwa “tidak bergeming” itu artinya tidak berubah, tidak bergerak, tetap di tempat walaupun ada peristiwa apa pun. Tapi, sekarang, istilah “bergeming” juga diartikan tidak bergerak. Jadi ketika diberitakan bahwa “Kapolri tetap bergeming walaupun banyak mendapat kritikan”, saya bingung apa maksudnya? Apakah Kapolri bergerak/berubah/ bereaksi karena kritikan itu atau tidak?

Ketika kata “bergeming” saya cek di Google translate, jawabannya adalah “unmoved” (tidak bergerak). Tapi ketika kata “tidak bergeming” saya key in ke Google translatejuga, jawabannya juga “not budging”, yang artinya sama, tidak bergerak. Bingung, kan? Mbah Google aja bingung, apalagi saya yang masih om-om, belum jadi mbah-mbah.

Maka tidak mengherankan jika sekarang orang semaunya sendiri menggunakan logika. Kedengarannya betul, tetapi jauh dari benar. Misalnya, Wakil Ketua KPK menjanjikan bahwa dalam beberapa bulan ke depan akan ada menteri aktif yang ditangkap KPK. Logikanya di mana? Tugas KPK adalah memberantas koruptor, bukan menangkapi menteri-menteri. Kalaupun ada menteri yang tertangkap, dia ditangkap karena korupsi, bukan karena dia seorang menteri.

Belum reda orang ngoceh tentang menteri-menteri yang akan ditangkap (langsung media massa menyajikan nama-nama menteri yang menurut mereka akan ditangkap), Ketua KPK sendiri sesumbar bahwa jangankan dua bintang (maksudnya Irjen Pol Djoko Susilo, Kakorlantas yang ditangkap karena kasus alat simulasi SIM), bintang tiga atau empat sekalipun bisa ditangkap KPK.

Jadi seakan-akan KPK ini kerjanya kalau bukan menangkapi menteri, ya menangkapi jenderal-jenderal polisi. Logikanya di mana? Lalu tentang Bank Century. Kali ini DPR yang tidak logis. KPK belum menuntaskan kasus Bank Century karena belum cukup bukti (malah ada yang membisikkan ke saya bahwa bukti itu memang tidak ada).

Tapi DPR terus menuntut supaya oknum-oknum terkait segera diseret ke pengadilan karena sudah divoting oleh DPR bahwa dalam kasus bank Century ada KKN. Logikanya di mana? Sejak kapan kasus pidana divonis dengan voting di DPR? Di sektor lalu lintas lain lagi. Sepeda motor mengambil jalur kanan (melawan arus) sudah biasa. Artinya, bisa dibenarkan (walaupun salah).

Ketika sudah deadlock, lalu lintas terkunci dari segala arah atau kalau terjadi kecelakaan dan para pengendara ditegur polisi, maka pengendara motor marah, bahkan kalap. Kantor polsek diserbu. Di agama sami mawon. Orang berbaju gamis, bersorban, berjenggot dianggap paling suci. Begitu juga perempuan berjilbab identik dengan kesucian atau kemurnian yang dibungkus rapi sehingga tidak terkontaminasi dosa.

Padahal di balik sorban, ada yang korupsi Alquran dan di tahun 2008 ketika markas FPI digerebek polisi sehubungan dengan insiden Lapangan Monas, ditemukan majalah Playboy, beberapa VCD porno, dan foto bugil Putri Indonesia. Adapun para tersangka wanita KPK tidak sedikit yang berjilbab. Logikanya di mana? Bajumuslim/muslimah tidak otomatis menjadikan muslim/ muslimah baik, sama halnya dengan seragam polisi atau toga hakim tidak otomatis menjadikan polisi atau hakim baik.

Kerancuan berpikir ini pada gilirannya menyebabkan kita membenarkan yang salah dan menyalahkan yang benar. Akibatnya adalah kesalahan-kesalahan dalam membuat keputusan dalam hal apa pun. Anak-anak didorong terus untuk masuk peringkat di SMA, kalau perlu tidak usah les menari atau main basket dulu.

Pokoknya harus masuk PTN favorit, terlepas dari fakta bahwa pasaran kerja sekarang tidak membutuhkan lulusan PTN favorit, tetapi orang-orang yang bisa kerja dengan skill yang tinggi, mulai dari juru kamera, operator komputer sampai organisator upacara perkawinan. Begitu juga pelayanan kondom buat para PSK (pekerja seks komersial) dianggap melegalkan perzinaan, akibatnya pelacuran dan hubungan seks berisiko lainnya dibiarkan berkembang bebas tanpa perlindungan, maka penyakit kelamin dan HIV/AIDS pun berkembang pesat tanpa kendali.

Malah ada anak ulama yang menikah dengan segala keanggunan upacara adat Islam, yang ketika anak dari pernikahan itu lahir ternyata buta gara-gara si bapak (menantu ulama) sebelum menikah sering melakukan seks sembarangan tanpa pelindung sehingga tertular gonorheayang menyerang mata jabang bayi.

Gara-gara logika yang karut-marut. Bagaimana dengan bidang politik dan ketatanegaraan? Di sinilah paling karut-marutnya logika bernegara. Puluhan komisi dilahirkan sejak reformasi, termasuk KPK. Semuanya menggunakan dana pemerintah. Mahal sekali, padahal hampir semua komisi itu tidak ada di UUD 1945.

Sekarang eksistensi komisi-komisi itu mulai dikeluhkan orang. DPR mulai membicarakan ketidakefisienan KPK, apalagi KPK minta dana untuk gedung baru. Tapi DPR sendiri juga bergelimang masalah, termasuk juga rencana renovasi gedung DPR yang mubazir dan studi banding main-main. Otonomi daerah juga suatu kesalahan.

Dengan otonomi daerah korupsi merajalela di daerah tingkat II dan para bupati serta wali kota tidak merasa bertanggung jawab kepada gubernur sehingga tidak mau datang kalau dipanggil rapat oleh gubernur. Dan seterusnya.

Ujungnya, presidenlah yang dianggap tidak becus, karena itu presiden harus turun hari ini juga. Padahal konstitusi menyatakan bahwa masa jabatan presiden lima tahun dan melalui pemilihan umum langsung oleh rakyat. Nggak logis lagi, kan?
◄ Newer Post Older Post ►