Implikasi Positif Putusan MK
Agus Riewanto ; Ketua KPU Kabupaten Sragen, Penulis Buku Ensiklopedi Pemilu, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS Surakarta |
SUARA KARYA, 07 September 2012
UNTUK kali ke sekian Mahkamah Konstitusi (MK) membuat kejutan dengan melahirkan putusan Nomor 52/PUU-X/2012 tentang Pembatalan terhadap Pasal 8 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Regulasi itu mengandung konsekuensi baru, yakni semua partai politik (parpol) harus lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) supaya bisa menjadi peserta Pemilu 2014
Sebelumnya, berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) UU itu, verifikasi hanya diperuntukkan parpol yang tak bisa memenuhi ambang batas 2,5% dalam Pemilu 2009 dan partai baru yang belum pernah mengikuti. Adapun 9 parpol (Demokrat, Golkar, PDIP, PPP, PKS, PAN, PKB, Gerindra, dan Hanura) yang memperoleh kursi di DPR karena memenuhi ambang batas 2,5% pada Pemilu 2009 secara otomatis ditetapkan menjadi peserta tanpa harus melalui verfikasi.
Sesungguhnya putusan baru MK itu mengandung beberapa implikasi positif terhadap hasil Pemilu 2014. Pertama; tak ada lagi parpol memiliki derajat istimewa untuk menjadi peserta Pemilu 2014 karena semua harus dapat memenuhi persyaratan administrasi, sesuai Pasal 15 dan Pasal 17 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012.
Pemenuhan atas ketentuan itu menyangkut status badan hukum dari Depkumham, pengurus parpol 100% di seluruh provinsi, 75 % jumlah kabupaten/kota, 50 % jumlah kecamatan, 30% keterwakilan perempuan di semua tingkatan. Selain itu, memiliki sekurang-kurangnya 1.000 anggota ditunjukkan dengan kartu tanda anggota (KTA), memiliki kantor tetap, nomor rekening atas nama parpol, serta nama dan tanda gambar parpol. Semua syarat itu akan diverifikasi secara faktual oleh KPU di semua tingkatan.
Kedua; putusan MK meluruskan jalan bagi keadilan berkompetisi meraih kursi DPR/ DPRD. Semua partai memiliki tingkat kesulitan sama untuk dapat memenuhi persyaratan administrasi sebelum menjadi peserta Pemilu 2014. Termasuk bagi 9 parpol yang sudah memiliki kursi di DPR.
Ketiga; putusan MK itu memangkas kehadiran tradisi multipartai ekstrem. Sejarah pemilu Indonesia membuktikan bahwa jumlah peserta pemilu yang multipartai ekstrem, seperti Pemilu 1999 yang diikuti 48 parpol, Pemilu 2004 denga 24 parpol, dan Pemilu 2009 yang diikuti 44 parpol telah melahirkan problem multikompleks.
Persoalan itu menyangkut tingginya angka golput, gugatan sengketa pemilu, biaya mahal, pelanggaran pidana dan administrasi pemilu yang spektakuler, dan paling menonjol adalah kejenuhan pemilih menentukan pilihan pada surat suara.
Persyaratan untuk menjadi peserta Pemilu 2014 dengan harus memiliki 100% jumlah provinsi (33 provinsi), 75% jumlah kabupaten/ kota (367 kabupaten/ kota), dan 50% kecamatan (1.385 kecamatan), serta memiliki dukungan pemilih yang ditunjukkan dengan 1.000 KTA atau 1/1.000 dari jumlah penduduk, bukanlah persoalan mudah dan sederhana untuk dapat dipenuhi semua parpol.
Bahkan 9 parpol yang memiliki kursi di DPR RI sekalipun. Terutama parpol yang berbasis massa agama Islam yang akan menemui kesulitan untuk dapat memiliki pengurus di provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, yang berbasis massa nonmuslim. Pada titik ini, kemungkinan banyak parpol rontok saat diverifikasi faktual. Diperkirakan Pemilu 2014 hanya diikuti 10-15 partai.
Keempat; putusan MK berimplikasi pada penguatan konsolidasi dan pelembagaan parpol. Persyaratan ketat untuk bisa menjadi peserta pemilu, secara otomatis menuntut parpol mengonsolidasikan kekuatan pengurus dan loyalitas kader. Dengan cara ini terlihat jelas parpol yang memiliki basis massa kuat dan mana yang lemah.
Menambah Beban
Namun putusan baru MK juga menambah berat kerja dan konsentrasi KPU di semua tingkatan karena harus memverifikasi faktual semua parpol. Mengacu pada data Depkumham, tercatat ada 73 parpol yang berbadan hukum. Jika semua parpol itu mendaftar menjadi peserta pemilu maka KPU harus memverifikasi faktual terhadap dukungan KTA; minimal 1.000 KTA x 73 (parpol) x 10/100 (sampel) x 367 (kabupaten/kota) = 2.679.100 lembar.
Angka ini bisa bertambah jika tiap parpol menyerahkan dukungan pada KPU lebih dari 1.000 KTA. Padahal proses verifikasi faktual KPU hanya menyediakan tenggat waktu 3 minggu.
Itulah sebabnya publik perlu mendorong KPU agar bekerja lebih independen dan profesional memverifikasi parpol dengan menegakkan syarat-syarat ketat administrasi. Publik menaruh harapan pada KPU di semua tingkatan untuk tak mudah tergiur oleh siasat pengurus parpol yang berkeinginan kuat menjadi peserta Pemilu 2014 lewat aneka modus ’’kejahatan’’ dalam pemenuhan syarat administrasi. Kerja KPU dalam memverifikasi parpol menjadi sangat berharga bagi masa depan penyelenggaraan pemilu. ●
Sebelumnya, berdasarkan Pasal 8 Ayat (1) UU itu, verifikasi hanya diperuntukkan parpol yang tak bisa memenuhi ambang batas 2,5% dalam Pemilu 2009 dan partai baru yang belum pernah mengikuti. Adapun 9 parpol (Demokrat, Golkar, PDIP, PPP, PKS, PAN, PKB, Gerindra, dan Hanura) yang memperoleh kursi di DPR karena memenuhi ambang batas 2,5% pada Pemilu 2009 secara otomatis ditetapkan menjadi peserta tanpa harus melalui verfikasi.
Sesungguhnya putusan baru MK itu mengandung beberapa implikasi positif terhadap hasil Pemilu 2014. Pertama; tak ada lagi parpol memiliki derajat istimewa untuk menjadi peserta Pemilu 2014 karena semua harus dapat memenuhi persyaratan administrasi, sesuai Pasal 15 dan Pasal 17 Ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 2012.
Pemenuhan atas ketentuan itu menyangkut status badan hukum dari Depkumham, pengurus parpol 100% di seluruh provinsi, 75 % jumlah kabupaten/kota, 50 % jumlah kecamatan, 30% keterwakilan perempuan di semua tingkatan. Selain itu, memiliki sekurang-kurangnya 1.000 anggota ditunjukkan dengan kartu tanda anggota (KTA), memiliki kantor tetap, nomor rekening atas nama parpol, serta nama dan tanda gambar parpol. Semua syarat itu akan diverifikasi secara faktual oleh KPU di semua tingkatan.
Kedua; putusan MK meluruskan jalan bagi keadilan berkompetisi meraih kursi DPR/ DPRD. Semua partai memiliki tingkat kesulitan sama untuk dapat memenuhi persyaratan administrasi sebelum menjadi peserta Pemilu 2014. Termasuk bagi 9 parpol yang sudah memiliki kursi di DPR.
Ketiga; putusan MK itu memangkas kehadiran tradisi multipartai ekstrem. Sejarah pemilu Indonesia membuktikan bahwa jumlah peserta pemilu yang multipartai ekstrem, seperti Pemilu 1999 yang diikuti 48 parpol, Pemilu 2004 denga 24 parpol, dan Pemilu 2009 yang diikuti 44 parpol telah melahirkan problem multikompleks.
Persoalan itu menyangkut tingginya angka golput, gugatan sengketa pemilu, biaya mahal, pelanggaran pidana dan administrasi pemilu yang spektakuler, dan paling menonjol adalah kejenuhan pemilih menentukan pilihan pada surat suara.
Persyaratan untuk menjadi peserta Pemilu 2014 dengan harus memiliki 100% jumlah provinsi (33 provinsi), 75% jumlah kabupaten/ kota (367 kabupaten/ kota), dan 50% kecamatan (1.385 kecamatan), serta memiliki dukungan pemilih yang ditunjukkan dengan 1.000 KTA atau 1/1.000 dari jumlah penduduk, bukanlah persoalan mudah dan sederhana untuk dapat dipenuhi semua parpol.
Bahkan 9 parpol yang memiliki kursi di DPR RI sekalipun. Terutama parpol yang berbasis massa agama Islam yang akan menemui kesulitan untuk dapat memiliki pengurus di provinsi, kabupaten/kota, dan kecamatan, yang berbasis massa nonmuslim. Pada titik ini, kemungkinan banyak parpol rontok saat diverifikasi faktual. Diperkirakan Pemilu 2014 hanya diikuti 10-15 partai.
Keempat; putusan MK berimplikasi pada penguatan konsolidasi dan pelembagaan parpol. Persyaratan ketat untuk bisa menjadi peserta pemilu, secara otomatis menuntut parpol mengonsolidasikan kekuatan pengurus dan loyalitas kader. Dengan cara ini terlihat jelas parpol yang memiliki basis massa kuat dan mana yang lemah.
Menambah Beban
Namun putusan baru MK juga menambah berat kerja dan konsentrasi KPU di semua tingkatan karena harus memverifikasi faktual semua parpol. Mengacu pada data Depkumham, tercatat ada 73 parpol yang berbadan hukum. Jika semua parpol itu mendaftar menjadi peserta pemilu maka KPU harus memverifikasi faktual terhadap dukungan KTA; minimal 1.000 KTA x 73 (parpol) x 10/100 (sampel) x 367 (kabupaten/kota) = 2.679.100 lembar.
Angka ini bisa bertambah jika tiap parpol menyerahkan dukungan pada KPU lebih dari 1.000 KTA. Padahal proses verifikasi faktual KPU hanya menyediakan tenggat waktu 3 minggu.
Itulah sebabnya publik perlu mendorong KPU agar bekerja lebih independen dan profesional memverifikasi parpol dengan menegakkan syarat-syarat ketat administrasi. Publik menaruh harapan pada KPU di semua tingkatan untuk tak mudah tergiur oleh siasat pengurus parpol yang berkeinginan kuat menjadi peserta Pemilu 2014 lewat aneka modus ’’kejahatan’’ dalam pemenuhan syarat administrasi. Kerja KPU dalam memverifikasi parpol menjadi sangat berharga bagi masa depan penyelenggaraan pemilu. ●