Kamis, 06 September 2012

Hobi dan Kemiskinan


Hobi dan Kemiskinan
Elfindri Guru Besar Ekonomi SDM Unand
REPUBLIKA, 06 September 2012


Hobi adalah sebuah ke biasaan yang disukai oleh seseorang. Dalam kaitan dengan ke miskinan maka dua hobi yang menonjol memicu kemiskinan adalah berburu dan merokok. Berburu, sebuah hobi olahraga bagi penggemar, seperti berburu babi hutan dan bentuk lainnya. Sementara, merokok adalah sebuah kebiasaan untuk kecanduan dalam mengonsumsi rokok bagi kebanyakan pria dewasa.

Sebuah film yang dikarang oleh kelompok dosen yang bertugas di Sekolah Tinggi Seni Padang Panjang pernah membuat film yang bagus berjudul “Hunting Dog“. Saya mendengar begitu dikisahkan di dalam tayangan masyarakat Minangkabau yang suka berburu babi, memelihara anjing buruannya. Anjing buruan itu dibeli dengan harga yang mahal. Setiap hari pengeluaran untuk anjing buruan melebihi dari konsumsi seorang dewasa.

Bahkan, kalau mendekati Ahad, anjing buruan dibekali dengan telur dan vitamin. Diperkirakan pengeluaran untuk berburu sekali minimum Rp 100 ribu untuk ongkos dan untuk keperluan konsumsi. Jadi, diperkirakan dalam sebulan untuk keperluan berburu sekitar Rp 500 ribu per bulan.

Para pemilik anjing, mulai dari mereka yang kaya sampai masih dalam kategori kelompok rumah tangga miskin, dalam film itu dikisahkan bahwa perhatian si empunya anjing melebihi dari sayangnya kepada anak sendiri. Memang jumlah masyarakat yang memiliki hobi berburu bukanlah banyak. Tetapi, refleksi begitu membudaya pada kelompok ini memang berburu adalah segala-galanya.

Di sisi lain, merokok adalah sebuah kecanduan, masuk kategori mereka yang suka menonton dan memelihara anjing. Pada kasus merokok, pada umumnya pria dewasa yang dapat mengeluarkan uang per hari, mulai dari harga rokok yang paling murah, katakan Rp 5.000 sampai yang masuk ketegori tinggi, dengan kisaran Rp 15 ribu. Jika pengeluaran rokok sebesar Rp 15 ribu maka dalam satu bulan pengeluaran ini akan setara dengan Rp 450 ribu. Besaran uang untuk membeli rokok demikian hampir separo dari besarnya jumlah upah minimum yang dipersyaratkan mesti dibayar oleh pengusaha kepada karyawan.

Dalam praktiknya, merokok adalah pembuka kata untuk membicarakan sesuatu sehingga merupakan sebuah media dalam mengembangkan silaturahim. Tetapi, praktik yang tidak baik, merokok dalam rumah yang ventilasinya tidak baik, tentu berakibat pada kesehatan.
Bahkan, merokok dalam masjid dan surau merupakan kebiasaan di kampong-kampung. Ditemukan juga sebagian dari penceramah yang merokok, termasuk imam masjid. Rokok juga sangat sering digunakan ketika perhelatan. Pada rumah yang sempit sekalipun, mulai dari ninik mamak sampai yang datang merasa merokok adalah sebuah kebebasan walaupun dalam ruangan yang tertutup.

Terkait Kemiskinan

Antara cerita para pemelihara anjing yang hobi berburu dan kemudian merokok adalah hak individual yang tidak bisa diusik. Tetapi, dalam kaitannya dengan kemiskinan adalah menjadi bermakna. Banyak penelitian yang memperlihatkan bahwa kemiskinan dapat juga semakin tinggi dengan semakin banyaknya masyarakat merokok dan berburu.

Rumah tangga miskin yang memiliki hobi berburu atau merokok merupakan tindakan yang tidak logis secara ilmu ekonomi, di mana alokasi pengeluaran untuk hobi dengan pengeluaran kebutuhan pokok berada pada suatu kombinasi. Semakin banyak pengeluaran untuk rokok, dengan sendirinya semakin berkurang pengeluaran untuk konsumsi pokok.

Dapat dibayangkan ketika diperlukan biaya untuk pembelian buku sekolah maka anak-anak yang memiliki orang tua yang mempunyai hobi ini akan mengalami kesulitan mendapatkan buku. Bahkan, kalau melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan tertentu maka akan mengalami kesulitan.

Keluarga ini juga akan sulit membeli alat kontrasepsi untuk menunda kehamilan atau menghentikan menambah jumlah anak, mengingat alat kontrasepsi juga sebagian sekarang sudah harus dibeli untuk mendapatkannya. Jadi, pilihan membeli rokok dan tidak menggunakan alat kontrasepsi untuk mengatur keha milan merupakan tindakan yang tidak rasional.

Oleh karena itu, dua fenomena ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menilai apakah kemiskinan memang masih besar di negara kita. Baru-baru ini pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten/kota banyak yang mengklaim bahwa penduduk miskin, menurut Head Count Index, bersisa sekitar 29 juta secara nasional.

Kemiskinan seperti ini hanyalah dengan patokan mereka yang tidak dapat memenuhi jumlah uang sebatas dari garis kemiskinan yang ditetapkan setiap daerah. Sedikit dinaikkan garis kemiskinan maka angka kemiskinan akan tetap tinggi. Bahkan, kalau dimasukkan kriteria Bank Dunia, di mana yang miskin adalah mereka yang memperoleh penghasilan di bawah dua dolar AS maka jumlah kemiskinan akan meningkat tajam bisa menjadi lebih dari 40 persen.

Kemiskinan yang kita bincangkan adalah kemiskinan akibat tingkah laku. Karena tingkah laku, termasuk hobi, yang mengeluarkan biaya maka kemiskinan menjadi sulit diturunkan. Tetapi, kemiskinan berikutnya menjadi lebih berbahaya, di antaranya kalau kemiskinan kita ukur dari kebiasaan jelek dan kemiskinan keimanan. Kebiasaan jelek, misalnya, terbiasa korupsi, hobi berburu babi dan memelihara anjing, merokok dan sejenisnya. Sementara, kemiskinan akidah, tentunya bagi mereka yang beragama.

Bukankah suatu saat batas-batas kemiskinan sebaiknya kita perbaiki, bukan saja mereka yang tidak memenuhi kebutuhan hidup minimum, melainkan juga mereka yang memiliki kebiasaan tidak baik? Sekiranya kita boleh menentukan, maka keluarga yang merokok atau mereka yang terbiasa berburu babi dengan anjing piaraan sebaiknya dimasukkan sebagai persyaratan tambahan penentuan kemiskinan atau tidak.

Tentunya jika mereka yang miskin dan merokok sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam kelompok keluarga miskin. Lambat laun kelompok ini dapat dikeluarkan sebagai kelompok rumah tangga yang mendapatkan akses dari social security. Hobi sih boleh, tetapi sebaiknya jangan mengurangi arti untuk berjuang ke luar dari kemiskinan. ●

◄ Newer Post Older Post ►