Kamis, 13 September 2012

Hartati, Etnis Tionghoa, dan Korupsi


Hartati, Etnis Tionghoa, dan Korupsi
Tom Saptaatmaja ; Kolumnis, Banyak menulis artikel masalah China atau Tionghoa; Tinggal di Surabaya
SINAR HARAPAN, 12 September 2012


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah menetapkan Hartati Murdaya sebagai tersangka dalam kasus dugaan suap penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit di Buol, Sulawesi Tengah, (7 Agustus 2012).

Dia pada Jumat (7/9) diperiksa KPK, tapi mendadak batal karena yang bersangkutan 
konon sakit (kejang-kejang).

Penetapan itu bukan hanya berdampak pada Hartati, tapi juga berimbas pada etnis Tionghoa. Jujur saja, penulis sempat mendengar selentingan atau bisik-bisik, seolah semua etnis Tionghoa yang jadi pengusaha di negeri ini dikenal gemar menyuap, mengemplang pajak atau berkolusi dengan kekuasaan.

Etnis ini juga dianggap tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi, tidak berpihak pada KPK, karena adanya tersangka korupsi yang kebetulan beretnis Tionghoa. Bahkan nilai-nilai budayanya juga dianggap kontra produktif untuk pemberantasan korupsi.

Mungkin saja pendapat miring itu ada benarnya untuk sekelompok kecil pengusaha Tionghoa, tapi jelas keliru bila menggeneralisasi atau pukul rata seolah semua etnis Tionghoa tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi di negeri ini.

Kambing Hitam

Generalisasi seperti itu muncul, karena orang punya persepsi etnis Tionghoa itu homogen. Padahal faktanya, dari latar belakang asal usul, agama, dialek, pilihan politik, etnis Tionghoa itu heterogen.

Namun faktor rasisme mendorong etnis ini untuk selalu dijadikan kambing hitam untuk semua hal buruk, termasuk korupsi. Akibatnya ketika ada satu pengusaha Tionghoa dicap korup, etnis Tionghoa yang lain juga merasakan dampaknya. Inilah tidak enaknya terlahir sebagai etnis Tionghoa di Indonesia.

Lagi pula, siapa yang bisa memilih mau terlahir sebagai etnis apa. Seorang peneliti dari Australia, Charles Coppel, menggambarkan posisi etnis Tionghoa di Indonesia sering “serba salah” (Tionghoa Indonesia dalam Krisis, Jakarta: Sinar Harapan, 1993, hal 53).
Memang masyarakat belum bisa disebut masyarakat yang sungguh bebas dari prasangka rasial, khususnya pada etnis Tionghoa. Simak saja menjelang putaran kedua Pilgub DKI, Basuki Tjahaja Poernama alias Ahok menjadi sasaran kampanye berbau SARA, karena agama dan terlebih dia beretnis Tionghoa.

Adanya kampanye yang menyudutkan Ahok adalah bukti betapa diskriminasi, tak mudah dihapus, meski sudah ada regulasi tentang hal ini di negeri kita. Semua ini tentu tidak lepas dari sejarah yang amat panjang mengenai pasang surut kehadiran etnis ini, mulai dari era kolonialisme Belanda hingga sekarang.

Berdasar catatan sejarah, sejak lama etnis Tionghoa dimanfaatkan sebagai perantara ataupun “mesin pencetak uang”, baik oleh raja-raja maupun penguasa kolonial. Di zaman prakolonial orang Tionghoa sudah bekerja pada raja-raja kerajaan maritim, misalnya sebagai syahbandar.

Misalnya Sultan Hamengku Buwono I menugaskan orang Tionghoa untuk menarik pajak demi mengisi kas Kasultanan Yogyakarta yang baru saja didirikannya (Peter Carey:1984).

Kolonial Belanda yang memiliki keterbatasan sumber daya manusia melihat Tionghoa bisa menjadi perantara antara mereka dengan golongan pribumi. Belanda menjual berbagai macam pacht (atau hak pengelolaan) jalan, candu, rumah gadai, dll.

Akhirnya golongan Tionghoa, beberapa di antaranya menjadi sangat kaya karena memeras rakyat (atas perlindungan penguasa!) menjadi minoritas perantara yang kedudukan ekonominya cukup mapan, namun dibenci rakyat.

Inilah yang sesungguhnya diinginkan oleh penguasa kolonial, yakni Tionghoa sebagai “perisai” atau “kambing hitam” di saat terjadi kerusuhan menentang penguasa (Sejarawan Didi Kwartanada, Manuskrip Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern).
Akibatnya penilaian buruk terhadap etnis ini tidak mudah hilang, meski negeri kita sudah 67 tahun merdeka. Tidak heran ketika ada kesalahan satu orang atau segelintir etnis Tionghoa maka ribuan bahkan jutaan Tionghoa lain akan ikut terkena getahnya. Etnis ini hanya dipandang selalu punya pikiran licik dan niat jahat untuk mengambil keuntungan dalam setiap kesempatan.

Dukung Pemberantasan Korupsi

Bukan bermaksud membuat pembelaan, sebenarnya ada banyak elemen dan Ormas Tionghoa sejak lama mendukung pemberantasan korupsi. Jadi secara umum, etnis Tionghoa, sebagaimana etnis lain, punya kehendak baik dan tegas berada di belakang gerakan antikorupsi.

Dengan demikian, ketika ada upaya kriminalisasi, pelemahan KPK, semisal dalam kasus simulator SIM dengan Polri, tentu saja etnis Tionghoa berkeinginan semua bisa diusut tuntas. Siapa yang ingin upaya pemberantasan korupsi yang sudah menampakkan hasil berkat kinerja KPK sejak 2005 tiba-tiba menjadi “set back” atau mundur.

Maka penulis berharap upaya pemberantasan korupsi jangan sampai dibelokkan menjadi persoalan etnis, karena seperti penulis ungkapkan berulang kali di berbagai media, persoalan korupsi tak ada kaitanya dengan etnisitas. Coba simak para koruptor yang kini mendekam di penjara berkat kinerja KPK. Korupsi ternyata dilakukan beragam etnis dari Aceh hingga Papua.

Karena itu seperti harapan banyak anak bangsa yang lain, segenap etnis Tionghoa yang punya integritas moral hanya berharap pemberantasan korupsi dilakukan dengan tidak pandang bulu. Contohlah China yang berani menghukum berat koruptor, bahkan mengeksekusi mereka di depan umum, apa pun etnis dan agamanya.

Atau bila diperlukan, ada baiknya Indonesia menyewa Tony Kwok Man-wai, investigator korupsi paling laris di dunia saat ini. Bayangkan, Tony sudah berpengalaman selama 27 tahun (1975-2002) di Komisi Independen Pemberantasan Korupsi Hong Kong (ICAC).

Pada saat KPK-nya Hong Kong itu pertama berdiri pada 1974, angka korupsi birokrasi mencapai 86 persen dari semua laporan yang masuk. Pada 1999 angka itu tinggal 41 persen. Contoh keberhasilan lain bisa dilihat di korupsi di kepolisian. Pada 1974, jumlahnya mencapai 45 persen. Tapi, pada 1999, angkanya tinggal 16 persen.
Menurut Tony, kunci memberantas korupsi adalah pencegahan, pendidikan, dan penciptaan hambatan supaya kejahatan yang sama tidak muncul lagi. Tidak heran, setidaknya pemerintahan di 21 negara di berbagai benua telah menggunakan jasanya, termasuk 10 pemerintahan kota di China.

Negeri kita dijamin tidak akan rugi jika mengontrak Tony, sebagaimana Filipina dan Nigeria yang telah merasakan manfaat dari kehadiran Tony. Nama Tony sudah menjadi garansi tersendiri dalam pemberantasan korupsi di level dunia. Bersama Tony, pemberantasan korupsi bukan menjadi wacana belaka.

Jadi bila memang ada koruptor beretnis Tionghoa, adili saja dan hukum sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku di negeri ini. Namun sekali-kali, jangan hukum semua etnis Tionghoa, yang tidak korupsi dengan stempel negatif.
◄ Newer Post Older Post ►