Rabu, 19 September 2012

Freeport dan Papua untuk Siapa?


Freeport dan Papua untuk Siapa?
Teuku Kemal Fasya ;  Dosen Antropologi Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe
REPUBLIKA, 15 September 2012

Versi asli (sebelum diedit Republika), berdasarkan permintaan penulisnya (TKF)


Ketika menteri luar negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, tiba di Indonesia pada 3 September lalu, rasanya sulit untuk tidak melihat pesan politik yang melatarinya. Tentu saja itu bukanlah muhibah biasa, mengingat pemerintah AS selalu membawa kepentingan maksimalnya ketika mengunjungi negara-negara lain.

Kedua belah pihak (Hillary Clinton dan Menlu Marty Natalegawa) secara “kompak” menyatakan tidak membahas tentang Freeport. Ini berbeda dengan kesan publik (dan gerakan demonstrasi) yang melihat kedatangan itu terkait memperpanjang nafas Freeport di Indonesia hingga 2041. Suara Kementerian Luar Negeri RI menyebutkan kunjungan itu bukan membahas Freeport, tapi rencana pemberian beasiswa bagi mahasiswa Indonesia ke AS, hibah pesawat (bekas) F 16, dan mendukung status Papua dibawah NKRI.

Secara semiotis, pernyataan itu bisa dilihat secara terbalik dan sangat politis, bahwa kunjungan itu sangat berhubungan dengan Freeport. Atau, pemerintah Indonesia akan menghadapi dilema jika sampai mengusik kepentingan bisnis Amerika, karena bisa jadi “politik wortel” tentang bantuan pesawat (meskipun bekas) akan dihambat, padahal Indonesia tengah kesulitan anggaran untuk peremajaan alat-alat utama sistem persenjataan (alutsista).

Demikian pula dengan beasiswa. Meskipun secara permukaan terlihat sebagai proyek pencerdasan, namun juga bisa dibaca sebagai proyek kolonialisasi terutama pada instrumen penyangga kepentingan AS di negara peserta, seperti mempreservasi citra dan jaringan AS di Indonesia (terutama di birokrasi dan dunia perguruan tinggi). Kita melihat bagaimana para gang ekonomi lulusan Berkeley University, California, pada 1960-an menjadi think tank dan penyangga sistem perekonomian Orde Baru - termasuk penyebab kerapuhan struktur ekonomi nasional ketika dihantam krisis ekonomi regional, 1996-1997.

“Kami mendukung kesatuan wilayah Indonesia termasuk Papua dan Papua Barat di dalamnya”. Pernyataan Hillary ini tentu saja bukan kalimat yang muncul di ruang hampa. Ini seperti pernyataan kondisional, bahwa “kami bisa jadi tidak lagi mendukung kesatuan Papua dan Papua Barat di dalam NKRI jika pihak NKRI tidak mendukung kepentingan kami di sini”. Secara historis hal ini telah terjadi berkali-kali, AS akan sangat ringan melepaskan dukungan kepada negara dan pemimpin negara yang menjadi sekutunya jika kepentingan globalnya berubah. Jaime Roldos, Manuel Noriega, Soeharto, Osama Bin Laden, dan Saddam Hussein adalah sedikit contoh sekutu yang akhirnya dilibas.

Sejarah “Kecut” Freeport
Perusahaan Freeport telah berada di Indonesia tak lama ketika pemerintahan Soekarno runtuh. Sebenarnya sejak 1960 Freeport telah mengetahui potensi tambang di Papua, namun Soekarno mempersulit persyaratan kontrak karena menganggap eksploitasi tidak memihak Indonesia.

Pemerintahan baru di bawah Soeharto dianggap mitra strategis untuk mengembangkan industri ekstraktif sekaligus mengeksploitasi kekayaan Indonesia melalui perusahaan Amerika dan dukungan utang dari Bank Dunia dan IMF (Perkins, 2007). 

Kegiatan utama Freeport pada 1967 bertujuan utama eksplorasi biji tembaga dengan lahan seluas 100 ribu hektar. Saat itu sebagian besar saham dimiliki oleh Freeport McMoRan Copper&Gold Corp (80 persen), sedangkan pemerintah Indonesia hanya memiliki saham 9,36 (persen).Ternyata secara diam-diam Freeport memperluas areal penambangan karena menemukan emas dan perak dengan jumlah puluhan kali lipat dibanding tembaga.

Operasi diam-diam itu akhirnya baru diketahui pemerintah Indonesia pada 1978. Anehnya pemerintah tidak memberikan penalti atas pelanggaran kontrak lahan, bahkan melakukan persetujuan perluasan lahan tambang.  Saat ini area tambang PT. Freeport mencapai 2,3 juta hektar.

Keberadaan Freeport menjadi pintu masuk bagi eksploitasi sumber daya alam di Papua secara besar-besaran dan tak terkendali. Keberhasilan Freeport mendapatkan keuntungan hingga 2,3 miliar dollar pertahun telah menjadi gula-gula bagi perusahaan migas lainnya. Saat ini sedikitnya delapan perusahaan migas multinasional dengan blok eksplorasi seluas 11,9 juta hektar telah menguasai Papua (Carla Natan, 2012).

Nasib Sub-etnis Papua
Keberadaan perusahaan Freeport yang demikian berkuasa dan meluas di wilayah Papua membuat dampak lingkungan, ekologis, dan kultural yang sangat negatif bagi masyarakat Papua. Misalnya, tujuh suku-suku utama yang terdampak langsung kegiatan eksplorasi di wilayah pegunungan Mimika harus digusur ke Kwanki Lama, di wilayah dekat ibukota Mimika, Timika. Arogansi kebijakan seperti ini menimbulkan konflik sosial-budaya yang semakin disalahpahami. Belum lagi kepunahan sub-etnik akibat perluasan eksploitasi di wilayah pedalaman. Jika pada awal 1960-an keberadaan sub-etnik Papua berjumlah lebih 300,  kini tersisa hanya 252 sub-etnik (Neles Tebay, 2011). Kepunahan yang paling nyata adalah bahasa dan dialek.

Contoh lain, politik migrasi sejak masa pemerintahan Soeharto, menyebabkan penurunan populasi asli Papua. Jika statistik pada 1971 menunjukkan perbandingan antara populasi asli dan non-asli Papua adalah 96 persen dan empat persen, dan pada tahun 1990 telah melonjak menjadi 75 persen dan 25 persen, maka pada tahun 2011 populasi Papua dan non-Papua asli menjadi 48 persen dan 52 persen. Etnis bukan asli Papua akhirnya menguasai wilayah dan sektor ekonomi-politik-budaya Tanah Papua.

Kekecewaan itu juga bercampur dengan tindakan represif pemerintahan Indonesia dalam menyelesaikan gejolak yang muncul di tengah masyarakat Papua. Pendekatan militer selalu diprioritaskan berbarengan dengan kebijakan reintegrasi Papua ke Indonesia. Ini pula yang menyebabkan referendum rakyat Papua atau yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 dianggap sebagai kebijakan manipulatif dan tidak berlangsung secara demokratis.

Kompleksitas ini menunjukkan bahwa setelah 14 tahun reformasi dan hampir 50 tahun Papua bersatu bersama Indonesia (jika dihitung hari integrasi Papua ke Indonesia pada 1 Mei 1963), belum banyak langkah maju dalam menyelesaikan kasus Papua. Kompleksitas berlapis antara masalah marjinalisasi dan diskriminasi, salah urus pembangunan, gagalnya  memahami status dan sejarah masyarakat Papua, dan kekerasan militer dan pelanggaran HAM, baik yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia dan perusahaan multi-nasional, menyebabkan proses demokratisasi dan perdamaian di tanah Papua tidak pernah bersemi.

Upaya dari bawah yang dilakukan jaringan perdamaian Papua (LSM, tokoh agama, tokoh adat, dan sukarelawan perdamaian) melalui “Deklarasi Papua Tanah Damai” pada 5-7 Juli 2011, belum memiliki dampak yang cukup signifikan, karena belum ada sambutan dari pemerintah dan dunia internasional. Inti yang diinginkan adalah seharusnya masalah Papua diserahkan kepada masyarakat Papua sendiri, dan setiap kerumitan dalam menyelesaikan masalah hendaknya dikedepankan jalan dialog yang santun dan setara.

Jika ini tak diindahi, maka setiap pendekatan ekonomi-politik yang dilakukan oleh pemerintah RI dan Freeport (AS) di tanah Papua hanya memperbesar kepentingan pragmatis mereka sendiri, tidak membahagiakan masyarakat Papua.  Pendekatan ekonomi yang serakah dan pendekatan politik yang represif sebenarnya sketsa wajah kekuasaan yang menghancurkan banyak kebudayaan, termasuk kebudayaan Papua dan masyarakatnya. ●

◄ Newer Post Older Post ►