Selasa, 11 September 2012

Belajar Komunikasi dari Kasus Sampang


Belajar Komunikasi dari Kasus Sampang
Syafiq Basri Assegaff ;  Dosen di Jurusan Ilmu Komunikasi
dan Peneliti di Pusat Studi Islam dan Kenegaraan, Universitas Paramadina
INILAH.COM, 08 September 2012


Ada yang menarik dari diskusi mengenai kasus Sampang di media. Seperti saat Fuad Jabali, pengajar pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, mengajukan pernyataan yang menggugah dalam sebuah talkshow di salah satu televisi swasta, Rabu (5/9).

"Bagi saya yang Sunni, seharusnya kita bertanya... Kalau ingin berdakwah, bukan dengan membakar rumah orang Syiah; (tetapi) jawab pertanyaan penting: kenapa orang berpaling ke Syiah? Kenapa lari dari Sunni?" kata Fuad.

Dari sisi komunikasi, sesungguhnya analisa itu menunjukkan bahwa, dalam penyelesaian masalah kehidupan secara luas, selayaknya semua kita memilih berkomunikasi secara baik dan efektif dengan semua pihak.

Bila seorang anak membangkang orangtuanya, hendaknya sang ayah atau ibu mengintrospeksi dirinya, apakah ia telah mengirim pesan (perintah) kepada anaknya secara efektif?

Demikian pula di dalam percaturan politik dalam negeri. Ketika hasil pilkada menunjukkan perolehan suara yang jauh dibawah perhitungan survei sebelumnya, seorang gubernur mestinya juga menengok kembali kepada dirinya: apakah ia selama ini sudah menjalankan komunikasi yang baik dengan khalayak pemilihnya; di mana salahnya; mengapa orang lari darinya?

Kita juga mencatat, belakangan ini banyak terjadi pecah kongsi antara beberapa pemimpin daerah dengan wakilnya, baik di tingkat propinsi maupun di level Kabupaten/Kota.

Kuat dugaan, di antara penyebabnya adalah komunikasi yang buruk antara pasangan itu, akibat berebutan pengaruh di antara kedua pimpinan yang lazimnya berasal dari latar belakang partai politik yang berbeda. Tetapi kita boleh yakin bahwa kalau saja komunikasi antar-pribadi para pimpinan itu baik, maka banyak perpecahan bisa dihindari.

Berebut pengaruh

Demikian pula halnya dengan kasus Sampang. Kabarnya, sebagaimana disebutkan seorang nara sumber lain dalam dialog di TV swasta itu, ada rebutan pengaruh antar-ulama, sehingga kyai Tajul Muluk yang rupanya mendapat simpati dari banyak orang -- karena memiliki kelebihan tertentu dibanding pesaingnya -- dianggap sebagai ancaman yang harus disingkirkan.

Bagaimana pun, saling mempengaruhi khalayak adalah keniscayaan. Setiap komunikator, entah kyai, juru dakwah, ahli pemasaraan atau pun praktisi Public Relations, pasti berusaha mendapatkan simpati, kekaguman dan loyalitas audiens atau pengikutnya.
Yang menarik, di dalam kasus Sampang itu, sinyalemen adanya aliran 'baru' Syiah mengalami perjalanan komunikasi dengan khalayaknya yang mirip dengan teori proses difusi-adopsi.

Dalam proses itu, awalnya adalah munculnya awareness, ketika khalayak menemukan atau mendengar adanya 'ide' (atau produk) baru yang hadir di sekitarnya. Kemudian, tumbuh peminatan atau interest di tengah khalayak itu.

Mirip dengan produk atau jasa yang baru di 'pasar', peminatan khalayak tadi pada gilirannya menyebabkan sebagian mereka mencari tambahan informasi, atau bahkan ada yang sudah mulai 'mencoba' hal baru itu.

Bila dalam produk tangible seperti telepon seluler orang akan melakukan tahapantrial(uji coba) lewat fitur-fitur yang ada, maka dalam kasus mazhab agama -- yangintangible (berhubung ia merupakan 'ideologi') -- proses trial itu sangat boleh jadi akan terlewati secara cepat atau bahkan sama sekali tidak terasa, dan khalayak yang telah memiliki interest tadi langsung melakukan 'evaluasi' terhadapnya.

Dan evaluasi itu bisa jadi mereka lakukan sendiri, misalnya dengan cara membandingkannya terhadap pemikiran (atau mazhab) yang dianut sebelumnya.
Di antara mereka mungkin saja berpikir bahwa ide, produk atau jasa 'baru' itu, misalnya, terkesan lebih baik, lebih logis, lebih nyaman, atau memberi lebih banyak benefit -- yang semuanya bersifat sangat subyektif, karena berkaitan dengan persepsi yang ada di benak khalayak.

Kalau tidak mengevaluasi sendiri, sebagian audience (atau 'umat' dalam kasus aliran agama) mungkin saja melakukan konsultasi dengan mereka yang dianggap pakar, atau lebih berpengetahuan, seperti ulama yang dipercaya.

Hasil evaluasi ini macam-macam. Bila khalayak puas, maka besar kemungkinan mereka akan menyerap atau menggunakan (mengadopsi) ide atau 'aliran' itu pada dirinya -- sebagaimana pembeli di dunia pemasaran mulai memanfaatkan produk atau jasa baru yang dianggapnya memiliki keunggulan dibanding pesaingnya.

Melihat proses di atas, sesungguhnya, dalam persaingan di dunia yang kian sempit ini -- ketika informasi mengenai berbagai aliran dan mazhab dapat dengan mudah diperoleh bahkan secara gratis sekali pun -- sehingga setiap komunikator agama, entah kyai, ustadz atau habib memang dituntut untuk bersaing secara sehat, profesional dan damai.
Maka, jika ingin memperoleh penganut lebih banyak, selayaknya semua komunikator menggunakan 'kekuatan logika' dan bukannya 'logika kekuatan', antara lain dengan menunjukkan keunggulan 'produk' (ideologi atau mazhab) atau benefit fitur-fitur yang dipromosikannya.

Sejauh kita yakin bahwa 'produk' agama Islam mazhab Sunni yang kita pilih ini bagus, maka tak ada alasan untuk merasa terancam oleh pesaing yang namanya Islam mazhab Syiah Imamiyah Itsna'asyariyah itu.

Yang mesti dicatat adalah bahwa, ketertarikan khalayak dipengaruhi komunikasi yang efektif dari juru dakwah (komunikator) yang membawa ide tersebut. Dan komunikasi yang efektif terjadi ketika seseorang berhasil memperoleh pemahaman yang sesuai (diharapkan), menstimulasi orang lain untuk melakukan sesuatu, dan mendorong orang untuk berpikir dengan cara baru (atau berbeda).

Dengan demikian, sudah saatnya pimpinan agama lebih menyadari pentingnya komunikasi ini. Ahli-ahli kepemimpinan dan motivator dunia seperti Stephen Covey juga sudah mengingatkan peran komunikasi sebagai skill terpenting dalam hidup kita.

Sementara, rekan Covey, Thomas Faranda, mengatakan,”Tidak ada yang lebih penting bagi seorang pemimpin ketimbang kemampuan berkomunikasi secara efektif.”
Untuk itu, di antara kunci terpenting adalah dengan menganggap semua orang yang berkomunikasi dengan kita sebagai ‘costumer’ -- pembeli atau pengguna -- yang berbisnis dengan kita. Dengan demikian, Anda akan selalu berusaha memberikan kepuasan kepada khalayak, pasar atau umat, sehingga mereka tidak beralih 'membeli' produk, jasa atau mazhab pesaing.

Komunikasi model begitu biasanya selalu dilakukan dengan sikap terbuka, tidak manipulatif, dan berusaha makin mendekatkan satu dengan yang lain – ibarat pedagang menarik pelanggan -- serta mendorong munculnya keberhasilan bagi semua pihak.
Keberhasilan komunikasi itu hanya tercapai bila yang Anda sebarkan adalah cinta dan dakwah yang sejuk serta ramah, bukan kebencian dan amarah. Terakhir, perlu digarisbawahi, komunikasi yang efektif itu hanya terjadi melalui pendekatan persuasif dan dialog secara damai, bukan dengan menghardik, mencaci, dan membakar.

◄ Newer Post Older Post ►