Sabtu, 15 September 2012

Bela Nabi Cara Nabi

Bela Nabi Cara Nabi
Ibnu Burdah ;  Analis Timur Tengah dan Dunia Islam asal Trenggalek,
Dosen UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta
JAWA POS, 15 September 2012


PENAYANGAN film Innocence of Muslims yang dikabarkan berisi penistaan Nabi menyulut gelombang protes di berbagai negara di dunia Islam. Sejauh pengamatan penulis, terutama melalui siaran sejumlah televisi di Timur Tengah, protes yang telah memakan korban meninggal (termasuk Dubes AS di Libya) dan luka berat di Libya, Mesir, Yaman, Sudan, dan beberapa negara lain itu masih berpotensi mengalami eskalasi, baik kualitas, kuantitas, maupun spektrumnya. 

Tidak sedikit pemimpin politik, tokoh agama, dan kelompok-kelompok gerakan di dunia Islam menyerukan umat Islam agar turun ke jalan sebagai respons terhadap penayangan film tersebut. Celakanya, sebagian aksi dengan sasaran utama situs-situs kepentingan AS itu diwarnai berbagai tindakan kekerasan dan perusakan yang mengakibatkan hilangnya nyawa, luka, dan berbagai kerusakan. 

Egoisme v "Reaksioner" 

Di dunia Barat (baca Eropa Barat dan AS), pembuatan dan penayangan film itu bukanlah suatu persoalan yang berarti. Sebab, mereka berpandangan bahwa setiap individu memiliki hak untuk mengekspresikan pikiran, sikap, dan pandangannya, termasuk melalui media film. Mereka ''memuja" kebebasan individu itu sebagai bagian dari ketinggian peradaban Barat. Karena itu, hampir bisa dipastikan nalar sebagian besar orang Barat mengatakan bahwa pembuatan film semacam itu sepenuhnya adalah hak siapa pun untuk melakukannya. Intinya, mereka menginginkan kebebasan individu tersebut dengan sebebas-bebasnya.

Sebagian orang Barat seolah tidak mau tahu bahwa di bagian lain di dunia ini ada kelompok lain yang juga manusia, bukan subhuman, memiliki nilai-nilai yang sama sekali berbeda dari nilai yang mereka yakini. Orang lain itu memiliki keyakinan dan simbol-simbol yang sangat dihormati. Menyinggung sedikit saja mengenai simbol tersebut akan berpotensi melahirkan respons balik yang serius, apalagi menistakannya dengan gambaran-gambaran "brutal"dan "keji".

Orang Barat jelas sudah mengetahui benar mengenai garis merah di dunia Islam itu. Sebab, kejadian tersebut sudah berkali-kali terjadi dan menimbulkan reaksi serupa meski tidak "sedestruktif" ini. Namun, egoisme dan perasaan sebagai superior telah menghilangkan tenggang rasa mereka sebagai sesama warga dunia.

Padahal, di Barat pun kebebasan itu sesungguhnya juga memiliki batasan-batasan sehingga kita tidak bisa memandang secara berlebihan jaminan Barat terhadap hak individu itu. Pada praktiknya, tetap ada garis merah yang tidak bisa dilampaui di sana.
Pelarangan pemakaian burqa di sebagian negara Eropa menjadi contoh sederhana, padahal itu, menurut nalar awam saya, sama sekali tidak menghina atau merugikan orang lain.Di AS, kejanggalan juga terjadi. Misalnya, pembatasan ekspresi agama apa pun di ruang publik, kecuali terkait nilai-nilai Judeo-Christianity dan Greeko-Romanyang hingga saat ini penulis belum memahami isi nilai-nilai itu. 

Sementara itu, di dunia Islam, isi film tersebut dipandang sebagai bagian dari pelecehan dan penghinaan terhadap umat Islam. Sebab, Nabi Muhammad itu bergelar al-Habiib, Nabi yang sangat dicintai dan mencintai umatnya. Nabi adalah sosok ideal yang menjadi teladan kehidupan umat Islam. Nabi adalah manusia pilihan yang dirindukan syafaatnya di hari akhir. Isi film ini, sebagaimana dikabarkan, jelas terlalu brutal untuk takaran nalar muslim yang sangat mengagungkan dan memuliakan beliau.

Karena itu, umat Islam di berbagai negara, terutama di Timur Tengah, secara spontan mereaksi sangat keras penayangan film tersebut. Sikap itu mereka pandang sebagai tindakan membela agama, membela Nabi yang sangat berjasa bagi hidup mereka, dan membela seluruh umat Islam. 

Awas Kontraproduktif 

Reaksi keras, apalagi melibatkan hilangnya nyawa, luka, dan kerusakan, jelas bukan cara Nabi dalam menyikapi penistaan orang terhadap beliau. Jelas tidak bisa dinalar bahwa kita membela Nabi dengan cara melanggar ajaran-ajaran Nabi yang paling fundamental. Pembelaan melalui cara itu justru bisa kontraproduktif bagi citra umat Islam yang saat ini diidentikkan sebagai reaktif dan tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai modernitas. Cara pembelaan Nabi seperti itu juga justru melanggar ajaran Nabi SAW yang sangat menekankan hikmah, kelembutan, dan kesadaran ketika beliau sendiri menghadapi pelecehan atau penistaan.

Penghinaan Nabi (isaatun Nabi) sesungguhnya bukan merupakan isu baru di dunia Islam. Ketika tinggal di Kairo pada 2005-2006, penulis beberapa kali berkunjung kepada Muhammad Dawud, salah seorang ulama dan akademisi terpandang, untuk belajar dan berdiskusi. Salah satunya adalah mengenai rencana beliau menulis mu'jam isaatun Nabi (ensiklopedia penistaan Nabi) yang melibatkan ulama dari berbagai negara di dunia Islam. Kami, saat itu, merekomendasikan nama Prof Quraisy Shihab sebagai wakil ulama Indonesia untuk dilibatkan dalam usaha tersebut. Usaha itu mencerminkan bahwa penistaan Nabi adalah isu yang ada sejak lama dan telah terjadi berulang-ulang dalam berbagai episode dan zaman. 

Yang lebih penting adalah umat Islam seharusnya menggali dan mempelajari kembali bagaimana Nabi merespons berbagai tindakan pelecehan dan penghinaan terhadap beliau sehingga umat Islam tidak terjerumus dalam sikap membela Nabi, namun sesungguhnya melawan ajaran-ajaran Nabi. Banyak riwayat yang menunjukkan Nabi tidak pernah reaktif dalam menghadapi segala bentuk penistaan dan pelecehan terhadap beliau. Bukan hanya pelecehan yang dilakukan pemuka-pemuka masyarakat seperti Abu Jahal dan istrinya, namun juga seorang yang sangat lemah dan "hina" dalam pandangan masyarakatnya.

Yang dilakukan Nabi adalah memberikan pengertian, penyadaran, dan sikap dasar yang jelas dengan cara-cara yang sangat elegan. Dan, upaya itu tidak dilakukan dengan cara berteriak-teriak, merusak, melukai, apalagi menghilangkan nyawa. Nabi melakukannya dengan penuh kesabaran dan kelembutan yang sekaligus memperlihatkan tingginya kelas dan kualitas kemanusiaan beliau. Mana bisa Islam diterima jadi agama mondial bila Rasul suka marah-marah? Wallahu a'lam. 


◄ Newer Post Older Post ►