Jumat, 21 September 2012

Bank Century


Bank Century
Pradjoto ;  Ahli Hukum Perbankan
KOMPAS, 20 September 2012


Kasus Bank Century (kini Bank Mutiara) sudah berjalan empat tahun dan sampai kini sulit untuk menerka ujung dari perjalanan itu.

Banyak faktor yang dapat menjelaskan hal ini, salah satunya adalah polemik politik yang berujung pada sidang paripurna panitia hak angket Bank Century dengan lima fokus utama penyelidikan. Kelima fokus utama penyelidikan adalah, pertama, meneliti adakah pelanggaran hukum yang dilakukan terkait keputusan mencairkan dana talangan Rp 6,76 triliun. Kedua, melihat apakah terdapat konspirasi di antara para pemegang saham utama Bank Century dengan otoritas perbankan dan pemerintah. Ketiga, meneliti adakah faktor kesengajaan untuk melakukan pembobolan uang negara melalui skenario penalangan (bail out) Bank Century.

Keempat, meneliti seberapa besar kerugian negara yang ditimbulkan oleh kasus penalangan Bank Century serta menyelidiki pembengkakan dana talangan menjadi Rp 6,76 triliun dan rasionalitas dari penyelamatan Bank Century, khususnya dalam konteks adanya dampak sistemik.

Kelima, meneliti seberapa besar aspek kerugian negara yang ditimbulkan oleh kasus penalangan Bank Century.

Sementara itu, fokus Komite Stabilitas Sektor Keuangan lebih pada melihat tingkat kegawatan Bank Century waktu itu serta dampak yang ditimbulkan pada tingkat kepercayaan masyarakat. Ini mengingat pada 13 November 2008 keadaan Bank Century sudah berada dalam tahapan kalah kliring dengan rasio kecukupan modal minus 3,52 persen.

Keadaan kalah kliring ini menunjukkan bahwa kewajiban bank sudah jauh lebih besar dibandingkan dengan tagihannya dalam kliring sehingga nasabah bank tidak dapat menarik dana yang seharusnya mereka terima dari transfer bank lain. Keadaan Bank Century dipandang sudah sangat serius karena persoalannya tidak hanya sekadar terjadinya ketidakseimbangan likuiditas, tetapi juga sudah masuk ke persoalan yang bersifat struktural.

Audit 20 Desember 2008 menunjukkan hal itu, di mana ekuitas sudah merosot ke angka minus Rp 6,8 triliun, kerugian berada di tingkat Rp 7,5 triliun, kecukupan modal (CAR) minus 81,8 persen, rasio kredit bermasalah terhadap total kredit (NPL) kotor 33,6 persen, NPL neto 10,3 persen, laba sebelum pajak (ROA) minus 57,8 persen, laba setelah pajak (ROE) minus 2.646,7 persen, dan rasio biaya operasi terhadap pendapatan operasi (BOPO) 1.284,5 persen.

Dilihat dari sudut tingkat kesehatan perbankan indikator tadi menunjukkan adanya kegawatan dari lima aspek penilaian tingkat kesehatan bank. Pertama, aspek permodalan dengan ukuran utama pada tingkat CAR. Kedua, aspek kualitas aktiva produktif (earning assets) yang begitu lemah sehingga bank tidak mampu meraih penghasilan, baik melalui kredit yang diberikan maupun melalui surat berharga, penempatan dana dan penyertaan.

Ketiga, aspek rentabilitas di mana bank tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan keuntungan yang terlihat dari ROA yang minus 57,8 persen dan tingginya perbandingan antara biaya operasional terhadap pendapatan operasional yang tecermin melalui angka BOPO 1.284,5 persen. Keempat, aspek likuiditas dengan ukuran utama apakah bank mampu membayar kewajibannya, terutama kewajiban jangka pendek. Kelima, keseluruhan aspek tadi pada akhirnya menunjukkan buruknya aspek kualitas manajemen bank.

Indikasi Tindak Pidana
Sementara itu, aparat hukum belum juga menemukan adanya indikasi terjadinya tindak pidana dalam konteks pengambilalihan Bank Century oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), manajemen Bank Mutiara di bawah komando Maryono dapat dikatakan sangat berhasil melakukan transformasi dari bank buruk menjadi bank baik. Serangkaian indikator pada Agustus 2012 menunjukkan hal tersebut, seperti CAR naik ke angka 11,3 persen, NPL kotor turun menjadi 4,4 persen, NPL neto turun menjadi 3,4 persen, ROA naik ke angka 1,4 persen, ROE naik menjadi 18,9 persen, BOPO turun drastis ke angka 90,6 persen dan sudah menghasilkan laba sebesar Rp 123 miliar.

Di balik keberhasilan itu, kasus Bank Century memang masih menghasilkan beberapa persoalan yang dengan keteguhan dari aparat hukum akan memberikan tingkat keberhasilan yang luar biasa bagi Bank Mutiara untuk berada dalam posisi recoveryterhadap dana talangan LPS sejumlah Rp 6,7 triliun. Masalah tadi di antaranya adalah kasus Antaboga dan gugatan Bank Mutiara sebesar 156 juta dollar AS terhadap Tarquin Limited (perusahaan investasi berbasis di London) di Swiss.

Kasus Antaboga adalah sebuah kasus yang dari kacamata teknis perbankan merupakan tindakan kriminal yang tidak dapat dibiarkan. Sebab, bagaimana mungkin bank menjual reksa dana, tetapi tidak memiliki izin untuk melakukan hal itu?

Hingga kini beban itu diminta untuk dipikul Bank Mutiara meski transaksi itu tak tercatat dalam pembukuan bank, sementara pengurus dan pemilik PT Antaboga Delta Sekuritas tak disentuh untuk bertanggung jawab atas tindakannya.

Padahal, kegiatan tadi bertentangan dengan tiga ketentuan hukum. Pertama, UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Kedua, UU No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, terutama Pasal 92 Ayat (1), Ayat (2), Pasal 97 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4), Pasal 108 Ayat (1), Pasal 114 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4). Inti ketentuan ini memberi isyarat tanggung jawab pribadi direksi jika tak menjalankan kewajiban dengan itikad baik.

Ketiga, ketentuan tentang kewajiban untuk memiliki izin sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan Nomor V.B.2 tentang Perizinan Wakil Agen Penjual Efek Reksa Dana Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-09/ BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006; Peraturan Nomor V.B.3 tentang Pendaftaran Agen Penjual Efek Reksa Dana Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-10/BL/2006 tanggal 30 Agustus 2006; dan Peraturan Nomor V.B.4 tentang Perilaku Agen Penjual Efek Reksa Dana Lampiran Keputusan Ketua Bapepam dan LK Nomor Kep-11/BL/2006 30 Agustus 2006.

Adalah sangat benar dan sepantasnya jika nasabah Antaboga diberikan perlindungan karena mereka pihak yang juga merasa ”ditipu” oleh iming-iming tingkat bunga yang lebih besar. Namun, proporsional dari tanggung jawab juga patut diperhitungkan dalam menilai keadilan.

Gugatan di Swiss
Sementara kasus gugatan di Swiss yang semula dirancang sebagai pintu masuk bagi kejaksaan untuk melakukan pembekuan dana melalui mutual legal assistance (MLA) masih belum terdengar efektivitasnya. Padahal, akar dari kasus ini terletak pada adanya asset management agreement(AMA) yang merupakan noktah yang terbawa terus-menerus sejak kelahiran Bank Century di masa lalu.

Apa yang diuraikan di atas hanyalah sebagian dari kompleksitas persoalan yang dihadapi Bank Mutiara saat ini. Sementara perdebatan tentang Bank Century masih juga terus berlangsung dengan intensitas yang kadang naik dan kadang turun. Jawaban terhadap persoalan ini dari kacamata hukum sesungguhnya tidak rumit. Yang rumit adalah jawaban apa pun yang akan diberikan tidak pernah membuat suhu menjadi turun karena budaya hukum terasa sudah tidak menjadi bagian yang melekat sebagai akibat yang juga sama kompleksnya.

Meski sukar menakar ke arah manakah kasus Bank Century ini akan bergerak, satu hal yang jelas adalah bahasa yang berbeda memang akan menghasilkan pemahaman yang juga berbeda. Merangkum keseluruhan perbedaan tadi dalam sebuah bingkai tidak akan pernah menghasilkan sebuah konfigurasi apa pun kecuali tajamnya perbedaan tadi.

Padahal, semua berbicara untuk kepentingan rakyat. Yang tak disadari, kepentingan rakyat terbesar saat ini adalah melihat Bank Mutiara terus bergerak aktif guna menambah nilai jualnya. Tanggung jawab ini tidak hanya terletak pada manajemen Bank Mutiara, tetapi juga terletak kepada semua pihak dan terutama kepada aparat hukum yang memiliki potensi besar untuk menambah nilai bagi Bank Mutiara melalui pengejaran aset. ●

◄ Newer Post Older Post ►