Sabtu, 20 Oktober 2012

Siapa Suruh Datang Jakarta



Siapa Suruh Datang Jakarta
Acep Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB
KOMPAS, 20 Oktober 2012



Akhir Februari 2012 Jokowi datang ke Jakarta dengan sebuah harapan. Bukan untuk menjadi gubernur, melainkan mengantarkan mobil Esemka mengikuti uji emisi. Dan, kita tahu, Jokowi tidak berhasil.

Terlalu naif jika mengatakan bahwa kegagalan uji emisi tersebutlah yang memotivasi Jokowi bekerja keras memenangi pencalonannya sebagai gubernur DKI. Namun, hal itu setidaknya menjadi salah satu penanda perkenalan Jokowi dengan Jakarta.

Jokowi sampai dinyatakan sebagai pemenang oleh ”hitungan cepat”, selalu berkata, ”Saya hanya melaksanakan tugas dari partai.” Tentu saja, barangsiapa mengikuti cara kepemimpinan Jokowi di Solo, segera akan maklum, jawaban tersebut adalah style, juga ”karakter stereotip orang Jawa”. Pendek kata, jawaban itu adalah bagian dari ”strategi politik berbasis tradisi Jawa”, yakni tidak boleh meletakkan ambisi pada bahasa.

Faktanya, Jokowi memang masuk ke Jakarta melalui pintu ”metabahasa”. Ia mulai dengan baju kotak-kotak. Lepas dari siapa yang menggagas kostum politik tersebut, Jokowi-lah yang memakainya. Orang boleh menciptakan konotasi kotak-kotak sebagai ”pengotak-kotakan” warga, tetapi “serangan semantik” ini lebih terasa bernuansa kampanye penghitaman (black compaign).

Dalam perspektif kebudayaan, dan ini lebih terasa ideologis, kotak-kotak adalah penanda keramaian sekaligus kekumuhan. Baju kotak-kotak adalah kostum lapangan, berbanding terbalik dengan safari (birokrat), jas (eksekutif), juga baju takwa (religius islam) yang putih dan bersih.

Dengan kostum demikian, untuk menjelaskan Jakarta yang karut-marut Jokowi tidak perlu membuat jargon ”Jakarta Berkumis” yang justru jadi ironis ketika yang mengatakannya berpenampilan perlente. Jokowi mengabstraksi kekumuhan dan menawarkan solusinya dengan memasuki kekumuhan itu sendiri. Terbukti, ”jargon ideologis” kostum kotak-kotak itu tidak bisa digusur oleh serangan negasi bahasa konotasi ”pengotak-kotakan”. Merujuk Louis Althusser (1984), kostum kotak-kotak Jokowi telah berhasil menginterpelasi warga Jakarta. Ia memanggil massa untuk menjadikannya subyek sekaligus obyek.

Begitulah seharusnya politik yang ideologis bekerja. Namun, jangan disimpulkan Jokowi berhasil karena baju kotak-kotak yang baru diciptakan dan dipakainya semata. Ideologi tidak bisa dibuat dalam sekejap. Kostum kotak-kotak Jokowi hanya satu varian artikulasi dari strategi politiknya yang telah lama dibangun. Kita tahu, sejak jauh-jauh hari Jokowi telah menanamkan strategi demikian dalam kepemimpinannya di Solo. Dengan bahasa lokalnya, di Solo Jokowi mengembangkan konsep kepemimpinan ngewongke uwong (memanusiakan manusia).

Kota Tak Bertuan

Tentu saja Jakarta bukan Solo, bahkan juga bukan Betawi. Sebagai metropolitan, Jakarta adalah kota yang tak dipertuan, sekaligus juga tidak bertuan. Dalam kompleksitas kebudayaan urban, beranalogi pada Strinati (1995), warga Jakarta sesungguhnya ”anonim” satu sama lain. Mereka umumnya tidak saling mengenal kecuali dalam relasi kepentingan yang lebih sering bersifat sesaat dan materialistik. Kedatangan penduduk, yang kemudian menetap menjadi warga Jakarta, adalah kedatangan dalam konteks kepentingan demikian. Jakarta bukan ”ibu kandung” kebudayaan kebanyakan warganya.

Itu sebabnya, pada saat tertentu seperti Lebaran, Jakarta ditinggalkan. Sebagian besar warga Jakarta dipanggil oleh ibu kandung kebudayaannya yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Dari sini kiranya bisa dikatakan bahwa penduduk Jakarta umumnya adalah ”warga seolah-olah”: seolah-olah terikat, padahal tidak memiliki hubungan batin, baik terhadap sesama warga maupun, apalagi, terhadap tanah. Jakarta bukan ”tanah pusaka”, bukan ”tuan kebudayaan”.

Di sisi lain, orang Betawi yang secara kebudayaan memiliki ikatan batin dengan Jakarta, mau tidak mau, suka tidak suka, harus menerima kenyataan bahwa Betawi adalah sejarah. Kota Tua, yang tidak dirawat itu, menjadi semacam metafora tentang kebudayaan yang terdorong ke sudut sejarah. Ia bahkan dikategorikan sebagai entitas langka yang harus dilindungi (cagar budaya). Itu sebabnya isu kebetawian tidak bisa dijadikan alat untuk melegitimasi calon pemimpin Jakarta. Dalam konteks budaya, Jakarta adalah kota yang tidak memiliki tuan.

Masyarakat Mengambang

Lantas, bagaimana Jakarta harus dikelola? Konsep ngewongke uwong Jokowi di Solo kiranya tidak bisa serta-merta diterapkan di Jakarta. Jokowi boleh saja, misalnya, menggeser sedikit permukiman kumuh ke sebelah kiri, tetapi di bagian lain orang bisa mendesak ke kanan. Dengan kata lain, menjadi manusia di Jakarta tidak sama dengan menjadi manusia di Solo.

Masyarakat urban adalah sosok yang dapat berubah dengan cepat, berganti wujud sampai pada titik terekstrem. Media massa, terutama televisi, yang menciptakan budaya massa, yang terus-menerus mengelola pikiran massa sebagai bahan baku industrinya, adalah lembaga yang kerap menjadi acuan masyarakat urban. Dalam perspektif ini, warga Jakarta umumnya adalah masyarakat yang mengambang.

Namun, justru karena itu masyarakat demikian menjadi sangat merindukan panutan. Mereka, setidaknya, membutuhkan pemimpin yang menyejukkan, yang mampu memahami dirinya yang telah anonim itu. Jokowi, saya pikir, harus mampu menjadi ”jantung bagi heterogenitas” masyarakat sedemikian.

Kita berharap Jokowi mampu menyelami situasi demikian. Ia sudah merasakan ditolak Jakarta dengan mobil Esemka-nya. Ia lantas membalikkan posisi menguasainya. Namun, ia tetap harus bertaki-taki. Jika tidak, sangat mungkin Jokowi akan menjadi korban mitos lagu lama: ”siapa suruh datang Jakarta”. ●

◄ Newer Post Older Post ►